Oleh: Bani Hamsana (Pemerhati Sosial)
Pembantaian yang dilakukan oleh rezim Myanmar terhadap muslim Rohigya masih saja terjadi sampai sekarang. Menyisakan trauma bagi jutaan muslim Rohigya apalagi di tengah Pandemi Covid-19. Diam di tempat berarti mati, keluar mencari kehidupan yang layak malah ditolak oleh negara-negara yang dituju dengan berbagai alasan.
Sebagaimana Malaysia secara terang-terangan menolak kehadiran etnis muslim Rohigya, “Kami tidak akan membiarkan kapal asing masuk,” kata Tan Kok Kwee, laksamana pertama lembaga penegak maritim Malaysia dikutip dari Sydney Morning Herald. Hal senada juga diucapkan oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Fuad Basya bahwa sikap TNI masih tetap menolak kedatangan pendatang ilegal yang akan memasuki perairan Indonesia, tetapi juga tidak mengabaikan sisi kemanusiaan jika ada yang membutuhkan pertolongan di laut. (Merdeka.com, 19/05/2020)
Baru-baru ini, sedikitnya ada 94 muslim Rohigya terdampar di perairan Aceh, tepatnya di perairan Pantai Seunuddon, Kecamatan Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara. Kapal yang mereka tumpangi terombang ambing selama dua hari dan ditolak mendarat, bahkan ditarik kembali ke lautan oleh aparat setempat.
Tindakan aparat tersebut memicu aksi protes dari masyarakat disekitarnya.
Salah seorang warga Kecamatan Syamtalira Bayu, Aples Kuari, kepada sejumlah wartawan di lokasi menyebutkan , jika tidak aksi protes warga, kemungkinan para imigran Rohigya itu sudah ditarik oleh petugas ke tengah laut. Padahal pengungsi itu sudah beberapa hari terombang ambing di lautan, kelaparan, dan mereka butuh pertolongan. Menurutnya, jika pemerintah tidak sanggup memberi makan para pengungsi itu, biar masyarakat yang menyediakan logistik kepada mereka. Warga setempat sangat prihatin melihat kondisi mereka, karena dari 94 imigran Rohigya itu terdapat anak-anak dan bayi yang masih menyusui. (Waspada Aceh.com, 25/06/2020)
Aceh bukan kali ini saja menolong muslim Rohigya yang terdampar. Pada tahun 2015, pengungsi Rohigya di Aceh diperkirakan mencapai 1000 orang (Tempo.co). Apalagi sekarang, dimana sampai detik ini kekerasan terhadap muslim Rohigya belum juga mereda sehingga eksodus secara besar-besaran tidak menutup kemungkinan tetap akan terjadi.
Apa yang telah dilakukan oleh muslim Aceh adalah sikap pahlawan yang patut diacungkan jempol, berbeda sikap dengan pemerintah yang menggunakan kalimat kemanusiaan sebagai jargon belaka tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah abai terhadap kemanusiaan dengan dalih menjaga teritorial NKRI.
Sikap yang ditunjukkan oleh muslim Aceh bukan sekedar rasa kemanusiaan tetapi juga Ukhuwah Islamiyah yang tertanam didalam diri mereka. Keimanan merekalah yang menjadi landasan ukhuwah tersebut menjadi kuat. Sifat Islami yang melekat pada ukhuwah merupakan konsep rabbani yang berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ukhuwah Islamiyah itu sendiri berarti persaudaraan berdasarkan Islam atau sebagai ikatan aqidah yang menyatukan hati seluruh umat muslim dari berbagai negara , bahasa maupun suku bangsa, sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara”. (TQS. Al-Hujurat: 10)
Muslim Aceh memberikan contoh kepada dunia, bahwa sekat nasionalisme tidak bisa menjadi penghalang bagi mereka dalam menolong saudara muslim lainnya. “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Dia tidak akan berlaku zalim dan meninggalkan saudaranya sendirian (menjadi korban kezaliman orang lain). Siapa saja yang memnuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya”. (HR. Al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, Abu Dauwud, an-Nasa’i, dll)
Pertolongan yang muslim Aceh lakukan kepada muslim Rohigya adalah buah cinta dari Ukhuwah Islamiyah.
Walaupun tidak saling mengenal, bukan saudara, bukan sesuku,sebangsa bahkan berbeda bahasa, tapi ikatan aqidah yang telah mempersatukan persaudaraan diantara mereka. “Perumpamaan kaum Mukmin dalam hal saling cinta, berkasih sayang dan saling simpati diantara mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu organ yang sakit maka seluruh tubuh demam dan tak bisa tidur”. (HR. Muslim dan Ahmad)
Ukhuwah ini juga akan meciptakan rasa keterikatan satu sama lain. Muslim Aceh yang istimewa ini, dengan segenap tenaga dalam keterbatasannya tetap berjuang untuk melindungi saudara mereka yaitu muslim Rohigya yang telah dizholimi oleh rezim Myanmar bahkan dizholimi dengan adanya penolakan oleh negara-negara muslim saat muslim Rohigya membutuhkan pertolongan .
“Setiap muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak menyakiti dan juga tidak disakiti. Jika seseorang mmbantu saudaranya yang sedang membutuhkan, maka Allah akan membantunya ketika ia membutuhkan; dan jika seseorang menghilangkan bencana dari muslim yang lain, maka Allah juga akan menghilangkan bencana daripadanya besok pada hari kebangkitan; dan jika seseorang menyembunyikan aib muslim yang lain, maka Allah akan menyembunyikan aibnya pula pada hari kebangkitan”. (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Umar)
Aceh memang layak diberi julukan Serambi Mekkah. Masyarakatnya adalah masyarakat yang istimewa, mewarisi sifat para pahlawannya. Sudah saatnya, tidak hanya muslim Aceh saja, tetapi seluruh umat Islam untuk segera merapatkan barisan dan perkuat Ukhuwah Islamiyah, karena itu adalah modal dalam kebangkitan umat. Kebangkitan yang akan menghapus semua kezholiman-kezholiman yang menimpa umat muslim.
Proud Of You, Aceh.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.