Umat Butuh Aturan Ilahi, Bukan Moderasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Atika Marsalya, S. Pd.

Ajaran Islam kembali diusik, khilafah dan perang yang dianggap sebagai konten radikal dihapus dari kurikulum, hal ini dilakukan dalam rangka mengedepankan ajaran Islam washatiyah. Hal ini sesuai ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162 dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI.
Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah pada Kementerian Agama (Kemenag), Umar, menjelaskan  yang dihilangkan sebenarnya bukan hanya materi khilafah dan perang. Umar menjelaskan, setiap materi ajaran yang berbau tidak mengedepankan kedamaian, keutuhan dan toleransi juga dihilangkan. “Karena kita mengedepankan pada Islam wasathiyah,” kata Umar kepada Republika.co.id, Sabtu (7/12).

Pernyataan ini sedikit berbeda dengan apa yang diutarakan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi, namun memiliki maksud dan tujuan yang sama. Menag menyatakan bahwa  “Dalam buku agama Islam hasil revisi itu masih terdapat materi soal khilafah dan nasionalisme,” ujar Menag lewat keterangan tertulisnya, Kamis, 2 Juli 2020 seperti dikutip dari CNN Indonesia. Kendati demikian, Menag memastikan buku-buku itu akan memberi penjelasan bahwa khilafah tak lagi relevan di Indonesia. Menag mengungkapkan, penghapusan konten radikal tersebut merupakan bagian dari program penguatan moderasi beragama yang dilakukan Kemenag.

Islamophobia Akut di Balik Program Moderasi Islam

Di tengah kondisi krisis akibat wabah pandemi covid 19 rezim Indonesia nampaknya tidak fokus menanggulangi wabah corona. Ada hal lain yang menyita perhatian rezim, yakni menghilangkan paham-paham yang dianggap radikal oleh penguasa.

Sehingga pemerintah melalui kemenag merasa perlu segera menjalankan program Moderasi Islam. salah satu jalan yang ditempuh kemenag untuk mengedepankan Islam washatiyah adalah dengan menghapus konten yang dianggap radikal dari buku-buku pelajaran peserta didik.

Kata radikal itu sendiri, sampai saat ini penafsirannya seolah mengikuti kepentingan rezim. Padahal, secara bahasa kata radikal memiliki makna yang netral, tidak menunjukkan kebaikan ataupun keburukan di dalamnya. Namun kini, menurut opini yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, kata radikal memiliki makna yang buruk, radikal adalah lawan dari moderat. Maka kalau beragama jangan radikal, moderat saja, begitu kira-kira.

Sungguh aneh dan sangat tidak masuk akal. Ajaran Islam yang sudah demikian sempurna Allah turunkan melalui Rasul-Nya dituduh mengajarkan paham radikal. Kalau dulu, cadar dan celana cingkrang yang dijadikan indikasi seseorang berpemahaman radikal, kini ajaran Islam Khilafah dan Jihad Fii Sabilillah yang diserang. Dengan dihapusya materi Khilafah dan jihad dari materi ajar serta kurikulum pendidikan, seolah mengkonfirmasi adanya ketakutan terhadap syariat islam alias Islamophobia pada diri penguasa.

Kenapa Islamophobia ini bisa muncul? karena negara saat ini sedang mempraktikkan sistem sekulerisme yang meniscayakan pemisahan agama dari kehidupan. Di mana khilafah hakikatnya adalah sistem pemerintahan dalam Islam, bukan sebuah paham ataupun ideologi. Khilafah secara praktis menerapkan undang-undang serta sanksi yang berasal langsung dari Sang Pencipta, Allah swt. Di dalam sistem Khilafah tidak diperkenankan seorang penguasa menjalankan aturan atau hukum yang bersumber dari selain Islam. inilah mengapa Khilafah begitu ditentang bahkan ditolak mentah-mentah dalam sistem sekuler, termasuk di negara kita Indonesia.

Umat Islam Butuh Islam Kaffah, Bukan Moderasi Agama

Yang sering dijadikan dasar bagi moderasi adalah istilah ummatan wasathon. Dalam Alquran surah Al Baqarah ayat 143, lafaz “ummatan wasathon” ditafsirkan Umat Islam Moderat. Tafsir ini tidak berdasar, baik secara lafaz maupun secara ma’tsur (berdasarkan hadis).

Allah SWT berfirman,

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS Al Baqarah: 143).
Dalam tafsir Imam Ath Thabari dijelaskan:

: كذلك خصصناكم ففضلناكم على غيركم من أهل الأديان بأن جعلناكم أمة وسطا . وقد بينا أن الأمة هي القرن من الناس والصنف منهم وغيرهم .
وأما الوسط فإنه في كلام العرب : الخيار
يقال منه : فلان وسط الحسب في قومه : أي متوسط الحسب , إذا أرادوا بذلك الرفع في حسبه , وهو وسط في قومه وواسط .

“Demikian pula Kami (Allah) telah membedakan dan mengutamakan kalian (umat Muhammad) dari umat agama lain, menjadikan umat Muhammad sebagai yang terbaik (wasathon).”

Maka “wasthu” di sini, menurut kamus Arab adalah Al-khiyar (terbaik) dan Al-hasabu (pilihan). Jadi ia adalah pilihan di antara kaumnya. Yaitu pilihan terbaik, umat terbaik, dan sebagai wasith.
Secara ma’tsur, terdapat hadis yang dituliskan dalam tafsir Ath Thabari,

حدثنا سالم بن جنادة ويعقوب بن إبراهيم , قالا : ثنا حفص بن غياث , عن الأعمش , عن أبي صالح عن أبي سعيد , عن النبي صلى الله عليه وسلم في قوله : { وكذلك جعلناكم أمة وسطا } قال : ” عدولا

Rasulullah Saw. ketika menafsirkan وكذلك جعلناكم أمة وسطا, adalah umat yang adil. Ummatan wasathon yang dilekatkan dengan umat Islam justru adalah umat yang terbaik, umat yang berbeda dengan umat yang lain.

Demikianlah ummatan wasathon, sama sekali tidak ada kaitannya dengan moderasi. Tuduhan radikal jika mempelajari Islam seutuhnya, sangat tidak berdasar. Bahkan istilah radikal pun tidak menjadi istilah umat Islam. Sehingga tidak ada keperluan umat Islam harus merevisi atau menjadikan moderat ajarannya.

Langkah moderasi yang terstruktur dan masif ini, sama sekali tidak ada manfaatnya. Justru akan membawa umat ini semakin berpikiran sekuler radikal. Semakin ingin jauh dengan syariat Islam. Karena itu hendaknya dihentikan atau Allah SWT akan mengingatkan dengan cara-Nya.

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ ٱلْكِتَٰبِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْىٌ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلْعَذَابِ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS Al Baqarah: 85)
Mengambil sebagian hukum Allah dan membuang sebagiannya adalah tindakan tercela. Tidak ada balasan bagi perbuatan ini selain kehinaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Kita berlindung kepada Allah dari perbuatan ini. Wallahu a’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *