Oleh: Yuni Damayanti (Pemerthati Sosial Asal Kabupaten Konawe, Sultra)
Unggahan Twitter Mesut Ozil yang mengecam perlakuan Cina terhadap Muslim Uighur di Xinjiang dikecam oleh Cina. Beijing menyangkal tuduhan Mesut Ozil yang menuduh Cina mempersekusi Muslim Uighur di Xinjiang sebagai berita palsu.
Pun Nicholas Bequelin, Direktur Regional di Amnesty International, memaparkan temuan di situs Amnesty International tentang situasi di Xinjiang. Dikutip dari situs Amnesty.org, 19 Desember 2019, Amnesty International telah mewawancarai 400 lebih orang kerabat Xinjinag yang mengungsi ke luar negeri. Mereka menyebut ada penyiksaan di Xinjiang. Amnesty International juga meneliti bukti foto satelit dan dokumen pemerintah Cina tentang program penahanan (Tempo.co, 19/12/2019) .
Berikut adalah temuan yang dipaparkan oleh Amnesty International di Xinjiang: Pertama, kamp interniran massal. Diperkirakan satu juta orang yang mayoritas beragama Islam, seperti Uighur dan Kazakh, telah ditahan di kamp-kamp interniran di Xinjiang, barat laut Cina. Pemerintah telah berulang kali menyangkal keberadaan kamp, menyebutnya sebagai pusat pendidikan kejuruan sukarela. Tetapi mereka yang dikirim tidak memiliki hak untuk menentang keputusan tersebut.
Kedua, perlakuan tahanan. Kairat Samarkan termasuk di antara mereka yang dikirim ke kamp penahanan pada Oktober 2017, setelah ia kembali ke Xinjiang dari Kazakhstan. Dia memberi tahu Amnesty kepalanya ditutup, dibelenggu di lengan dan kakinya, dan dipaksa berdiri dalam posisi tetap selama 12 jam ketika pertama kali ditahan. Dia mengatakan para tahanan juga dipaksa untuk menyanyikan lagu-lagu politik dan menyanyikan “Hidup Xi Jinping” (presiden China) sebelum makan atau menghadapi hukuman yang keras.
Ketiga, hukuman. Pihak berwenang memutuskan kapan tahanan telah “berubah”. Mereka yang menolak atau gagal menunjukkan kemajuan yang cukup, menghadapi hukuman mulai dari pelecehan verbal hingga pengurangan jatah makanan, kurungan isolasi dan pemukulan. Ada laporan tentang kematian di dalam fasilitas, termasuk bunuh diri mereka yang tidak dapat menanggung penganiayaan.
Keempat, pemblokiran informasi. Pihak berwenang Cina telah mengundang Mesut Ozil untuk datang ke Xinjiang dan melihat-lihat situasinya sendiri. Menurut Amnesty hal itu adalah alibi, karena pemerintah telah menyelenggarakan puluhan tur propaganda untuk orang asing sambil mencegah pakar independen PBB mengunjungi wilayah tersebut, melecehkan jurnalis asing dan menginstruksikan pejabat lokal untuk merahasiakan program penahanan massal.
Kelima, program antiteror Cina. Pemerintah Cina telah membenarkan tindakan ekstremnya sebagai hal yang diperlukan untuk mencegah ekstremisme agama dan apa yang mereka klaim sebagai kegiatan teroris. Sikap mereka terhadap etnis minoritas Xinjiang telah mengeras sejak serangkaian insiden kekerasan di ibu kota Urumqi pada tahun 2009 dan serangan pisau di stasiun kereta api Kunming di Cina barat daya pada tahun 2014. Para ahli PBB menyimpulkan bulan lalu bahwa kebijakan Cina di Xinjiang cenderung memperburuk risiko keamanan.
Keenam, ditangkap karena menumbuhkan jenggot. Penganiayaan terhadap Muslim Xinjiang telah meningkat sejak sebuah peraturan yang disahkan pada 2017 berarti orang dapat dicap “ekstremis” karena alasan seperti menolak menonton program TV publik atau memiliki janggut “abnormal”. Mengenakan jilbab, berdoa secara teratur, berpuasa atau menghindari alkohol juga dapat dianggap “ekstremis” di bawah peraturan tersebut.
Ketujuh, pengawasan massal. Setiap orang di Xinjiang berisiko ditahan. Wilayah ini dipasang dengan kamera pengintai pengenalan wajah, yang didukung oleh penggunaan kecerdasan buatan dan pengumpulan DNA massal. Pemeriksaan keamanan di mana-mana adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, dengan pihak berwenang memeriksa ponsel yang memiliki konten yang mencurigakan.
Orang mungkin juga dicurigai melalui pemantauan rutin terhadap pesan yang dikirim pada aplikasi media sosial seperti WeChat. Syrlas Kalimkhan mengatakan dia menginstal WhatsApp di telepon ayahnya dan mengujinya dengan mengirim pesan, “Hai, Ayah.” Kemudian, polisi bertanya kepada ayahnya mengapa dia memiliki WhatsApp di teleponnya. Dia kemudian dikirim ke kamp pendidikan ulang.
Kedelapan, ancaman berbicara. Sebagian besar keluarga tahanan tidak tahu tentang nasib mereka, sementara mereka yang berbicara berisiko ditahan. Untuk menghindari timbulnya kecurigaan seperti itu, Uighur, Kazakh, dan lainnya di Xinjiang telah memutuskan hubungan dengan teman dan keluarga yang tinggal di luar Cina. Mereka memperingatkan kenalan untuk tidak memanggil dan menghapus kontak luar dari aplikasi media sosial.
Meski Arsenal dikritik karena tidak berbicara mendukung Mesut Ozil, mereka secara teknis tidak memiliki tanggung jawab untuk mengecam pelanggaran hak asasi manusia. Menurut Amnesty, mereka hanya harus memastikan bahwa mereka tidak menyebabkan, berkontribusi atau mengambil untung dari penyalahgunaan tersebut. Cina telah berupaya untuk memaksakan sensor yang kuat di luar negeri ketika Mesut Ozil mengambil sikap untuk mendukung Muslim Uighur yang menghadapi penganiayaan di Xinjiang.
Penindasan ini jelas mengusik ukhuwah sesama saudara seakidah, tak terkecuali negara-negara yang mayoritas muslim penduduknya. Sayangnya, Indonesia yang notabene sebagi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia masih belum menentukan sikap terhadap penindasan muslim Uighur (Tempo.co, 19/12/2019).
Selain itu, banyaknya hutang Indonesia kepada Cina disinyalir menjadi penyebab utama bungkamnya pemerintah terhadap kejadian yang menimpa Muslim Uighur. Negara yang mayoritas penduduknya muslim ini, pemimpinya membisu melihat kebiadapan Cina. Hal ini semakin menambah kekecewaan umat Islam Indonesia terhadap diamnya sikap pemerintah.
Di samping faktor hutang yang menggunung, rupanya nasionalisme juga menjadi penyebab Indonesia enggan melakukan pembelaan kepada kaum muslim di belahan bumi. Hal ini terjadi, tidak lepas, karena keberhasilan penjajahan barat terhadap negeri-negeri muslim dalam menyebarkan paham nasionalisme. Paham ini telah berhasil mengotak-ngotakkan umat muslim di seluruh dunia.
Nasionalisme atau konsep negara bangsa telah menikung umat Islam dunia dan penguasanya, termasuk indonesia, dari aksi nyata membantu saudara seakidah. Keberadaan penduduk muslim dunia, tentara, dan senjata mereka yang banyak tak berguna untuk membebaskan kaum muslim. Hal itu tidak lain disebabkan karena terhalang oleh sekat wilayah. Sehingga kezaliman terhadap muslim Uighur melengkapi berbagai kezaliman yang terjadi diberbagai negeri muslim lainnya.
Padahal Rasulullah saw. telah mengajarkan agar umatnya saling tolong-menolong ketika menyaksikan kesusahan yang dialami saudaranya. Sebagaimana hadis yang beliau sampaikan, “Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lainya. Tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh pula menyerahkan kepada orang yang hendak menyakitinya. Barangsiapa yang memperhatikan kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan kebutuhanya. Barang siapa melapangkan kesulitan seorang muslim, niscaya Allah akan melapangkan kesulitan-kesulitanya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi kesalahan seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi kesalahanya kelak dihari kiamat (HR Buhari).
Sejatinya kaum muslim ibarat satu tubuh, satu bagian menguatkan bagian yang lain. Bila ada bagian tubuh yang sakit, maka bagian lain ikut merasakanya. Begitu pula yang terjadi pada muslim Uighur, seharusnya kaum muslim seluruh dunia bersama-sama bergerak menolong Uighur dari kezaliman rezim tirani bukan sekedar melakukan kecaman saja.
Dengan demikian, saatnya umat Islam bangkit untuk memperjuangkan kembalinya sistem pemerintahan Islam.
Karena tegaknya hukum Allah melalui institusi pemerintahan merupakan satu-satunya yang mampu menghapuskan sekat nasionalisme di muka bumi. Umat membutuhkan perisai dan pelindung untuk melawaan rezim zalim dengan menyatukan seluruh potensi yang dimiliki di bawah satu kekuatan politik dan komando. Wallahu a’lam bisshawab.