Utang dalam Jebakan Hegemoni yang Sulit Terkendali

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Utang dalam Jebakan Hegemoni yang Sulit Terkendali

Oleh Sendy Novita, S.Pd (Praktisi pendidikan)

Permasalahan yang terjadi di negeri tak pernah luput dari utang dan utang. Sejak era kepresidenan Soeharto sampai Jokowi, utang Indonesia semakin naik. Dikabarkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Oktober 2022 kembali menurun. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia pada akhir Oktober 2022 tercatat sebesar USD 390,2 miliar, dibanding dengan posisi ULN pada September 2022 sebesar USD 395,2 miliar (Liputan6.com, Jakarta ).

ULN swasta juga melanjutkan tren penurunan. Posisi ULN swasta pada Oktober 2022 sebesar 202,2 miliar dolar AS, menurun dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya sebesar 204,7 miliar dolar AS. Secara tahunan, ULN swasta mengalami kontraksi sebesar 3,0 persen (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada bulan sebelumnya sebesar 2,2 persen (yoy). Perkembangan tersebut disebabkan oleh pembayaran neto pinjaman dan surat utang sehingga ULN lembaga keuangan (financial corporations) dan perusahaan bukan lembaga keuangan (nonfinancial corporations) masing-masing mengalami kontraksi sebesar 3,5 persen (yoy) dan 2,9 persen (yoy).

Berdasarkan sektornya, ULN swasta terbesar bersumber dari sektor jasa keuangan dan asuransi; sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin; sektor pertambangan dan penggalian; serta sektor industri pengolahan dengan pangsa mencapai 78,0 persen dari total ULN swasta. ULN swasta juga tetap didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 75,2 persen terhadap total ULN swasta (Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) edisi November 2022).

Bahaya Utang

Bahaya ULN sebenarnya akan cukup jelas jika disampaikan istilah “debt trap” (DT) atau jebakan utang. Menggambarkan suatu kondisi dimana anggaran untuk memperoleh pinjaman atau utang digunakan justru untuk menutup pembayaran utang dan pastinya posisi ULN bukan sekadar urusan pinjam-meminjam biasa antar negara. Tentu ada hal yang melatarbelakangi mengapa pertumbuhan utang semakin tinggi di negara-negara berkembang. Dan bahaya terbesarnya ULN adalah cara paling ampuh untuk merusak eksistensi suatu negara menurut Abdurrahman al-Maliki.

Pembayaran ULN secara jangka pendek ataupun jangka panjang tetaplah menyengsarakan. Bahaya jangka pendek dapat menghancurkan mata uang negara debitur dengan membuat kekacauan moneter sedang jangka panjang akan memunculkan kekacauan APBN hingga merusak kedaulatan. Hampir semua kebijakan publik dapat diintervensi negara kreditur sementara asset strategis negara bisa menjadi alat pelunasan bagi ULN.

Dikisahkan salah satu penyebab keruntuhan Khilafah Utsmani adalah menyebarnya gaya hidup hedonisme di kalangan pejabat negara yang berkorelasi dengan defisit anggaran yang ditutup dengan ULN. Sejak kepemimpinan Sultan Mahmud II (1808-1839), negara dihancurkan oleh bankir-bankir melalui ULN untuk membiayai berbagai proyek negara. Jaringan para bankir dari Prancis, Inggris, Austria, Jerman dan Swiss hingga para kreditor asing pada masa itu membentuk satu badan yang disebut sebagai Ottoman Public Debt Administration (OPDA) yang pada akhirnya memiliki kuasa untuk melakukan intervensi kebijakan ekonomi di dalam Khilafah Utsmani. Hasilnya, kedaulatan yang ada pada hukum syariah lenyap. OPDA meloloskan investasi minuman keras yang jelas diharamkan. Mereka memaksa Pemerintah Utsmani mengembangkan industri bir bernama Bomonti Beer untuk pertama kalinya pada tahun 1894.

Utang dalam Pandangan Islam

Dalam islam boleh saja berhutang tapi akan lain ceritanya jika yang berhutang adalah negara apalagi dalam bentuk ULN. Islam menyebutkan sisi gelap dari ULN. Diantaranya ULN tidak bisa lepas dari riba selain sebagai alat penjajahan yang merusak kedaulatan negara yang utama utang bukanlah sumber pokok penopang ekonomi.

Jika dirunut, masalah ULN ini dirancang oleh sistem ekonomi kapitalis agar negara berkembang tidak mampu mandiri. Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang melarang negara untuk tidak tertumpu pada ULN. Pertimbangan utama adalah keseimbangan anggaran dengan prinsip kesederhanaan dan kemampuan untuk mandiri sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.

Menilik kembali aset-aset negara, ULN sebenarnya tidak perlu terjadi. Wilayah Indonesia terkenal luas terdiri dari daratan dan lautan, termasuk 17-ribuan pulau besar maupun kecil. Secara iklim membuat Indonesia memiliki beragam tumbuhan dan hewan sebagai sumber pangan dan obat-obatan. Secara geologis Indonesia terletak pada pertemuan lempeng Eurasia, Pasifik dan Hindia sehingga mempunyai kekayaan berupa bahan tambang. tidak hanya berpotensi untuk mencukupi kebutuhan di dalam negeri bisa juga sebagai komoditas ekspor.

Jika seluruh potensi sumber daya alam Indonesia dijadikan sumber pemasukan negara, tentu lebih dari cukup untuk pembiayaan negara. Ada 2,8 triliun meter kubik cadangan gas alam, potensi logam mulia, potensi minyak bumi dan potensi kelautan yang belum tereksplorasi secara maksimal. Akibat sistem kapitalis, pengaturan SDA menjadi terabaikan. yang sejatinya adalah milik umum menurut sistem ekonomi Islam, justru dikuasai individu/korporasi dan membiarkan masyarakat ikut menderita dalam tumpukan ULN.

Islam sebagai agama paripurna telah memberikan jawaban atas ULN. Bagaimana negara harusnya bisa berperan penuh dalam pemenuhan kebutuhan tanpa harus berhutang dan menggantungkan diri dengan utang. Seoptimal mungkin dalam pengelolaan aset-aset negara yang seharusnya menjadi milik negara yang digunakan untuk kepentingan negara, bukan menggunakan aset negara untuk kepentingan pribadi dan pengeluaran yang seharusnya tidak perlu terjadi. Dengan hukum Islam tentu negara akan bisa bangkit dari keterpurukan.

Wallahua’lam Bishawwab

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *