Ulama dalam Arus Moderasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ukhiya Rana (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode kepengurusan 2020 – 2025 resmi diumumkan, Rabu (26/11) malam. Sejumlah nama baru muncul, wajah lama hilang seiring pengumuman Miftachul Akhyar sebagai Ketua Umum MUI periode 2020 – 2025.

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai dominasi dan kekuatan Ma’ruf Amin di MUI sangat kentara. Membuka dugaan kuat campur tangan pemerintah di payung besar para ulama tersebut.

“Bisa dikatakan ada semacam campur tangan karena Ma’ruf Amin kan wapres. Tentu pemerintah ingin majelis ulama dalam kendali. Sehingga kekritisannya akan hilang dan bisa dikendalikan,” ujar Ujang. (CNNIndonesia, 27/11/2020)

Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily, menyatakan bahwa MUI bukan organisasi politik. Dia juga menegaskan bahwa MUI merupakan tempat ormas-ormas Islam berhimpun tanpa tujuan politik tertentu. Hal tersebut disampaikannya merespon terdepaknya sejumlah nama dari kelompok Alumni 212 yang kritis terhadap pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin dari kepengurusan MUI periode 2020 – 2025, seperti Bachtiar Nasir, Yusuf Martak, dan Tengku Zulkarnain.

“Soal tidak masuknya nama-nama yang kritis dalam kepengurusan MUI terhadap pemerintahan Jokowi, MUI bukan organisasi politik,” kata Ace. (CNNIndonesia, 28/11/2020)

Sedangkan Formatur Kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari unsur Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Masduki Baidlowi, menepis persepsi adanya penyingkiran gerbong PA 212 dari kepengurusan MUI 2020 – 2025. Tim formatur tidak memandang apakah calon pengurus yang dipertimbangkan adalah anggota PA 212 atau bukan.

“Tidak ada unsur kesengajaan menyingkirkan ini dan itu. Pendekatannya bukan 212 dan non-212,” kata Masduki. (detikcom, 28/11/2020)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah lembaga independen yang mewadahi para ulama, zuama, dan cendekiawan Islam untuk membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam di Indonesia. Namun pada faktanya, MUI Nampak sebagai ‘alat’ pemerintah untuk mengendalikan umat Islam di Indonesia. Sebab, mayoritas umat Islam di negeri ini masih menjadikan MUI sebagai ‘induk’ dalam melaksanakan syariat Islam.

Ini jelas terlihat dari campur tangan Wapres dalam MUI. Hal tersebut bisa menjadi bukti bahwa pemerintah menginginkan kendali atas umat Islam melalui tangan sang Kiyai. Terlebih dengan adanya beberapa nama yang tidak terdaftar dalam kepengurusan MUI periode terbaru. Yang notabene mereka merupakan para ulama yang sangat kritis terhadap pemerintah dan berani menentang kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat.

Ini menjadi fakta baru bahwa rezim ini memang sengaja untuk mengebiri peran MUI—membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam. Sehingga, dengan kendali rezim sekuler melalui MUI (yang telah dibersihkan dari ulama-ulama kritis), penguasa akan semakin melenggang bebas. Sebab, hanya dengan label ‘halal’ dari MUI (sesuai dengan kepentingan) maka penguasa akan bebas membuat kebijakan, meskipun bertentangan dengan syariat Islam.

Semua itu adalah bukti nyata, bahwa sistem kapitalisme-sekuler semakin kuat dan dominan dalam mewarnai pengambilan kebijakan. Bahkan akar-akarnya pun telah menancap kokoh dalam tubuh para ulama. Tak ayal umat pun akan semakin sulit untuk mencari sosok ulama yang benar-benar tulus dan lurus.

Padahal ulama adalah pewaris para nabi, “Sungguh para ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR. abu Dawud dan Tirmidzi).

Sebagai pewaris Nabi, para ulama tidak hanya mewarisi ilmu, tetapi juga amanah risalah yang telah dibawa oleh para Nabi. Imam Ahmad mengatakan, “Jika seorang ulama menjawab pertanyaan (orang awam) dengan menyembunyikan kebenaran (taqiyyah), kemudian orang yang bodoh tetap dengan ketidaktahuannya, lalu sampai kapan kebenaran itu akan tampak?”

Oleh sebab itu, ulama-ulama di negeri ini pun seharusnya tidak boleh gentar dalam menyampaikan kebenaran Islam. Terlebih ada wadah yang memayungi para ulama tersebut. Selain itu juga harus memiliki kesadaran bahwa majelis ulama wajib memberikan contoh sikap dalam menentang kezaliman dan muhasabah lil hukam. Sebab, itulah peran dan tugas ulama. Ulama juga wajib mewaspadai arus moderasi yang memnfaatkan posisi mereka untuk menyesatkan umat.

Di sinilah yang akan membutuhkan keikhlasan dan keberanian, dan hanya mampu dilakukan oleh seseorang yang tidak hanya berilmu, namun juga orang yang hanya takut kepada Allah semata, meskipun harus menentang arus.

“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamban-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (TQS. Fathir:28)

Maka hanya ulama seperti inilah (hanya takut kepada Allah) yang mampu menunaikan amanah ilmu dan menjadi pewaris Nabi yang sesungguhnya. Sebab, dalam jeratan sistem kapitalisme-sekuler seperti saat ini, tidak sedikit ulama yang justru terbawa arus moderasi. Sehingga mereka tidak mampu lagi bersuara lantang dan nyalang untuk menentang kezaliman oleh penguasa. Malah semakin merapatkan barisan bersama para penguasa.

Dari ‘Umar bin Khaththab r.a, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai penguasa yang berinteraksi dengan ulama. Dan membenci ulama yang mendekati penguasa, karena ulama ketika dekat dengan penguasa yang diinginkan dunia, namun jika penguasa mendekati ulama inginkan akhiratnya.” (HR. Dailami)

“Rusaknya rakyat disebabkan karena rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa disebabkan karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama disebabkan karena dikuasai oleh cinta harta dan ketenaran.” (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, 2/357)

Sudah seharusnya fokus kiprah ulama adalah kembali untuk kemaslahatan umat Islam, terlebih di dalam sistem yang rusak ini. Akan semakin menguji ‘kekuatan’ ulama dalam menentang arus moderasi serta dlam menjalankan perannya sebagai pewaris para nabi. Karena sejatinya, sistem kuffur inilah yang menjadi sumber penyakit yang menggerogoti tubuh para ulama.

Karenanya, diperlukan peran negara dalam menghempaskan sistem yang rusak dan merusak ini, yang tentu tidak bisa diserahkan pada umat (ormas) saja. Serta menggantikannya dengan penerapan sistem Islam yang hanya bisa dijalankan secara sempurna oleh negara yaitu Daulah Khilafah Islamiyah.

 

Wallahu a’lam bish-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *