Oleh: Elis Sulistiyani (Muslimah Perindu Surga)
Ketahanan pangan masyarakat saat ini tergoyahkan sebagai salah satu dampak pandemi corona, tidak sedikit masyarakat yang kesulitan untuk memenuhi urusan perutnya. Namun disisi lain suatu ironi saat telur ayam 1,2 ton bantuan sosial (bansos) Pemerintah provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) untuk warga terdampak covid-19 di Kabupaten (kab) Majalengka justru harus dimusnahkan karena pembusukkan akibat tidak terserap oleh masyarakat.
Sekda Kabupaten Majalengka, Eman Suherman mengatakan, tidak terserapnya bansos akibat dari tidak adanya penerima bansos, selain itu dalam aturannya penerima bansos tidak bisa dialihkan ke warga lain. Padahal menurut catatan dari Dinas Sosial (Dinsos) Majalengka terdapat 5.264 Kepala Keluarga (KK) yang menerima Bansos. (fajarcirebon.com,22/06/2020)
Berbelitnya syarat penerimaan Bansos dan tumpang tindihnya validasi data penerima Bansos juga bisa mnjadi sebab tidak terdistribusikannya Bansos ini secara tepat. Hingga akhirnya muncul banyak pengaduan dan permasalahan terkait Bansos ini, seperti diungkapkan oleh Kepala Desa Burujul Wetan, Kecamatan Jatiwangi, Otong Sholihin.
Beliau menyampaikan bahwa Pemerintah Desa (Pemdes) tidak dilibatkan dalam pendataan Bansos Pemprov Jabar yang telah didistribusikan. Dalam pelaksanaannya banyak pihak yang tidak terlibat dalam memvalidasi data penerima bantuan.
Kacaunya data ini nampak ketika ada penerima bantuan dinyatakan telah meninggal dunia. Sebagian lagi data identitas penerima bantuan tidak sesuai antara NIK (Nomor Induk Kependudukan), yang tertera pada KTP juga Kartu Keluarga. (radarcirebon.com, 03/05/2020)
Kekacauan yang terjadi nyatanya memang merupakan bukti dari gagalnya sistem kapitalis untuk mengurusi kebutuhan masyarakat salah satunya dalam urusan pangan. Hingga akhirnya hal ini harus dibayar tunai dengan kian menderitanya masyarakat kala pandemi ini terjadi.
Hal ini jauh berbeda kala Islam diterapkan dalam sebuah negara, negara adalah penanggung jawab utama dalam mengurusi hajat rakyat yaitu sebagai raain (pelayan/pengurus) dan junnah (pelindung). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad).
Maka negara akan memanifestasikan fungsi ini dalam urusan menjaga kecukupan stok pangan dengan meningkatkan produksi pangan dengan cara memaksimalkan pemanfaatan lahan pertanian oleh masyarakat yang tidak terkena wabah. Untuk ini, negara akan men-support dengan berbagai subsidi yang dibutuhkan berupa modal, saprotan, atau teknologi pendukung. Dalam hal ini teknologi RI 4.0 bisa digunakan untuk meminimalisasi dampak wabah bagi petani seperti penggunaan drone, sensor, dsb.
Untuk pemenuhan jangka pendek, Khilafah bisa membeli produksi pertanian yang diusahakan petani atau swasta sebagai cadangan negara untuk kebutuhan masyarakat selama wabah. Dalam hal distribusi, Khilafah akan menyiapkan sarana dan prasarana logistik yang memadai untuk mendistribusikan pangan ke seluruh daerah yang terkena wabah. Tentu tanpa adanya sekat otonomi daerah bahkan batas wilayah. Tanpa memandang suku, agama, ras dsb.
Sebagaimana yang dicontohkan Khalifah Umar bin Khaththab ketika menghadapi krisis beliau membangun pos-pos penyedia pangan di berbagai tempat, bahkan mengantarkan sendiri makanan ke setiap rumah. Kebijakan ini akan menekan jumlah mobilitas rakyat sedang kebutuhan mereka tetap terpenuhi oleh jaminan negara.
Kekacauan data penerima Bansos bisa juga menjadi penyebab tidak terdistribusikannya bantuan ini. Mengingat sempat terjadi tumpang tindih data penerima Bansos di pusat dan daerah, hal ini diakui pula oleh Presiden Joko Widodo. Kekacauan ini juga seperti terjadi Sumatera Barat (SumBar), Gubernur Sumatera Barat Iwan Prayitno menyoroti data program bantuan sosial yang kacau sehingga rentan salah sasaran.
Terkait BLT Kemensos, awalnya terdapat 250 ribu kepala keluarga yang terdaftar untuk mendapat bantuan. Seiring waktu, jumlahnya dipangkas menjadi 234 ribu KK dan dipangkas lagi jadi 206 ribu KK. Iwan menyebut hal ini merepotkan Bupati dan Walikota di wilayahnya. Selain itu, ketika bantuan siap disebar, rupanya 30 persen data dari Kemensos yang merujuk pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) itu tidak tepat sasaran. Dia menduga itu dikarenakan pembuatan data yang tidak real time dan tak didasari tatap muka. (tirto.id, 14/05/2020)
Selain itu kekacauan validasi data ini mungkin terjadi karena
Berbelitnya syarat bagi penerima bansos bisa saja menjadi sebab tidak terdistribusinya Bansos ini secara tepat. Mengingat bagi penerima harus memenuhi syarat-ayarat tertentu seperti harus masuk pendataan RT/RW, kehilangan pekerjaan karena dampak covid-19 dan lain sebagainya. (republika.co.id, 11/05/2020)
Tersendatnya pendistribusian ini juga tidaka akan terjadi ketika Pemerintah Pusat dan Pemerintah kabupaten (Pemkab) memiliki data valid