Tuai Kontroversi : RUU Ketahanan Keluarga

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Syahida Adha (Aktivis Dakwah Kampus)

Ramai diperbincangka RUU Ketahanan Keluarga. Dilansir dalam kompas.com, terdapat 3 poin yang menuai banyak kritik, yaitu:

Mereduksi peran agama, karena agama dianggap sebagai ruang spiritualitas seseorang yang tidak bisa dijangkau oleh kewenangan Negara. Dimuat dalam RUU bagian:

Pasal 16 ayat 1 : dimuat kewajiban anggota keluarga yang terdiri dari kewajiban menaati perintah agama dan menjauhi larangan agama; menghormati hak anggota keluarga lainnya;

melaksanakan pendidikan karakter dan akhlak mulia; serta mengasihi, menghargai, melindungi, menghormati anggota keluarga.

Pasal 24 ayat 2 : RUU ini menguraikan kewajiban suami istri untuk saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.

Diskriminasi gender, dimana terdapat pasal yang mengatur hak dan kewajiban suami dan istri, yaitu pasal 25 ayat 2 dan 3. Dimana suami memiliki wewenang menyelenggarakan resolusi konflik dalam keluarga, sedangkan istri hanya dalam ranah domestik seperti mengurusi urusan sumah tangga dan menjaga keutuhan keluarga.

Dinilai menghina kelompok tertentu, sebab di dalamnya diatur bahwa orang tua wajib memberi kehidupan yang layak pada anak. Apabila orang tua gagal memberi kehidupan yang layak, maka dinilai sebagai pelanggaran hukum. Sebagaimana yang terdapat pada pasal 33 RUU.

Padahal jika kita cermati dengan baik, ketahanan keluarga merupakan salah satu factor yang berperan besar dalam bertahannya nilai-nilai moral dan agama di masyarakat. Rusaknya keluarga akan berbanding lurus dengan rusaknya nilai moral di masyarakat. Sehingga RUU ketahanan keluarga ini tidak seharusnya dikritisi hanya karena alasan kebebasan individu semata. Krisis moral biasanya disebabkan krisis peran ibu dan keluarga untuk hadir dalam kehidupan seorang anak. Sehingga banyak dari anak Indonesia justru menjadi penyumbang kerusakan moral dan kriminalitas.

Penolakan Terhadap RUU Ketahanan Keluarga ini menggambarkan pemikiran yang telah ada di masyarakat adalah keinginan untuk penjaminan hak individu seluasnya tanpa batas. Pemikiran ini sangat berbahaya karena akan menabrak batas-batas peraturan dan menggeser nilai agama sehingga pelanggaran moral akan semakin merajalela.

Pemahaman sekuler (penj. Pemisahan agama dari kehidupan) dan liberal (kebebasan) yang bersarang di pemikiran masyarakat, membuat mereka enggan diatur dengan aturan agama, apalagi menyematkan pendidikan agama untuk mewujudkan ketahanan keluarga bagi anak-anak.

Terdapat beberapa poin yang membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat gagal paham dengan posisi dan peran wanita. Mengurus rumah tangga saat ini dianggap sebagai kemunduran dan menghalangi kiprah wanita di ruang publik. Padahal perkembangan anak jauh lebih penting sebagai pengisi peradaban manusia. Sehingga peran orangtua, terutama Ibu bagi anak-anak merupakan kunci berhasil dibangunnya peradaban suatu negeri. Dan yang terpenting adalah karena memang perintah Allah swt yang memposisikan seorang Ibu sebagai sekolah pertama bagi anak. Sehingga ruhnya adalah menggapai ridho Allah untuk menyiapkan bekal sebelum kematian.

Selama ini kita telah menyaksikan, banyak sekali ide-ide yang berpihak pada kebaikan dan ketaatan pada Allah begitu sulit diterapkan. Hal ini menjadi wajar karena kita hidup di tengah sistem yang menerapkan ideologi sekuler-liberal. Yang senantiasa mendukung nilai-nilai kebebasan dan kemaksiatan. Agama selalu dipinggirkan dan dianggap tidak layak mengatur kehidupan manusia. Manusia dianggap lebih mampu dalam menentukan halal dan haram daripada firman Allah Swt.

Begitupun pada keluarga sudah berpayah dan berpeluh memberikan pendidikan yang layak bagi anak. Namun, arus pergaulan yang liberal kembali menghempas mereka dan menggiring menuju kemaksiatan. Sehingga orang tua masa kini merasa resah dan was-was akan pergaulan dan masa depan anak. Belum lagi provokasi dari media yang mendukung cara bergaul yang kebebasan.

Maka dari itu sejatinya tidak cukup hanya menyampaikan rancangan peraturan untuk memperbaiki kondisi masyarakat, terlebih hanya pada ranah keluarga. Perlu ada peran Negara yang menerapkan islam secara keseluruhan untuk menjaga media, keluarga, sistem pergaulan, sistem pendidikan, dan segala sistem kehidupan untuk menyokong ketaatan ummat dan generasi kapada Allah swt.
Wallahu A’lam Bissawwab[].

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *