Tingginya UKT dan Mimpi Pendidikan Tinggi Berkualitas

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ati Solihati, S.TP (Praktisi Pendidikan)

Dunia pendidikan akan terus menuai polemik, selama sistem kehidupan ini berlandaskan pada sistem kapitalis-materialistik. Sistem kehidupan yang selalu dinilai dari kaca mata pengusaha, yang menjadikan keuntungan materi selalu menjadi alat ukur. Dunia pendidikan tidak dipandang sebagai aset bangsa yang diharapkan dari sana akan terlahir generasi unggul, maju, nan mulia yang dapat membangun bangsa yang memiliki peradaban unggul, maju, dan mulia pula. Dimana negara pun akan memberikan perhatian penuh pada dunia pendidikan, termasuk memberikan subsidi penuh dan terus berinovasi memberikan pelayanan pendidikan terbaik. Sehingga setiap individu rakyat, dapat menikmati pendidikan berkualitas dengan biaya serendah-rendahnya bahkan gratis.

Di masa pandemi, polemik dunia pendidikan pun semakin pelik. Aktifitas belajar tidak bisa dilakukan tatap muka, karena beresiko meningkatnya penyebaran covid-19. Sehingga diberlakukanlah belajar online (daring), mulai dari tingkat PAUD sampai tingkat perguruan tinggi. Sistem belajar daring ternyata menuai sejumlah polemik pula. Selain sulitnya mencapai target kurikulum, karena beragam kendala yang sulit dihindari, seperti jaringan yang buruk, materi tidak bisa tersampaikan secara sempurna karena penjelasan sulit tersampaikan sedetail kalau tatap muka. Para siswa / mahasiswa pun tidak dapat secara penuh menangkap dan memahami penjelasan dari para guru atau dosennya. Selain itu ternyata biaya yang dibutuhkan para siswa / mahasiswa untuk belajar daring, karena butuh biaya untuk kuota internet, jauh lebih besar dibandingkan dengan belajar tatap muka. Sementara para orang tua, jangankan untuk memenuhi kebutuhan biaya untuk belajar daring, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja mereka sudah kesulitan. Sebagai imbas dari laju roda perekonomian yang mandek, dampak dari pandemi. Polemik pendidikan lebih pelik lagi karena pada faktanya tidak semua wilayah dapat mengakses internet dengan baik, atau tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk belajar daring.

Beratnya biaya pendidikan ini lebih terasa di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi. Sehingga wajar kalau akhir-akhir ini banyak para mahasiswa yang mengadakan aksi untuk diturunkannya bahkan dibebaskannya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Tanggal 18 Juni 2020 puluhan mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, melakukan aksi di kampus UB, menuntut penurunan UKT. Demikian juga puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UIN Banten, pada tanggal 22 Juni, melakukan aksi tuntutan penggratisan atau pemotongan UKT semester depan, di depan Gedung rektorat UIN Sultan Hasanudin banten. Pada tanggal yang sama, tuntutan yang senada juga datang dari sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi gerakan mahasiswa Jakarta Bersatu. Mereka melakukan aksi unjuk rasa di kementrian Pendidikan dan kebudayaan. Mereka meminta adanya subsidi biaya perkuliahan sebanyak 50 persen. Tuntutan ini menurut mereka adalah hal yang wajar, karena selama pandemi, mereka tidak menikmati beragam fasilitas kampus, seperti listrik, air, internet, laboratorium, dan lain-lain.

Tuntutan mahasiswa terkait UKT bukanlah hal baru. Ada tidak adanya Pandemi Covid-19 isu terkait UKT yang semakin mahal, senantiasa diprotes mahasiswa. Namun dengan adanya pandemi, kezaliman tingginya UKT menjadi terasa lebih memberatkan, karena untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari pun sudah sedemikian sulit. Hal ini telah jauh sebelumnya menyulut kemarahan mahasiswa di seluruh pelosok negeri menuntut pembebasan UKT. Aksi virtual yang diinisiasi BEM SI dengan tagar #MendikbudDicariMahasiswa, berhasil menjadi trending topik pada tanggal 2 Juni 2020. Sementara Dewan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se Indonesia, menggugat transparansi anggaran dana pendidikan selama pandemi, dan menolak kenaikan UKT bagi mahasiswa baru dengan aksi virtual, dengan tagar #MahasiswaTuntutMenagdanRektor.

Setelah sejumlah aksi, baik virtual ataupun nyata, baru kemudian pemerintah menanggapi tuntutan tersebut. Untuk tuntutan dari kalangan PTKIN, pemerintah melalui menteri Agama menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 515 Tahun 2020 tentang Keringanan UKT, ada tiga skema keringanan pembayaran UKT, perpanjangan waktu pembayaran UKT, dan angsuran UKT. Sementara untuk PTN/PTS kemendikbud mengeluarkan kebijakan permendikbud no 25 tahun 2020 terkait keringanan UKT, dalam 4 bentuk keringanan untuk mahasiswa secara umum, yakni cicilan UKT, penundaan UKT, penurunan UKT, dan beasiswa.

Fenomena klasik yang senantiasa terjadi di alam demokrasi kapitalis, pemerintah baru membuat kebijakan setelah ada aksi protes dari masyarakat. Kebijakan dikeluarkan hanya sebagai pintu darurat untuk meredam gejolak yang dikhawatirkan akan lebih merugikan. Lagi-lagi mental pengusaha yang muncul, untung rugi menjadi standar kebijakan.

Namun mahasiswa tidak terlalu antusias apalagi merasa puas dengan kebijakan tersebut. Realisasinya sering meleset. Selain juga persyaratan yang demikian “ribet”, menjadi gambaran kurang seriusnya memberikan solusi terhadap permasalahan ini. Lebih dari itu harapan besar mahasiswa adalah UKT yang ringan yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, bahkan gratis. Sehingga pendidikan yang sejatinya merupakan hak setiap warga negara dapat dinikmati secara merata.

Permasalahan tingginya UKT merupakan “buah” dari kapitalisasi pendidikan, pasca diberlakukannya UU No.12 tahun 2012, dimana PTN harus mengubah statusnya menjadi PTNBH (otonomi kampus) yang kemudian diikuti dengan Permendikti No.55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal(UKT). UKT adalah uang kuliah yang harus ditanggung secara tunggal oleh mahasiswa, tanpa subsidi negara. Dengan demikian UKT sejak lahirnya adalah komersialisasi pendidikan.

Dalam sistem kapitalisme, dunia pendidikan diidentikan dengan dunia usaha. Pendidikan tidak dipandang sebagai hak setiap warga negara, tetapi sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan dan warga negara sebagai konsumennya. Perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services) tahun 1994, dimana Indonesia menjadi salah satu negara yang turut meratifikasi perjanjian tersebut, menjadikan Indonesia pun wajib mengkomersialkan beragam sektor publik. Pendidikan menjadi salah satu dari 12 sektor yang diperdagangkan, termasuk kesehatan, keuangan, transportasi, lingkungan, dan lain-lain. Kapitalisasi sektor pendidikan menempatkan negara hanyalah sebagai regulator dan fasilitator, bukan penanggung jawab, atas nama otonomi kampus.

Kapitalisasi pendidikan, selain menjadikan pendidikan, terutama pendidikan tinggi, sebagai barang mewah, yang hanya dinikmati segelintir orang berkantong tebal saja, juga menjadikan dunia pendidikan didisain sesuai kepentingan pasar bisnis. Kebijakan “kampus merdeka”, memberikan kemudahan kampus menjadi badan hukum otonom, kemudahan membuka jurusan sesuai kepentingan pasar bisnis. Perusahaan bisa mengubah kurikulum kampus sesuai kepentingan pasar.

Hal ini sangatlah berbahaya. Pendidikan tinggi mestinya fokus mencetak intelektual unggul nan mulia, yang akan memberikan kontribusi bagi kemaslahatan umat, dan membangun peradaban yang maju dan mulia. Bukannya justru mengalami disorientasi tujuan menjadi generasi pragmatis pro pasar, yang akan semakin melanggengkan kekuasaan oligarki, yang telah nyata-nyata menyengsarakan rakyat.

Hal ini berbeda sekali dengan Sistem Islam. Pendidikan, termasuk salah satu dari kebutuhan komunal yang wajib dijamin negara pemenuhannya. Negara wajib memenuhi kebutuhan setiap warga negara akan kebutuhan komunal : pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Selain negara pun wajib memenuhui kebutuhan primer setiap warga, yaitu makan, pakaian, dan perumahan. Dan memberikan kemudahan kepada rakyat untuk dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tertiernya.

Dalam Islam, negara, dalam hal ini Khilafah, bertanggung jawab penuh atas seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/ dosen, infrastruktur, serta sarana dan prasarana pendidikan. Bahkan kebutuhan pribadi para siswa/mahasiswa selama menempuh pendidikan pun dijamin negara. Sehingga mereka bisa lebih fokus dalam menimba ilmu, dalam menghasilkan berbagai inovasi untuk kemaslahatan umat, dan membangun peradaban yang maju, luhur, agung, dan mulia.

Dalam Sistem Islam, negara, dalam hal ini Khilafah, peranannya adalah sebagai pelayan, sebagai perisai (junnah), yang bertanggung jawab penuh di dalam menjamin kesejahteraan hidup rakyatnya. Sistem ekonomi Islam dengan kesempurnaan tata kelola harta kekayaannya, dengan mengkategorikan kekeyaan ada yang menjadi milik individu, milik umum, dan negara, menjadikan negara memiliki banyak sekali sumber kekayaan, untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan rakyatnya, termasuk untuk pendidikan. Terdapat 2 pos sumber pendapatan negara, dalam Baitul Mal yang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan, yaitu :

1.pos fa’i dan kharaj-yang merupakan kepemilikan negara-seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak)

2.pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannnya telah dikhususkan).

Dengan demikian, mimpi UKT gratis, dan pendidikan tinggi gratis berkualitas, hanya dapat diwujudkan jika Islam dapat diterapkan di muka bumi ini, dalam Sistem Kehidupan Islam, yang disebut Khilafah Islamiyah.

Wallaahua’lam bishshowab.

Tangerang, 29 Juni 2020

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *