Oleh : Layli Hawa
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (5/10/2020),
telah mengetok palu tanda disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Pengesahan RUU Cipta Kerja ini bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, pada 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020.
Disisi lain pengesahan tersebut mendapat penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat. Tidak terkecuali kelompok buruh yang melakukan aksi “Mogok Nasional” selama tiga hari pada tanggal 6-8 Oktober yang akan diikuti buruh-buruh lintas sektor, seperti industi kimia, energi, dan pertambangan di Jabodetabek serta kota-kota lain di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Yogyakarta.
Mereka mengatakan langkah itu diambil untuk mendesak pemerintah dan DPR menggagalkan undang-undang, yang menurut mereka “disahkan secara tidak transparan”.
Belum berakhir wabah di negeri tercinta, namun pemerintah diam-diam sibuk mempersiapkan berbagai upaya untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja. Hingga masyarakat beranggapan bahwa pemerintah abai mengurusi korban covid dan penyebarannya, justru lebih mementingkan disahkannya Omnibus Law yang dianggap akan merugikan banyak pihak pekerja di tanah air, khusunya buruh dan karyawan.
Di antara pro-kontra terkait pasal RUU Cipta Kerja adalah yang pertama tentang penghapusan upah minimum. Upah pekerja yang semula sesuai dengan upah minimum kabupaten/kota (UMK) beralih ke upah minimum provinsi (UMP).
Hal ini akan menyebabkan kesenjangan ekonomi di berbagai daerah, mengingat kebutuhan setiap daerah (kabupaten/kota) berbeda-beda. Poin ini dinilai membuat upah pekerja semakin rendah.
Kedua, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum, tetapi dengan adanya RUU cipta kerja yang baru, sanksi pidana bagi pengusaha yang menggaji pekerja di bawah upah minimum dihilangkan. Itu berarti, pengusaha bebas seenaknya menggaji pekerja karena tidak ada perlindungan hukum bagi pekerja kecil jika sewaktu-waktu upah mereka dibayar jauh di bawah upah minimum.
Ketiga, diberlakukannya pasal yang menyatakan bahwa lama waktu kontrak kerja diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha. Sehingga, kontrak kerja bisa berlaku seumur hidup dan alhasil pekerja tidak akan mendapat kepastian untuk menjadi pegawai tetap. Pasal ini juga membuat pengusaha bisa seenaknya melakukan PHK kapan saja. Uang pesangon pun dipangkas menjadi lebih rendah dalam RUU cipta kerja ini, yaitu nilai pesangon yang awalnya dari 32 bulan upah dipangkas menjadi 25 bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Keempat, Omnibus Law pada pasal 42 mempermudah perizinan tenaga kerja asing (TKA) untuk bekerja di Indonesia. Pasal tersebut mengamendemen pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Apabila mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, diatur TKA harus mepunyai beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Namun dengan adanya RUU baru ini, perusahaan yang menjadi sponsor dari TKA hanya memerlukan RPTKA saja.
Pertanyaannya, jika undang-undang itu memang diperuntukkan untuk rakyat yang butuh kesejahteraan dalam bekerja, mengapa pemerintah justru menutup telinga terhadap kritik keras dari rakyat dan membabat habis kepercayaan mereka? Jika RUU cipta kerja memang untuk para pekerja, pekerja mana yang dimaksud pemerintah?
Sudah cukup semestinya rakyat dibuat sengsara dengan berbagai kebijakan yang merugikan rakyat, dan menguntungkan para penguasa. Pemerintah yang seharusnya mengurusi kepentingan masyarakat secara adil, justru berbelok mengabaikan. Anggota DPR yang dipilih oleh rakyat sebagai penyambung aspirasi rakyat, nyatanya mengkhianati.
Masihkah berharap kepada Demokrasi?
Sejatinya, aturan yang bersumber dari manusia bersifat cacat dan tidak sempurna. Sekuat apapaun manusia merancangnya, maka hanya akan membawa ketidakadilan. Karena itulah, Demokrasi yang ada hanya mampu memberikan keadilan bagi segelintir orang, tanpa memandang seluruh jiwa rakyat didalamnya. Sehingga menjadikannya cacat bawaan jika diterapkan.
Berbeda dengan sistem yang dibentuk oleh Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam, manusia mulia utusan terakhir yang berhasil mewujudkan seperangkat aturan yang berasal dari sang pencipta, yaitu Allah SWT. Aturan-aturannya yang tidak ada kepentingan manusia didalamnya, murni tertata yang bersumber dari Al-Qur’an. Sehingga terjamin kuat, tidak ada kecacatan dalam memimpin kehidupan manusia.
Tidak hanya kesempurnaannya dalam mengatur hidup manusia, hubungan antara umat dengan pemimpinnya pun terbuka. Terjalin untuk senantiasa menjalankan muhasabah jika terjadi kekurangan dalam membuat kebijakan. Pemimpin (khalifah) nya pun akan memperhatikan urusan umat dan tidak membiarkan lalai dalam ibadah. Karena pemimpin didalam Islam menyadari bahwa amanah memimpin adalah tanggung jawab yang tidak boleh ditinggalkan.
Sudah saatnya umat kembali kepada Islam Kaaffah. Menjadikan kecemerlangan berpikir mengkritisi pemerintah sebagai bahan merenung bahwa umat membutuhkan Khilafah yang akan mewujudkan kehidupan sejahtera bagi seluruh manusia, tanpa terkecuali non muslim. Agar kehidupan berjalan sesuai fitrahnya yang telah Allah gariskan, sehingga tercapai keberkahan hidup dunia dan akhirat. [LH]