Oleh: Ummu Faiha Hasna (Member Pena Muslimah Cilacap)
Komunitas Lapor Covid-19 menemukan sedikitnya 265 korban jiwa yang meninggal dunia positif Covid-19 dengan kondisi sedang isolasi mandiri di rumah, saat berupaya mencari fasilitas kesehatan, dan ketika menunggu antrean di IGD rumah sakit. Kematian di luar fasilitas kesehatan ini terjadi hanya selama bulan Juni 2021 hingga 2 Juli 2021.
Dalam siaran pers hari ini, Sabtu (3/7/2021), selain pasien yang meninggal selama perawatan di rumah sakit, banyak masyarakat melaporkan kematian anggota keluarga atau rekan mereka di rumah saat menjalani isolasi mandiri.
Fenomena ini menjadi potret nyata kolapsnya fasilitas kesehatan yang menyebabkan pasien Covid-19 kesulitan mendapatkan layanan medis yang layak. Situasi ini diperparah oleh komunikasi risiko yang buruk, yang menyebabkan sebagian masyarakat menghindari untuk ke rumah sakit dan memilih isolasi mandiri. (CNBCIndonesia.com)
LaporCovid-19 mengkhawatirkan, hal ini merupakan fenomena puncak gunung es dan harus segera diantisipasi untuk mencegah semakin banyaknya korban jiwa di luar fasilitas kesehatan. Selain memperkuat fasilitas kesehatan dan sumber daya tenaga kesehatan, harus ada pembatasan mobilitas secara ketat untuk mencegah terus melonjaknya laju penularan kasus yang akan meningkatkan risiko kematian.
Sebanyak 63 Pasien Covid-19 Meninggal Dalam Sehari di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta Akibat Kehabisan Stok Oksigen dan mirisnya lagi dikabarkan ada sejumlah pasien menjalani perawatan di tenda barak yang dijadikan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (4/7/2021).
Komandan Posko Dukungan Operasi Satgas Covid-19 DI Yogyakarta Pristiawan Buntoro mengonfirmasi sebanyak 63 pasien di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta meninggal dunia dalam sehari semalam pada Sabtu (3/7/2021) hingga Minggu (4/7/2021) pagi akibat menipisnya stok oksigen. (Bisnis.com)
Kasus-kasus kekurangan oksigen di RS, yankes dan pada pasien isolasi mandiri menunjukan kelemahan perangkat negara menyiapkan perangkat dan fasilitas yang dibutuhkan rakyat untuk hadapi pandemi.
Selain abainya pemimpin dalam memenuhi hak atas kesehatan warganya akibat dari pelayanan dan infrastruktur kesehatan yang diatur oleh sistem kapitalis.
Adanya premi asuransi yang dibebankan kepada rakyat seperti wajib BPJS kesehatan menyerahkan pemenuhan pelayanan kesehatan masyarakat. Fasilitas dan layanan kesehatan terus berada di bawah tekanan keuangan BPJS yang sedang mengalami defisit.
Di samping itu, masalah yang lain pun berdatangan dikala pandemi. Dikutip dari SuaraBatam.id—BPOM mengumumkan, salah satu produsen Ivermectin, PT Harsen tidak memenuhi sejumlah syarat terkait Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) untuk obat Ivermectin.
Selain itu, PT Harsen juga mendistribusikan obat Ivermectin yang diberi nama dagang Ivermax 12 tidak melalui jalur distribusi resmi, dan mencantumkan masa kedaluarsa tidak sesuai kaidah BPOM.
Kontroversi Ivermectin sebagai obat covid juga menunjukkan pemerintah tidak sigap menjamin pemenuhan kebutuhan obat bagi rakyat yang terinfeksi.
Kesehatan Wajib Ditanggung Negara
Islam telah menempatkan kesehatan sebagai hak setiap warga negara yang wajib ditanggung oleh negara sebagai pengurus urusan umat.
Selain itu, konsep kesehatan yang berasaskan aqidah Islam mampu meng-cover masyarakat yang tidak mampu mengakses layanan kesehatan. Konsep ini sudah ada sejak masa Rasulullah saw, juga pada masa Khilafah ‘Abbasiyah.
Salah seorang dokter yang juga merupakan ilmuwan bernama Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi menjadi sosok yang berperan dalam perjuangan jaminan kesehatan di masa Khilafah ‘Abbasiyah.
Kepada murid-muridnya, ia mencoba meluruskan bahwa niat tulus seorang dokter adalah menyembuhkan orang sakit, yang lebih besar daripada niat untuk mendapatkan upah atau imbalan materi lainnya. Mereka diminta memberikan perhatian kepada orang fakir, sebagaimana orang kaya maupun pejabat negara.
Mereka juga harus mampu memberikan motivasi kesembuhan kepada pasiennya, meski mereka sendiri tidak yakin. Karena kondisi fisik pasien banyak dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya. (‘Abdul Mun’im Shafi, Ta’lim at-Thibb ‘Inda al-Arab, hal. 279)
Mengutip dari buku Menggagas Kesehatan Islam yang ditulis oleh KH. Hafidz Abdurrahman, MA dkk, perhatian di bidang kesehatan seperti ini tidak hanya terbatas di kota-kota besar, bahkan di seluruh wilayah Islam, hingga sampai ke pelosok, bahkan di dalam penjara-penjara sekalipun. Pada era itu, sudah ada kebijakan Khilafah dengan rumah sakit keliling. Rumah sakit seperti ini masuk dari desa ke desa. Perlu dicatat di sini, Khilafah saat itu benar-benar memberikan perhatian di bidang kesehatan dengan layanan nomor satu, tanpa membedakan lingkungan, strata sosial dan tingkat ekonomi.
Di sisi lain, Wazir Ali bin Isa al-Jarrah, yang menjadi wazir di masa Khalifah al-Muqtadir (908-932 M) dan al-Qahir (932-934 M), dan dikenal sebagai wazir yang adil dan ahli hadits yang jujur, juga penulis yang produktif, pernah mengirim surat kepada kepala dokter di Baghdad, “Aku berpikir tentang orang-orang yang berada dalam tahanan. Jumlah mereka banyak, dan tempatnya pun tidak layak. Mereka bisa diserang penyakit. Maka, kamu harus menyediakan dokter-dokter yang akan memeriksa mereka setiap hari, membawa obat-obatan dan minuman untuk mereka, berkeliling ke seluruh bagian penjara dan mengobati mereka yang sakit.” (Ibn Qifthi, Tarikh al-Hukama’, hal. 148)
Ia dikenal sangat kaya raya. Pendapatannya 700.000 dinar per bulan. Tetapi, dari 700.000 dinar itu, ia infakan untuk kemaslahatan umat sebesar 680.000 dinar. Termasuk untuk wakaf dan lain-lain.
Mewakafkan Harta untuk Pembiayaan RS
Para Khalifah dan penguasa kaum Muslim di masa lalu, bukan hanya mengandalkan anggaran negara. Karena mereka juga ingin mendapatkan pahala yang mengalir, maka mereka pun mewakafkan sebagian besar harta mereka untuk membiayai rumah-rumah sakit, perawatan dan pengobatan pasiennya.
Sebagai contoh, Saifuddin Qalawun (673 H/1284 M), salah seorang penguasa di zaman Abbasiyah, mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan rumah sakit, yang didirikan di Kairo, yaitu Rumah Sakit al-Manshuri al-Kabir.
Dari wakaf ini pula gaji karyawan rumah sakit dibayar. Bahkan, ada petugas yang secara khusus ditugaskan untuk berkeliling di rumah sakit setiap hari. Tujuannya untuk memberikan motivasi kepada para pasien, dengan suara lirih yang bisa didengarkan oleh pasien, meski tidak melihat orangnya. Bahkan, al-Manshur al-Muwahhidi, mengkhususkan hari Jumat, seusai menunaikan shalat Jumat, untuk mengunjungi rumah sakit, khusus memberikan motivasi kepada pasien.
Di antara motivasi para penguasa kaum Muslim kepada pasien yang terkenal adalah ungkapan Wazir Ali al-Jarrah, “Mushibatun qad wajaba ajruha khairun min ni’matin la yu’adda syukruha (Musibah yang pahalanya sudah ditetapkan lebih baik ketimbang nikmat yang syukurnya tidak ditunaikan).”
Di Indonesia, jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Para wirausahawan, petani, nelayan, pembantu rumah tangga, pedagang keliling dan sebagainya) bisa mendapatkan kelas layanan kesehatan I, II, dan III sesuai dengan premi dan kelas perawatan yang dipilih.
Bila melihat Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kepesertaanya Jaminan Kesehatan Nasional sendiri adalah bersifat wajib, tidak terkecuali juga masyarakat tidak mampu karena metode pembiayaan kesehatan individu yang ditanggung pemerintah.
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang diurusnya.” ( HR. Muslim dan Ahmad)
Tuntunan ini begitu selaras dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki negara.
Jaminan kesehatan harus dikelola atas prinsip pelayanan dengan pembiayaan dan pengelolaan langsung dari negara. Tidak dibenarkan menjadi lembaga bisnis dan bersifat otonom. Pembiayaan kesehatan dalam Islam uang berbasis Baitul Mal dan bersifat mutlak.
Sandaran negara dalam pemenuhan tenaga terampil dan ahli bagi berjalannya fungsi negara tidak akan terjadi dimana negara kekurangan tenaga kesehatan. Hal ini membutuhkan metode pelaksanaannya menurut Islam, yakni negara Khilafah.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sukses meletakan fondasi pelayanan kesehatan terbaik, berlangsung selama 13 abad dan meliputi hampir dua per-tiga dunia.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.