Oleh : Irayanti (Pemerhati Sosial Politik dari Sulawesi Tenggara)
“Jualan surga dan neraka sudah tak laku.”
Ucapan sarkastik dari Zulkifli Hasan di depan kader PAN se Indonesia di forum Rakernas pada 7 Desember 2019, seakan menegaskan pandangan baru Zulkifli Hasan tentang haluan PAN ke depan. Ucapan tersebut seolah beraroma kekecewaan, apakah ini akibat kekalahan partai dalam mengusung pilpres lalu?
Kegoncangan PAN
Pidato Zulhas dan beberapa tagline yang disebarkan tim Zulhas di kanal-kanal sosmed yang menyebutkan #ZHTradisiBaru menegaskan bahwa harapan baru Zulhas adalah menggeser orientasi politik PAN, dari corak nasionalis berlandaskan keagamaan menjadi nasionalis sekulerisme. Perlahan-lahan Zulhas ingin memisahkan antara agama dan politik, persis seperti Snouck Hurgronje (1857-1936) yang merumuskan untuk memisahkan giroh keagamaan dalam perjuangan politiknya.
Sebanyak 30 DPW PAN mendukung kembali Zulhas menjadi ketua umum periode 2020-2025. Waketum PAN, Bara Hasibuan memuji pidato Zulhas soal surga dan neraka dan berharap PAN berubah dan menjadi kuat dengan tidak didominasi seseorang. Namun di satu sisi para kader PAN yang masih memegang idealisme PAN tidak setuju dengan pidato Zulhas.
Orientasi Politik Sistem Sekuler
Dikutip dari Antara (08/12/2019) Zulhas, pada penutupan Silaknas dan Milad Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Padang, mengatakan bahwa belajar dari Pemilu Presiden 2019 yang sudah usai, ternyata publik tidak lagi membutuhkan jargon-jargon tapi apa yang akan berdampak bagi kehidupan mereka.
Zulkifli Hasan juga menuturkan saat delapan bulan berkampanye dengan menjual isu agama dalam arti positif, ternyata publik lebih membutuhkan kebijakan yang bisa dirasakan manfaatnya secara langsung. Menurutnya pula, hebatnya perjuangan yang begitu heroik dengan menjual isu agama pada akhirnya capres yang didukung sudah menjadi Menteri Pertahanan. Itulah politik yang harus diambil pelajaran, karena akhirnya adalah kepentingan.
Inilah gambaran nyata sistem politik demokrasi saat ini, partai politik yang berada didalamnya hanya mementingkan kepentingan yang didapat oleh partai, dan banyaknya jumlah kursi di istana untuk mereka. Sehingga mereka hanyalah fokus pada kepentingan kelompok (partai) dari pada kepentingan rakyat. Belajar dari pilpres 2019 dan pemilu-pemilu sebelumnya, partai-partai di sistem demokrasi menjadikan rakyat sebagai ladang suara dalam bilik suara. Saat suara partai tidak bisa terdongkrak dengan isu islam maka mereka akan mengubah wajah mereka mengikuti selera pasar yang sekuler anti Islam. Sayangnya, PAN yang diidentikkan sebagai partai pengusung islam akan merubah haluan politiknya menjadi acuh terhadap agama. Padahal dalam Islam partai justru berfungsi untuk mengedukasi umat agar memahami Islam dan mengarahkan pilihannya berdasarkan Islam. Itulah hakikat politik di sistem sekuler saat ini politiknya liberal/ bebas sesuai kepentingan sehingga agama menjadi teracuhkan jika tidak sesuai dengan maksud hati partai. Yang di inginkan hanyalah manfaat duniawi, sehingga urusan surga dan neraka tak perlu di bawa-bawa dalam ranah perpolitikan. Alhasil, mengharap nilai Islam tegak di sistem demokrasi bagaikan mengharap rembulan di siang bolong.
Parpol dalam Sistem Islam
Dalam sistem Islam, kedaulatan bukan berada di tangan rakyat tetapi ditangan syara’. Parpol (baca: partai politik) keberadaannya adalah wajib sebagaimana untuk memenuhi seruan Allah Subhana Wa Ta’ala dalam QS Ali Imran [03] :104.
Dengan tegas, Allah memerintahkan adanya umat yang berarti kelompok yang terorganisasi. Tujuannya adalah menyerukan Islam. Secara umum, aktivitas partai politik adalah dakwah, amar makruf dan nahi munkar. Namun, lebih spesifik, dalam konteks sistem pemerintahan, fungsi dan peranan parpol adalah untuk melakukan check and balance atau bisa juga disebut sebagai muhasabah li al hukkam (mengoreksi penguasa).
Kontrol dari rakyat dan parpol sangat dibutuhkan dalam negara untuk meluruskan kebengkokan dan kekeliruan penguasa sesuai dengan hukum syara’. Parpol dalam sistem Islam haruslah parpol yang mempunyai visi, misi dan aktivitas yang terpancar dari akidah Islam atau berideologi Islam bukan seperti parpol sekarang yang sekuler-liberal. Parpol dalam sistem Islam hanya mengharapkan keridhoan Allah dan pemerintahan berjalan sesuai dien Islam bukan mengharapkan kursi, apalagi manfaat duniawi berupa materi.
Islam yang pernah menjadi mercusuar dunia selama kurang lebih 13 abad dengan 2/3 wilayah dunia dalam kekuasaanya semata hadir untuk mengayomi umat. Bukan saja umat Islam tetapi non Islam pun turut merasakan keindahan kekuasaan Islam. Sangat banyak bukti kekuasaan Islam yang diidentik dengan kepemimpinan dan kebijakan. Misalnya saat berkecamuk perang di Amerika antara pemerintah Federal Amerika yang baru berdiri dengan Inggris pada abad 18 masa kekhalifahan Abdul Hamid II. Rakyat Amerika mengalami kelaparan akibat perang lalu mendapat bantuan pangan oleh kekhalifahan Islam. Surat ucapan terima kasih rakyat Amerika kepada kekhalifahan atas kejadian tersebut secara resmi tersimpan di museum Aya Sofia di Turki.
Wallahu a’lam bi ash showwab