“UKT” Diturunkan atau Ditiadakan?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Santeka Melda

Semester ganjil perkuliahan tahun 2020 resmi dilaksanakan secara daring. Bukan tanpa masalah, banyak masalah dibalik kuliah daring ini, mulai dari sulitnya memahami materi, timbul tenggelamnya signal, hingga masalah terbesar yakni uang kuliah tunggal (UKT).

UKT menjadi masalah besar dikala kuliah daring sepeti ini, pasalnya di masa pandemi ini banyak keluarga mahasiswa yang terganggu ekonominya. Seperti yang kita tahu, pandemi yang terjadi telah melumpuhkan sektor perekonomian yang ada. Makan saja susah apalagi untuk bayar UKT, tentu lebih susah. Hal inilah yang menjadi alasan para mahasiswa turun menuntut keringanan UKT hingga pembebasan UKT.

Dilansir dari Banten News.co.id diketahui, Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UIN Banten melakukan aksi demo terkait tuntutan penggratisan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di depan Gedung Rektorat UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Senin (22/6/2020). Jauh sebelum aksi demo mahasiswa UIN Banten tersebut dilansir dari Okezone.com diketahui, Puluhan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) melakukan aksi demonstrasi menuntut penurunan uang kuliah tunggal (UKT) ditengah pandemi corona di Kampus UB, Jalan Veteran Kota Malang, Jawa Timur, Kamis 18 Juni 2020.

Tidak hanya itu, senin 22 juni 2020 diketahui dari detik.com, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Mahaiswa Jakarta, berkumpul melakukan aksi hingga membakar ban di depan kantor Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mereka menuntut audiensi langsung dengan Mendikbud Nadiem Makarim guna membahas aspirasi mereka. Salah satu yang menjadi sorotan yakni tuntutan mereka berupa pemotongan UKT sebesar 50%.
Aksi – aksi mahasiswa wajar terjadi terlebih di saat – saat sulit seperti ini, meskipun mendikbud telah memberitahukan ada dana sebagai bantuan UKT. Namun bukan tanpa syarat, UKT bisa turun dengan pengajuan dan syarat yang cukup rumit.

Mendikbud Nadiem sendiri sebenarnya telah memberitahukan bahwasannya kementrian telah menganggarkan dana sebesar 1 Triliun Rupiah sebagai program bantuan uang kuliah tunggal (UKT). Program bantuan UKT ini diberikan kepada mahasiswa baik dari perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS), dengan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh mahasiswa terkait. Tentu ini bukan kebijakan yang bijak, karena bagaimanapun harusnya semua mahasiswa bisa mendapatkan potongan UKT di masa sulit ini. Terlebih mahasiswa tidak menikmati fasilitas kampus seperti biasanya, tidak menikmati AC, LCD kelas dan sebagainya. Belum lagi mahasiswa butuh kuota untuk perkuliahan dan itu tidak murah. Mungkin ada sebagian universitas yang memberikan subsidi berupa kuota kepada mahasiswanya, namun kuota yang diberikan belum mencukupi untuk kegiatan perkuliahan.

Jika melihat keadaan harusnya UKT itu diturunkan atau ditiadakan ? jelas seharusnya UKT itu ditiadakan. Mahasiswa tidak lagi bertatap muka dengan dosen, tidak bisa melaksanakan praktikum, tidak bisa menikmati fasilitas – fasilitas kampus, tentu sebuah kerugian besar bagi para mahasiswa jika mahasiswa tetap harus bayar UKT, terlebih jika bayarnya full.

Inilah potret pendidikan di era kapitalisme sekuler, yang semuanya serba berbayar tidak perduli kondisi sulit sekalipun. Pendidikan adalah hak seluruh rakyat tanpa terkecuali, tidak perduli kaya ataupun miskin tidak perduli mampu bayar ataupun tidak mampu, karena sejatinya pendidikan rakyat adalah tanggung jawab Negara. Terlebih dikondisi pandemi yang serba sulit seperti ini. Pemerintah dituntut ekstra dalam mengurusi rakyatnya dalam bidang apapun. Pendidikan juga harus jadi fokus utama dari pemerintah, karena pendidikan menentukan masa depan negera kelak. Jangan sampai di kondisi sulit seperti ini para mahasiswa lebih memilih mundur dari pendidikannya hanya karena tidak mampu membayar UKT.

Rasulullah dalam haditsnya bersabda “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya”(HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hal ini pendidikan merupakan hak rakyat dan kewajiban Negara. Hal ini tercermin di zaman kekhalifahan dahulu, dimana para khalifah sangat besar perhatiannya pada pendidikan warganya. Pada zaman Abbasyah, khalifah banyak mendirikan sekolah – sekolah, juga perpustakaan. Di Cordoba, Spanyol pada zaman itu juga berkembang berbagai perguruan tinggi, dan semua faslitas pendidikan tersedia dengan kualitas nomor satu. Pendidikan kelas satu pada zaman itu diberikan kepada rakyat dengan cuma – cuma alias gratis.

Pendidikan gratis dan bermutu bisa dihasilkan oleh khalifah karena Negara mempunyai sumber penghasilan yang sangat besar, karena kekayaan Negara dan kekayaan milik umum dikelola langsung oleh Negara. Tidak seperti saat ini dimana kekayaan Negara lebih dikuasai asing, sehingga Negara tidak mampu menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya, dan Negara pun susah mendapatkan penghasilan, terlebih dikala pandemi seperti ini.

Semua itu bisa terwujud atas dasar kekuatan iman. Dimana para pemimpin menerapkan system pemerintahan islam, dan memiliki keimanan serta keyakinan yang kuat. Dengan filosofi, “imam(kepala negara) adalah penggembala dan dialah satu – satunya yang bertanggung jawab atas gembalaan(rakyat)-nya”.(HR. Bukhari). Dinlah pemimpin atau khalifah memiliki ketakutan jika rakyatnya tidak mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga khalifah menggratiskan pendidikan sebagai bentuk tanggungjawab atas amanahnya, dan khalifah tidak sedikitpun berusaha memperkaya diri dengan mengkomersialisasi penddikan karena yakin kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Sudah saatnya kita kembali pada system yang benar, sempurna dan paripurna, yang mampu melayani rakyatnya dan mampu menghadirkan pendidikan gratis bagi seluruh rakyatnya.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *