Tunjangan Guru Naik, Akankah Sejahtera Diraih?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tunjangan Guru Naik, Akankah Sejahtera Diraih?

Oleh Khaulah

Aktivis Dakwah

 

Presiden Prabowo Subianto mengumumkan akan menaikkan gaji guru pada puncak Hari Guru Nasional. Prabowo mengatakan, guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) akan mendapatkan tambahan penghasilan sebesar satu kali gaji pokok. Selain itu, tunjangan profesi bagi guru non-ASN akan meningkat menjadi Rp 2 juta per bulan.

(Tempo.co 02 Desember 2024)

 

Prabowo mengeklaim kesejahteraan guru bisa ditingkatkan, apalagi ungkapnya alokasi anggaran untuk kesejahteraan guru ASN dan non-ASN pada 2025 menjadi Rp81,6 triliun, naik sebesar Rp16,7 triliun dibanding tahun sebelumnya. Prabowo menegaskan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari langkah konkret pemerintah untuk memastikan guru mendapatkan penghargaan yang layak atas kontribusi mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Namun belakangan organisasi guru dan aktivis pendidikan mempertanyakan rencana tersebut. Karena sebenarnya, jika dihitung, kenaikan tunjangan guru non-ASN hanya sebesar Rp 500.000 per bulan. Tunjangan kesejahteraan yang dimaksud pun setelah guru lolos program sertifikasi guru. Sedangkan untuk guru ASN, kenaikannya memang senilai satu bulan gaji, tetapi hal ini merupakan kebijakan dari tahun ke tahun sebelum Prabowo menjabat.

 

Kendatipun benar pernyataan Presiden Prabowo, akankah kesejahteraan guru dapat diraih di dalam sistem yang masyarakat mesti merogoh kocek lebih untuk mendapatkan sebuah barang? Apakah sebanding antara naiknya tunjangan guru yang tak seberapa dengan mahalnya kebutuhan akan pangan, papan, dan kebutuhan “kecil” seperti kuota internet? Jika dihadapkan dengan realitas ini, tentu amat jomplang.

 

Apalagi mencermati kenaikan harga komoditas seperti beras, minyak goreng, bawang merah, telur ayam, dan daging ayam, sangat pas dengan pepatah lebih besar pasak daripada tiang. Hingga tampak fakta banyaknya guru yang terjerat pinjol dan judol, juga banyak guru memiliki profesi yang lain seperti ojol dan content creator. Hal ini dikuatkan dengan Survei IDEAS dan Dompet Dhuafa pada Mei 2024, yang menunjukkan bahwa 55,8% guru memiliki pekerjaan sampingan.

 

Jadi jelas bahwa kenaikan tunjangan tersebut, (apabila ada) tentu tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan para guru. Padahal, guru adalah ujung tombak pendidikan, menjadi agen pencerdas dan pendidik generasi, serta salah satu faktor penentu kualitas pendidikan. Jika kesejahteraan guru jauh panggang dari api, lantas apa yang diharapkan dari pendidikan kita?

 

Apabila menelaah lebih jauh, kebijakan negara yang tidak pro pada kesejahteraan guru berkelindan dengan sistem kehidupan yang diterapkan hari ini, yaitu sekuler kapitalisme. Dalam sistem ini, guru dianggap layaknya pekerja, seperti buruh dalam industri. Bedanya, guru berada dalam ekosistem pendidikan. Ini berakibat pada nasibnya yang tidak diperhatikan, padahal jasanya tidak bisa dinilai dengan apapun.

 

Sistem hari ini juga menjadikan negara tidak berperan sebagai pengurus (raa’in), dan hanya sebagai regulator dan fasilitator. Padahal negara memikul beban berat terkait pengurusannya terhadap rakyat; hari ini dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Tetapi karena sistem sekuler kapitalisme memarginalkan peran agama, wajar jika tidak ditimbang berdasarkan timbangan syariat.

 

Belum lagi penerapan sistem ekonomi yang menjadikan pengelolaan SDA dikuasai asing dan aseng, liberalisasi perdagangan, kapitalisasi layanan pendidikan dan kesehatan. Maka masyarakat pada umumnya dan guru pada khususnya, akan susah memenuhi kebutuhan karena harus merogoh kocek lebih dalam. Berbeda jika SDA (milik negeri yang melimpah ruah) dikelola negara dan hasilnya diberikan secara langsung maupun tidak langsung kepada rakyat, tentu kesejahteraan rakyat, khususnya guru akan diraih.

 

Begitulah paradigma kapitalisme dalam “meriayah” rakyatnya. Tampak sekali hubungannya dengan rakyat yang layaknya penjual dan pembeli. Alih-alih menyejahterakan, negara justru mencekik rakyat dengan berbagai regulasi berbasis laba; jangan lupakan rencana menaikkan pajak sebesar 12% yang akan berlaku di Januari 2025.

 

Di dalam negara bermodelkan Islam, guru sangat amat diperhatikan. Hal ini karena guru memiliki peran yang sangat penting dan strategis, yaitu mencetak generasi yang berkualitas dan akan membangun bangsa dan menjaga peradaban. Di tangan gurulah, generasi bangsa akan menjadi penakluk dan fakih fiddin, layaknya Mush’ab bin Umair, Muhammad Al-Fatih, dan banyak lainnya.

 

Negara juga menjadi pihak yang mengurusi dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

 

Apalagi di dalam Al-Qur’an Karim, Allah telah melebihkan kedudukan orang-orang yang berilmu. Allah Swt. berfirman dalam Q.S Al-Mujadalah ayat 11, bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Maka sudah barang tentu, para pemberi ilmu yakni guru menjadi pihak yang diperhatikan oleh penguasa, berikut pembiayaan pendidikan secara keseluruhan.

 

Terkait pembiayaan pendidikan oleh negara yang berlandaskan Islam, terdapat dua sumber pendapatan baitulmal untuk membiayai pendidikan. Pertama, pos fai dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara. Kedua, pos kepemilikan umum, seperti sumber kekayaan alam, tambang minyak dan gas, hutan, dan lainnya. Jika baitulmal kosong, maka akan dipungut dharibah/pajak, khusus dari rakyat laki-laki muslim yang kaya.

 

Bisa terbayang, bagaimana apiknya pengaturan urusan rakyat dan keberpihakan negara terhadap rakyatnya. Tidak hanya pendidikan, kebutuhan rakyat yang lain seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan keamanan juga diatur dan diurus negara hingga mendapatkan pemenuhan yang layak.

 

Gaji guru juga terbilang fantastis dalam rekam jejak kepemimpinan negara Islam. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra., gaji guru sekitar 4-15 dinar per bulan. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sedangkan gaji untuk periwayat hadis dan ahli fikih mencapai 4.000 dinar. Apabila dikalkulasikan dengan harga emas murni saat ini, gaji guru pada saat itu mencapai miliaran rupiah per tahun, dan ratusan juta per bulan.

 

Begitu luar biasa negara yang menjadikan aturan Islam sebagai paradigma kepemimpinan. Dengan pengurusan dalam berbagai aspek, juga gaji guru yang fantastis, guru akan memperoleh kehidupan yang sejahtera. Tampak juga bahwa negara Islam benar-benar memuliakan guru. Jauh berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme hari ini, yang hanya menganggap guru seperti pekerja dan tidak memberi gaji yang layak.

 

Wallahu a’lam bishashawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *