Urgenkah Perpres Penanggulangan Ekstremisme Terorisme?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh:  Agung Andayani

 

Bulan pertama di awal tahun 2021 ini tidak bersahabat. Bencana datang secara beruntun. Baik di laut, udara dan darat. Mulai dari banjir, erupsi gunung, tanah longsor, kecelakaan pesawat terbang, gempa bumi dan angka positif covid per hari tembus di atas 10 ribu dengan angka kematian yang tinggi. Hutang negara medekati 6.000 T. Yang membuat tambah miris kasus korupsi tak pernah kunjung berhenti seperti korupsi dana bansos, ansurasi jiwasraya, Asabri, BPJS dan sebagainya. Itu yang ketahuan. Sedangkan yang belum muncul dipermukaan? Kita tunggu saja waktu yang akan mengungkapkannya.

 

Semua problem tersebut tak butuh pencitraan akan tetapi dibutuhkan solusi cepat dan tepat. Dibutuhkan kebijakan tepat sasaran ke sumber problem. Anehnya kebijakan yang di nanti-nanti namun yang keluar yaitu Presiden pada hari Jumat 15/01/2 menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE).CNN Indonesia.

 

Terkait dengan RAN PE, Ketua Umum LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menilai bahwa perpres tersebut dapat  berpotensi penerapannya dikhawatirkan berpotensi sewenang-wenang dalam menafsirkan ekstremisme. Lantaran di dalam Perpres tersebut tidak dijelaskan definisi “ekstremisme”, apa yang dimaksud “ekstremisme” karena apabila dibedah secara bahasa terdapat 2 (dua) kata yaitu “ekstrem” dan “isme”. Sehingga harus didefinisikan secara konkrit dan memiliki batasan yang jelas paham apa yang dapat dikategorikan “ekstremisme”. Apabila tidak, maka dikhawatirkan bersifat karet/lentur, tidak bisa diukur sehingga berpotensi diterapkan secara sewenang-wenang.,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Selasa (19/1/2021).

 

RAN PE ini tentunya dapat memunculkan pertanyaan. Seberapa  urgen RAN PE? Dan  apakah perpres ini bisa melahirkan potensi sebuah jalan untuk memperkuat politik adu domba antar anggota masyarakat? Jadi rakyat dicurigai, antar umat digiring di adu domba. Kekhawatiran ini muncul bukan karena asal-asalan. Kita perhatikan untuk definisi ekstremisme saja tidak secara konkrit di jabarkan. Tentunya hal ini bisa membuat pemerintah berpotensi menjadi aktor tunggal yang dapat memonopoli kebenaran suatu defenisi.

 

Jika dugaan tersebut benar-benar terjadi, apakah kita ingin kembali ke zaman abad kegelapan yang terjadi di benua Eropa? Jadi siapapun yang lantang menyuarakan pendapat yang berbeda dengan penguasa maka siap-siap masuk sel jeruji.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *