Tingginya Beban Hidup Memusnahkan Fitrah Seorang Ibu

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tingginya Beban Hidup Memusnahkan Fitrah Seorang Ibu

Yani Suryani

Kontributor Suara Inqilabi

 

Rohwana alias Wana (38 tahun) adalah seorang ibu di Kabupaten Bangka Belitung yang ditangkap polisi karena terlibat pembunuhan. Wanita yang kesehariannya sebagai pekerja buruh itu membunuh bayinya dengan menenggelamkannya ke ember yang berisi air setelah dilahirkan. Bayinya itu dibuang ke dalam kebun semak-semak milik warga sekitar. Berdasarkan kronologi kejadian, pelaku melahirkan bayinya tersebut pada Kamis, 8 Januari 2024 sekitar jam 21.00 WIB. Sang suami pun terkejut atas peristiwa ini, karena dari awal istrinya merahasiakan kehamilannya, baik dari suami atau pun keluarganya. Sehingga saat proses melahirkan pelaku melakukannya di kamar mandi rumahnya tanpa diketahui siapa pun. Kepada polisi, Rohana mengaku tega membunuh bayinya itu karena tidak menginginkannya. Alasannya tidak cukup biaya untuk membesarkan. Rohana memiliki suami yang pekerjaannya sebagai buruh. Akibat perbuatannya Rohana dijerat pasal 338 KUHP atau pasal 305 KUHP jo pasal 306 ayat 2 KUHP atau 308 KUHP.

Miris mengetahui seorang ibu membunuh bayi yang baru dilahirkannya karena faktor ekonomi. Tingginya beban hidup memang memusnahkan fitrah seorang ibu. Tentu banyak faktor yang berpengaruh seperti lemahnya iman, tidak berfungsinya posisi suami dalam keluarga, sehingga ibu juga terbebani kebutuhan ekonomi, lemahnya kepedulian masyarakat, dan tidak adanya jaminan kesejahteraan negara atas rakyat individu per individu. Semua faktor tersebut berkaitan erat dengan sistem yang diterapkan oleh negara saat ini.

Sistem kapitalisme adalah sistem yang lahir dari akidah sekularisme, akidah yang memisahkan agama dari kehidupan. Karena tidak menerapkan aturan agama dalam kehidupan manusia, Masyarakat akhirnya diatur oleh aturan manusia, sehingga terwujudlah individu yang minim keimanan, masyarakat yang apatis, dan negara yang abai terhadap perannya. Semua ini menjadi beban para ibu ketika membesarkan anak-anaknya.

Jika sistem kapitalisme memusnahkan fitrah seorang ibu, berbeda dengan sistem Islam. Islam justru merawat dan menjaga fitrah seorang ibu. Secara penampakan memang fitrah seorang ibu akan muncul pada individu perempuan. Jika fitrah ini terwujud secara optimal pada perempuan, generasi pengisi peradaban akan terdidik dengan benar. Perlu diketahui fitrah seorang ibu adalah perwujudan dari ghorizah nau’ (naluri berkasih sayang).

Syaihk Taqiyuddin An Nabhani dalam Nizhamul Islam bab Thorikul Iman menjelaskan bahwa naluri akan bangkit ketika mendapat pemicu (rangsangan) dari luar. Seorang ibu akan optimal dan tenang merawat anaknya, mengasuh, mendidik anaknya, ketika mendapat jaminan kehidupan dengan layak dan baik. Jaminan kehidupan terkait erat dengan kesejahteraan yang tidak mungkin terwujud oleh individu saja, karena membutuhkan peran negara.

Islam mengatur agar negara menjadi support system bagi para ibu dan anak supaya mereka mendapat jaminan kesejahteraan. Dalam Islam, jaminan kesejahteraan diwujudkan dari berbagai mekanisme, baik jalur nafkah, dukungan masyarakat, dan santunan negara. Dari jalur nafkah, syariat menetapkan tanggung jawab penafkahan ada di pundak laki-laki.

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada seorang ibu dengan cara yang makruf” (Q.S. Al-Baqarah 233).

Penafkahan berkaitan erat dengan pekerjaan. Dalam hal bekerja, tidak hanya individu yang harus memiliki etos kerja, namun harus ada lapangan pekerjaan. Maka Islam mewajibkan negara menjadi penanggung jawab agar lapangan pekerjaan tersedia dengan cukup dan memadai, hingga tidak ada seorang laki-laki pun yang tidak bekerja. Selain itu, Islam memerintahkan kehidupan bermasyarakat dilandasi dengan ikatan akidah. Dengan begitu, tolong menolong (taawun) antar masyarakat menjadi dukungan tersendiri bagi ibu ketika mengasuh anak-anaknya, misalnya keluarga kaya membantu yang kekurangan, lalu mensuasanakan kehidupan yang taat dan berlomba-lomba untuk kebaikan, tidak dengki, tidak memamerkan kemewahan, dan amal solih lainnya.

Adapun seandainya seorang ibu mendapatkan qodho sang suami meninggal atau sudah tidak berkemampuan mencari nafkah, Islam mempunyai mekanisme agar mereka mendapatkan kesejahteraan, di mana jalur penafkahan beralih kepada saudaranya, dan jika tidak mempunyai saudara, tanggung jawab beralih kepada negara, dengan alokasi anggaran jaminan akan diambilkan dari baitul maal.

Selain itu, Islam juga mewajibkan negara menjamin harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat, dengan begitu para ibu dapat menyiapkan kebutuhan gizi anak dan keluarganya dengan layak. Selain kebutuhan pokok, Islam juga mengatur kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijamin oleh negara secara mutlak. Rakyat mendapatkannya secara gratis dan berkualitas. Karena kebutuhan dasar publik tersebut dibiayai oleh baitu maal, dengan demikian jaminan kesejahteraan dapat dirasakan oleh individu per individu.

Akhirnya para ibu optimal dalam mengasuh anak-anaknya tanpa merasa khawatir terhadap masalah ekonomi. Inilah wujud sistem ekonomi dan politik dari negara yang diatur oleh aturan Islam. Negara yang menjalankan tugasnya sebagi raa’in.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *