Tunjangan Gaji Guru Tergadai, Pemerintah Lalai?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Diana Wijayanti

Pilu! Lagi-lagi dialami oleh para guru. Sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang sangat strategis perannya namun kurang mendapat perhatian dari penguasa. Tidak hanya masalah gaji honorer guru yang minim tetapi juga tuntutan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) guna menaikan taraf hidupnya. Tentu sangat menyulitkan bagi guru honorer apabila batasan usia menjadi standar pengangkatannya.

Saat ini, guru PNS pun mengeluhkan pemotongan tunjangan. Sebab, tak tanggung-tanggung mencapai lebih dari Rp 3 Triliun. Jumlah yang besar bagi ukuran PNS. Hal ini berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.

Dalam lampiran Perpres tersebut, tunjangan guru setidaknya dipotong pada tiga komponen yakni tunjangan profesi guru PNS daerah dari yang semula Rp53,8 triliun menjadi Rp50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp 698,3 triliun menjadi Rp 454,2 triliun.
Kemudian pemotongan dilakukan terhadap tunjangan khusus guru PNS daerah di daerah khusus, dari semula Rp2,06 triliun menjadi Rp1,98 triliun (mediaindonesia.com, 20/04/2020).

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim sangat menyayangkan keputusan tersebut. “Perpres tersebut merugikan sejumlah pihak, yang justru sebetulnya membutuhkan dukungan lebih, dari pemerintah di tengah situasi penyebaran virus korona,” dalam pernyataan tertulis Media Indonesia, 20/04/2020.

Selain itu, para guru melalui Forum Komunikasi Guru SPK (Satuan Pendidikan Kerja Sama) juga mengeluhkan penghentian tunjangan profesi yang tercantum dalam Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nomor 6 Tahun 2020 itu. Dalam aturan tersebut, di Pasal 6 tercantum bahwa tunjangan profesi ini dikecualikan bagi guru bukan PNS yang bertugas di Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK).

Melansir laman resmi DPR via Kompas.com, keluhan ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (15/7/2020).

Tidak hanya tunjangan guru, pemotongan dana pendidikan pun terjadi. Dana Bantuan Operasi Sekolah (BOS) dipotong dari semula Rp 54,3 triliun menjadi Rp 53,4 triliun, bantuan operasional penyelenggaraan (BOP) PAUD dipotong dari Rp 4,475 triliun menjadi Rp 4,014 triliun, lalu bantuan operasional pendidikan kesetaraan dipotong dari Rp 1,477 triliun menjadi Rp 1,195 triliun.

Pemotongan dana pendidikan dan tunjangan gaji guru ini, tentu cukup menunjukkan kepada kita, bahwa perhatian pemerintah terhadap pendidikan sangatlah minim. Sementara Pendidikan dan kesejahteraan guru merupakan aspek penting dalam membangun sebuah bangsa.

Menjadi guru di masa Pandemi tentu menjadi tantangan tersendiri. Banyak pengorbanan yang harus dikeluarkan agar peserta didik bisa belajar dengan baik, ditengah keterbatasan fasilitas.

Bahkan untuk daerah pelosok, yang tidak ada fasilitas internet, dan listrik, guru rela menemui siswa dirumahnya satu persatu demi berlangsung Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).

Maka kebijakan pemotongan tunjangan gaji guru, tak ayal mengusik rasa keadilan, para pahlawan ini. Kenapa begitu diskriminatif terhadap guru?

Guru, baik PNS maupun bukan adalah para pendidik yang menjadi tumpuan kualitas Sumber Daya Manusia ( SDM). Rendahnya gaji dan tunjangan guru tentu akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas guru.

Apabila kesejahteraan guru tak diraih untuk menafkahi keluarga, mereka bisa mencari pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan. Alhasil kualitas dalam pengajaran dan pembinaan siswa pasti jauh dari apa yang kita harapkan.

Generasi cemerlang yang memiliki kecerdasan sekaligus ketakwaan akan mustahil dicapai apabila anggaran pendidikan sangat rendah, termasuk pemberian gaji dan tunjangan guru.

Jika memang pemerintah ingin serius melakukan efisiensi anggaran, maka kenapa tidak memangkas biaya yang tidak mendesak, seperti anggaran untuk Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud yang dianggarkan sebesar Rp 567 Miliar, yang ditengarai hanya untuk kepentingan Korporasi.

POP Kemendikbud tersebut kini menuai polemik karena akan menggandeng beberapa organisasi yang dipandang cakap untuk kerjasama, termasuk Sampoerna Foundation, dan Tanoto Foundation selain Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan PGRI. Namun, akhirnya NU, Muhammadiyah, dan PGRI menyatakan pengunduran diri dari program tersebut setelah menilai bahwa seleksi terhadap organisasi yang terlibat tidaklah jelas.

Penetapan anggaran berbasis sistem Kapitalisme ini, yang diduga menjadi penyebab minimnya anggaran pendidikan. Pendidikan bukan lagi dipandang kebutuhan pokok yang dijamin pemenuhannya oleh negara. Namun sudah bergeser menjadi bidang yang dikomersialkan.

Subsidi pendidikan oleh negara dipandang sistem Kapitalisme sebagai bentuk ‘memanjakan rakyat’. Akibatnya rakyat bermalas-malasan dalam meraih pendidikan. Berbeda halnya jika biaya pendidikan mahal tentu masyarakat akan bersungguh-sungguh meraih pendidikan.

Tentu pandangan seperti ini adalah pandangan yang keliru. Karena dampaknya sangat mengerikan, banyaknya anak yang tidak mampu mengenyam pendidikan dan putus sekolah.

Dari data yang dimiliki Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada di angka 1.228.792 anak. Untuk karegori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2,420,866 anak yang tidak bersekolah.

Sehingga secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332. Tempo.co (23/07/2020).

Oleh karena itu, negeri +62 membutuh sistem alternatif yang mampu memberikan perhatian besar terhadap pendidikan saat ini.

Sistem itu adalah sistem yang berasal dari Allah SWT, Dzat Yang Mana Sempurna dengan aturan Islam kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyyah.

Sistem ini, telah terbukti bisa diterapkan dimuka bumi dan hasilnya betul-betul bisa dirasakan hingga abad 21. Sekolah Al Azhar, Kairo, Mesir adalah bukti sejarah kegemilangan khilafah Islam yang tetap berdiri kokoh hingga sekarang.

Rasulullah Saw. adalah Kepala Negara Islam pertama dimuka bumi yang berhasil menerapkan hukum-hukum Allah SWT dan dilanjutkan pemerintahannya dalam bentuk kekhilafahan Islam yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin, para Khalifah Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan Bani Utsmaniyah.

Sistem Islam ini telah membuktikan kepada dunia, bahwa pendidikan berkualitas, dan mercusuar dunia pernah terjadi dalam naungan Khilafah Islam.

Islam telah menetapkan Pendidikan sebagai kebutuhan dasar bagi setiap warga negara yang wajib ditanggung oleh negara secara gratis, disamping kebutuhan kesehatan dan keamanan.

Dengan pandangan seperti ini maka negara akan berusaha sedemikian rupa untuk mencukupi seluruh biaya pendidikan yang amat besar, termasuk mencetak guru yang handal dan profesional.

Guru adalah ujung tombak terciptanya generasi yang cemerlang, melalui tangan guru yang berkompeten, kurikulum terbaik, yaitu berbasis Islam bisa diterapkan. Output pendidikan berupa anak didik yang berkepribadian Islam juga akan terwujud.

Adapun faktor yang mampu pendukung suksesnya pendidikan adalah keuangan negara yang mumpuni. Sebuah sistem keuangan negara yang memiliki sumber pendapatan yang besar hingga mampu mencukupi seluruh kebutuhan asasi rakyatnya secara menyeluruh, orang per orang bukan hanya sebagian orang. Serta membantu memenuhi kebutuhan sekundernya dengan cara yang baik.

Keuangan Khilafah dikenal dengan Baitul Mal. Ada tiga pos besar yang mampu menutupi seluruh kebutuhan warga negara, baik muslim maupun non muslim.

Pertama pos harta milik negara, yaitu harta yang dimiliki oleh negara yang berasal dari pos fa’i, kharaj, usyur, jiziyah, harta berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya, harta tidak sah dari penguasa dan denda, khumus atas barang temuan dan barang tambang, harta yang tidak ada ahli warisnya, harta orang murtad dan pajak.

Kedua pos harta milik umum yaitu harta yang telah ditetapkan oleh Allah menjadi milik seluruh kaum muslimin.

Harta ini meliputi :
a. Sarana umum yang diperlukan kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, Padang rumput dan api. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda yang artinya” Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, Padang rumput dan api” (HR Abu Daud).

b. Harta yang keadaan asalnya terlarang dimiliki oleh individu. Adapun contohnya adalah Mina, jalan umum, terusan Suez, laut, sungai, danau telur, selat, lapangan umum dan masjid-masjid, rel kereta api, kabel dan tiang listrik, saluran air dan yang seterusnya.

c. Barang tambang yang jumlahnya tak terbatas seperti tambang garam, tambang minyak bumi, batubara dan lain-lain.

Ketiga pos Zakat, selain dua pos besar diatas ada satu pos lagi yang juga menjadi pendapatan Baitul mal yaitu harta yang diperoleh dari Zakat. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh kaum muslimin yang memiliki harta dengan nishab tertentu dan mencapai haulnya. Harta ini hanya diperuntukkan untuk delapan ashnaf tidak boleh untuk keperluan yang lain.

Dana pendidikan bisa diambil dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum, dengan nilai yang sangat besar tanpa keharusan membayar pajak tahunan bagi setiap warga negara maupun hutang riba. Islam mengaruskan negara betul-betul berdaulat dalam mengurus rakyat dan tidak bergantung dan mengemis pada Negara Asing maupun Asing.

Kemandirian negara dalam naungan Khilafah Islam inilah, yang menjamin pendidikan berkembang dengan pesat dalam hal sain dan teknologi yang didasari ketakwaan anak didiknya. Hingga akhirnya kemajuan kehidupan manusia hingga melampaui apa yang terbayang oleh manusia.

Perhatian negara terhadap guru pun sangat besar, hal ini bisa dilihat dalam sejarah. kisah gaji guru yang mengajar Al-Qur’an, di masa Umar bin Khathab yaitu 15 Dinar ( 4,25 gram emas) bila Rp 900.000 per gram maka gajinya menjadi Rp 57,375 juta.

Dengan gaji yang memadai bahkan lebih dari kebutuhan untuk nafkah keluarga membuat guru, bisa optimal mengajar anak didik, baik membentuk kepribadian Islam maupun cakap dalam sain dan teknologi yang amat dibutuhkan masyarakat.

Keberhasilan Islam dalam menjamin pendidikan, kesehatan, keamanan serta kebutuhan pokok sandang pangan dan papan ini, diakui oleh Will Durant, seorang sejarawan Barat.

Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, hal 151 menyampaikan: “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, dimana fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”

Hal senada diungkapkan oleh Bloom dan Blair yang menyatakan, “Rata-rata tingkat kemampuan literasi (kemampuan melek huruf membaca dan menulis Dunia Islam di abad pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa. Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini.” (Jonathan Bloom & Sheila Blair, Islam – A Thousand Years of Faith and Power, Yale University Press, London, 2002, p-105).

Bila terbukti sistem Kapitalisme tak mampu mengurus Pendidikan, kenapa kita harus mempertahankannya?

Saatnya umat mengganti sistem bobrok ini dengan Sistem Islam yang diterapkan secara kaffah dalam naungan Khilafah.
Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *