Umat Butuh Perubahan Hakiki

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Khaulah
Aktivis BMI Kota Kupang

Krisis multidimensi menjamah ke berbagai penjuru dunia. Sebut saja krisis ekonomi, di mana kesenjangan menganga sedemikan besarnya. Rakyat kecil dipalak, penguasa kian kenyang. Ditambah krisis sosial, pergaulan bebas merajalela menjangkiti berbagai elemen masyarakat.

Belum lagi, pandemi Covid-19 yang masih menjumpai kegagalan dalam upaya kuratifnya. Dari sekian krisis itu, politik pun tak ketinggalan mengalami keguncangan. Kebijakan-kebijakan yang lahir justru mencekik masyarakat. Perihal yang terbaru yaitu disahkannya UU Ciptaker yang sarat kontroversi.

Krisis di dunia layaknya fenomena gunung es. Masih terlalu banyak yang tak terindra. Sungguh, perubahan pada satu aspek tak menghentikan krisis ini. Lebih dari itu, dibutuhkan perubahan yang mendasar.

Berbicara terkait perubahan, umat sungguh merindukannya. Hal ini tampak dari hadirnya 2.000 peserta pada Konferensi Internasional tentang Kembalinya Tatanan Dunia Islam yang diadakan Hizbut Tahrir Inggris pada 31 Oktober lalu (www.hizb.org.uk, 01 November 2020). Konferensi tersebut menyimpulkan bahwa dunia pun umat di dalamnya merindukan perubahan untuk mengakhiri hegemoni kapitalis yang tak adil.

Perubahan yang dimaksud bukan dengan membuang energi untuk mereformasi kapitalisme. Sekali-kali bukan! Tetapi dengan mengimplementasikan Islam secara kaffah.

Sebelum itu, penting untuk menelaah pangkal dari krisis multidimensi ini. Tentunya dengan melihat pondasi dimana dengannya negeri ini menerapkan kebijakan, menyelesaikan masalah, menjadikannya sebagai arah pandang kehidupan, dan lainnya.

Ternyata, ideologi kapitalisme-lah yang diadopsi negeri ini. Pondasi/asas dari ideologi kapitalisme adalah sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Agama dimarginalkan, aturannya tak dijadikan panduan kehidupan.

Atas dasar sekularisme, penganut ideologi ini berpendapat bahwa manusia berhak membuat peraturan hidupnya. Dipertahankan pula paham kebebasan, yaitu kebebasan berakidah, berpendapat, hak milik, dan kebebasan pribadi.

Dengan kebebasan hak milik, lahirlah berbagai kesenjangan sosial yang hari ini menganga lebar. Lahir pula rakyat kecil yang tercekik ekonominya. Dengan kebebasan pribadi yang dianut, pergaulan bebas kian marak.

Dengan demokrasi sebagai sistem pemerintahan, aturan yang diterapkan justru lahir dari tangan para wakil rakyat. Pada realitanya, wakil rakyat sekadar sematan belaka, tak lebih. Pasalnya, aturan yang lahir dari tangan manusia selalu menggunakan neraca materi. Aturan yang profit condong padanya, diambil. Walau, menghimpit rakyat kecil.

Akar permasalahan dunia pada umumnya dan negeri pada khususnya adalah diterapkannya sekularisme kapitalisme. Sehingga, langkah awal menyelesaikan krisis multidimensi ialah melepas jerat sekularisme kapitalisme dan menggantikannya dengan sistem sahih, tak lain ialah Islam.

Dalam Islam, terdapat sistem pemerintahan yakni Khilafah. Dimana setiap aturan yang diterapkan di dalamnya berasal dari Allah, Sang Pencipta sekaligus Sang Pengatur. Penting ditegaskan, bagi kaum Muslim, tegaknya sistem Islam bukan sekadar kebutuhan melepas tiap penat krisis multidimensi yang ada. Lebih dari itu, karena merupakan kewajiban yang mengantar pada kemuliaan.

Tentu, aturan kehidupan yang berasal dari Allah, Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan, beserta segala hal lainnya menjawab setiap krisis hari ini. Tak dipungkiri, aturan dari Allah Sang Maha Mengetahui menembus batas kebaikan dalam kacamata manusia.

Dalam sistem Islam, tak diadopsi sedikitpun aturan-aturan dari sistem selain Islam. Ya, semua peraturan yang diterapkan murni lahir dari sumber hukum Islam, Alquran dan Hadis.

Lihat saja sistem sosial, dimana pergaulan antara pria dan wanita diatur sedemikian rupa, menutup rapat pintu kemaksiatan. Islam melarang pria dan wanita yang bukan mahram berdua-duaan dan melarang ikhtilat. Lebih lanjut, terdapat tata cara berpakaian bagi wanita di kehidupan khusus dan umumnya.

Dalam hal ekonomi, penerapan dalam Islam mencakup dua segi. Pertama, bagaimana negara mengumpulkan harta dari rakyat untuk mengatasi persoalan rakyat. Negara mengambil kewajiban zakat atas harta yang dimiliki baik berupa uang, tanah, hasil pertanian, atau ternak, dengan menganggapnya sebagai ibadah. Harta tersebut hanya dibagikan kepada delapan pihak yang telah tercantum dalam Alquran.

Kedua, negara mengatur mekanisme pendistribusiannya. Adalah diberikan bagi pihak yang tidak mampu. ( Nidzam al-Islam, Taqiyuddin An-Nabhani). Penting ditegaskan, bahwa semua lini kehidupan dalam sistem Islam diatur dengan aturan yang berasal dari Allah, Sang Maha Mengetahui segala sesuatu.

Telah jelas bahwa satu-satunya jalan mengakhiri krisis multidimensi, meraih perubahan hakiki ialah dengan menerapkan syariat Islam secara kafah dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Semoga kita tetap teguh, tak ragu menyuarakan kebenaran hingga terwujudnya perubahan hakiki pun hari-hari setelahnya.

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Rad : 11)

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *