Utang Kian Menggunung, Kok Makin Disanjung

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Arsyila (Member Pena Muslimah Cilacap)

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, kembali menjadi sorotan setelah dirinya meraih penghargaan sebagai Finance Minister of the Year for East Asia Pacific (Menteri Keuangan Terbaik se-Asia Pasifik) tahun 2020 dari majalah Global Markets.

Ini merupakan ke-dua kalinya Sri Mulyani mendapat penghargaan tersebut dari majalah yang sama, setelah terakhir di tahun 2018 memperoleh penghargaan serupa.

Majalah Global Markets menilai, langkah-langkah yang dilakukan menkeu Sri Mulyani dalam menangani ekonomi di masa pandemi Corona (Covid-19) seperti memberikan stimulus fiskal dalam bentuk perlindungan sosial, insentif perpajakan, penjaminan pinjaman dan subsidi bagi sektor usaha yang terdampak paling besar layak diapresiasi.

Selain itu, keputusan untuk memperlebar defisit melebihi batas maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang sebesar 3% dari produk domestik bruto (PDB), yang merupakan langkah yang tidak mudah dilakukan, juga menjadi alasan lain Sri Mulyani memperoleh penghargaan bergengsi tersebut. (TribunPalu.com, 17/10/2020)

Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Perekonomian di Indonesia terasa semakin sulit. Nilai rupiah yang melemah dan juga utang negara yang terus menumpuk.

Menurut laporan Bank Dunia berjudul International Debt Statistics (IDS) 2021 Indonesia berada di daftar 10 negara dengan utang luar negeri terbesar.

Laporan yang terbit pada 12 Oktober 2020 ini berisi data dan analisis posisi utang negara di dunia. Dimana dalam salah satu bagian laporan menyebutkan perbandingan beberapa negara berpendapatan kecil dan menengah dengan Utang Luar Negeri (ULN) terbesar, termasuk Indonesia.

Namun menurut Kemenkeu laporan Bank Dunia tidak menyertakan negara-negara maju melainkan negara-negara dengan kategori berpendapatan kecil dan menengah. Alhasil, terlihat bahwa posisi Indonesia, masuk dalam golongan 10 negara dengan ULN terbesar. (Bisnis.com,14/10/2020)

Di lain kesempatan Menkeu Sri Mulyani menjelaskan bahwa besarnya utang luar negeri Indonesia diakibatkan karena warisan kolonial Belanda berupa utang dan sistem ekonomi yang rusak. Dan seluruh investasi yang sebelumnya dibukukan Belanda, dibebankan menjadi utang Indonesia dengan jumlah berdasarkan catatannya sebesar US$ 1,13 miliar. Jika dirupiahkan dengan kurs hari ini, maka warisan utangnya saat itu sekitar Rp 16,6 triliun (kurs Rp 14.700/US$). (Detikfinance.com, 13/10/2020)

Solusi yang dibuat oleh Sri Mulyani dalam mengatasi perekonomian Indonesia yang rusak dengan menambah utang justru semakin menambah beban rakyat Indonesia. Ibarat mengaduk-aduk air yang berlumpur, bukannya air menjadi jernih malah menjadi semakin keruh. Sama halnya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam menangani masalah ekonomi justru semakin menambah ruwet permasalahan yang ada.

Hal ini menunjukkan bahwa penunjukannya sebagai Menteri Keuangan Terbaik se-Asia Pasifik hanyalah berdasar pada penilaian asing. Agar Indonesia semakin terjerat dalam lingkaran kapitalisme global yang hanya menguntungkan para pemilik modal. Bukan kepada rakyat.

Lalu bagaimana solusi Islam mengatasi jebakan utang luar negeri ini?

Langkah yang harus diambil agar negara tidak terjebak jeratan utang luar negeri adalah dengan membangun kemandirian ekonomi.
Di dalam Negara Khilafah Islam, terdapat Baitul Mal yang merupakan institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak menerimanya. Setiap harta, baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun harta benda lainnya, yang kaum Muslim berhak memilikinya sesuai hukum Islam, maka harta tersebut adalah hak Baitul Mal kaum Muslim.

Pos-pos pendapatan dalam sistem keuangan Baitul Mal terdiri dari tiga pos pemasukan utama yang masing-masing rinciannya memiliki banyak ragam jenis pemasukan.

Pertama, bagian fai dan kharaj. Fai adalah harta yang diperoleh dari rampasan perang, dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah wilayah yang ditaklukkan kaum muslimin.

Kedua, bagian kepemilikan umum.
Meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat yang secara alami tidak bisa dimiliki dan dimanfaatkan oleh individu secara perorangan, seperti barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahnya sangat banyak.

Ketiga, bagian sedekah. Yaitu pemasukan dari berbagai pos zakat yang telah disyariatkan. Baik dari zakat maal, zakat perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing.

Dari sumber-sumber utama pemasukan Baitul Mal ini, negara mampu mencukupi berbagai kebutuhan negara termasuk berbagai kebutuhan publik bagi rakyat. Infrastruktur, pendidikan, keamanan termasuk kesehatan.

Khalifah sebagai kepala negara akan menjalankan amanah sebaik-baiknya dalam pengelolaan harta hanya untuk kemaslahatan rakyat bukan untuk yang lainnya. Khalifah juga mengawasi langsung kegiatan pengelolaan Baitul Mal dan menempatkan orang-orang yang amanah untuk mengurusnya.

Sehingga negara tidak perlu lagi mengambil utang dari negara luar untuk memenuhi APBN. Yang hanya menambah beban penderitaan rakyat. Dan tentunya syarat dengan ribawi yang sangat jelas dilarang dalam Islam. Seperti dalam QS. Ali Imron Ayat 130:

Allah SWT berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Qs. Ali Imron: 130).

Juga dalam QS. Al Baqarah Ayat 278-280:

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَاإِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَفَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَوَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian bertaubat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian. Tidak berbuat zalim lagi terzalimi. Dan jika terdapat orang yang kesulitan, maka tundalah sampai datang kemudahan. Dan bila kalian bersedekah, maka itu baik bagi kalian, bila kalian mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 278-280).

Jadi hanya sistem ekonomi Islamlah yang mampu melepaskan negara dari jeratan utang kapitalis global. Dan hal ini tidak akan terjadi jika bukan diterapkan dalam bingkai Daulah Khilafah.

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *