Tolak Keras Peredaran Miras

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Nadhief (Aktivis Muslimah Cimahi)

 

Masyarakat kembali dikejutkan oleh langkah kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang melakukan relaksasi terhadap aturan minuman alkohol dari luar negeri.

Dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2021, seseorang bisa membawa minuman beralkohol masuk ke Indonesia hingga 2,25 liter. Ketentuan baru ini membolehkan hingga membawa dua kali lebih banyak volume alkohol dalam peraturan sebelumnya, baik Permendag Nomor 20 Tahun 2014 maupun Permendag Nomor 25 Tahun 2019, seseorang hanya boleh membawa minuman beralkohol maksimal 1 liter.

Aturan baru ini mendapat sorotan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut Ketua MUI Cholil Nafis, Permendag RI No.20 Tahun 2021 memang memihak pada kepentingan wisatawan asing yang datang ke Indonesia. Disamping itu, aturan ini juga merugikan anak bangsa dan pendapatan negara. Nyata benar adanya pelonggaran peredaran minol (minuman beralkohol), bagi wisatawan asing maupun bagi warga yang akan ke luar negeri. Demikian, ungkap Cholil sebagaimana dilansir dalam kumparan.com. (7/11/2021)

Apapun alasannya, tentu hal ini akan memunculkan kekhawatiran masyarakat.
Cholil Nafis berharap Permendag ini direvisi demi menjaga moral anak bangsa, jangan hanya memikirkan kepentingan wisatawan asing. Kegelisahan ini juga harus terus disuarakan dalam rangka mengawal kebijakan penguasa.

Bukan sesuatu yang aneh, jika saat ini pemerintah cenderung memihak pada wisatawan asing. Kebijakan ini tentunya tidak lahir begitu saja, melainkan ada cara pandang yang mendasarinya. Cara pandang ini adalah sekulerisme kapitalisme. Sebuah pemahaman Barat yang mengajarkan kepada manusia untuk memisahkan agama dari kehidupan.

Faktanya, miras tetap diizinkan beredar, meskipun dengan embel-embel dibatasi dan diawasi. Selama sistem sekuler diterapkan sementara syariat Islam dicampakkan, masyarakat akan terus terancam miras dan segala kemudaratannya.

Atas dasar tersebut, maka penolakan yang dilakukan tidak cukup dilihat dari pelanggaran miras saja. Namun hal terpenting adalah menolak keras masuknya miras, berapapun jumlahnya. Produksi dan distribusi miras jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam.

Dalam Islam, khamr jelas keharamannya.
Allah Swt. berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)

Ayat tersebut berisi penegasan, bahwa meminum khamr dan berjudi adalah perbuatan yang harus dijauhi dan termasuk dosa besar. Fatalnya, khamr juga dapat menghilangkan kesadaran seseorang. Nabi saw. menyebutnya sebagai induk dari segala kejahatan.

Islam melarang semua hal yang berkaitan dengan miras, mulai dari pabrik miras, produsennya, distributornya, penjualnya, hingga konsumennya. Rasulullah saw. bersabda, “Allah melaknat orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya dan orang yang meminta diantarkan.” (HR. Ahmad)

Islam juga memberikan hukuman keras bagi orang yang meminum khamr, yaitu berupa cambukan 40 kali di masa Abu Bakar dan 80 kali di masa Umar bin Khatab. Masing-masing termasuk perkara sunnah.

Dalam Islam, pihak selain peminum akan mendapatkan sanksi berupa takzir. Bentuk dan kadarnya diserahkan pada khalifah atau qadi sesuai ketentuan syariat yang memberikan efek jera. Sedangkan untuk produsen dan pengedar, dijatuhi sanksi lebih keras lagi, karena mereka menimbulkan bahaya yang lebih besar dan lebih luas bagi masyarakat. Miras tidak akan diberi ruang sedikit pun untuk beredar di tengah masyarakat.

Inilah ketentuan syariat Islam yang akan diterapkan khalifah. Kebijakan yang akan diambil sesuai dengan tuntunan syariat yang berasal dari Zat Pencipta kehidupan, tanpa menghalalkan sesuatu yang jelas-jelas diharamkan Allah, sekalipun itu mendatangkan manfaat materi.

Khalifah akan memberi sanksi kepada siapapun yang melanggar. Sanksi tegas ini berfungsi sebagai zawajir, yakni mencegah orang lain berbuat pelanggaran serupa. Disamping itu juga sebagai jawabir, yakni penebus dosa manusia di kehidupan akhirat kelak.

Namun hukum syariat Islam ini hanya akan terwujud dalam bingkai kekhilafahan. Khilafah tidak akan mengemis pada wisatawan asing untuk mendapatkan devisa negara, karena memiliki mekanisme tersendiri dalam sistem ekonomi Islam. Salah satu sumber keuangan negara khilafah adalah berbasis baitul mal.

Inilah sistem yang akan menjaga kaum muslim dari segala bentuk keharaman dan kemudaratan. Sistem yang akan memuliakan umat, penuh keberkahan dan diridai Allah Swt. yang melingkupi seluruh aspek kehidupan. Terlahir darinya penjagaan terhadap keimanan yang kokoh dan ketakwaan setiap individu warga negara. Kesejahteraan, ketenteraman, dan kebahagiaan pun melingkupi seluruh aspek kehidupan.

Wallahu’alam Bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *