Tikus Berdasi Pemakan BANSOS, lagi – lagi Demokrasi !!!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : MunaRachman (Member penulis  ideologis)

 

Pandemi Covid 19 tidak kunjung usai, anak sekolah dan masyarakat serta instansi-instansi masih menjalankan tugas sesuai protokol kesehatan. Bagi mereka para pengusaha kecil yang mengandalkan ekonomi harian, merasakan dampak luar biasa sampai detik ini. Bantuan sosial per bulan yang di anggap mampu meringankan beban hidup mereka meskipun tidak semua dapat, ternyata disalahgunakan oleh pejabat setingkat menteri. Astaghfirullah hal adzim .

Di lansir dari detik.com, KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan Corona. KPK menyebut total uang yang diduga diterima Juliari Batubara sebesar Rp 17 miliar.

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan uang miliaran rupiah itu diterima Menteri Sosial Juliari Batubara dari fee dua periode pengadaan bansos. Periode pertama, Firli menjelaskan diduga telah diterima fee sebesar Rp 12 miliar. Mensos Juliari Batubara diduga turut menerima uang senilai Rp 8,2 miliar turut diterima Mensos Juliari.

Tak hanya itu, Firli menyebut pada periode kedua, yakni Oktober-Desember 2020, sudah terkumpul uang senilai Rp 8,8 miliar yang dikelola oleh Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan Mensos Juliari Batubara. Uang Rp 8,8 miliar itu diduga akan dipakai untuk keperluan Mensos Juliari Batubara.

“Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Saudara JPB,” ujar Firli.

Uang itu diduga berasal dari kesepakatan fee penunjukan rekanan pengadaan bansos COVID-19 ini sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bantuan sosial. Firli mengatakan ada tiga vendor yang ditunjuk oleh Kemensos untuk menyediakan bantuan Corona, salah satu milik anak buah Menteri Sosial Juliari Batubara, yakni Matheus Joko Santoso. Matheus Joko Santoso adalah PPK pengadaan bantuan Corona yang ditunjuk langsung oleh Juliari Batubara.

“Selanjutnya oleh MJS (Matheus Joko Santoso) dan AW (Adi Wahyono) pada bulan Mei sampai dengan November 2020 dibuatlah kontrak pekerjaan dengan beberapa supplier sebagai rekanan yang diantaranya AIM, HS dan juga PT RPI yang diduga milik MJS. Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW,” tutur Firli.

Dalam kasus ini , apakah pantas Menteri Sosial di Hukum Mati ? Dilansir dari Merdeka.com – Institute for Criminal Justice (ICJR) menentang keras pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri terhadap hukuman mati yang patut diberikan kepada Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Juliari ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan menerima suap dari pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) saat pandemi Covid-19.

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu merekomendasikan langkah yang lebih tepat diambil oleh pemerintah seharusnya fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya.

“Pengguna pidana mati tidak pernah sebagai solusi akar masalah korupsi,” ucap Erasmus, Minggu (6/12).

Erasmus mengatakan ICJR dalam laporan kebijakan hukuman mati 2020 “Mencabut Nyawa di Masa Pandemi” yang dikeluarkan pada Oktober 2020 telah memprediksi bahwa wacana pidana mati di tengah pandemi ini akan digunakan untuk, seolah-olah sebagai solusi atas permasalahan korupsi di pemerintahan.

“Dalam laporan tersebut ICJR telah menekankan bagaimana penjatuhan hukuman mati sama sekali tidak mempunyai dampak positif terhadap pemberantasan korupsi di suatu negara,” tuturnya.

Laporan itu dikatakan Erasmus terbukti berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2019, negara-negara yang menduduki peringkat puncak atas keberhasilannya menekan angka korupsi tidak memberlakukan pidana mati sebagai pemidanaan bagi tindak pidana korupsi seperti Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia.

Kemudian Singapura yang juga tidak menerapkan hukuman mati untuk kasus korupsi berhasil menjadi negara dengan ranking IPK tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

“Sebaliknya, negara-negara yang masih menerapkan pidana mati termasuk untuk kasus korupsi malah memiliki nilai IPK yang rendah dan berada di ranking bawah termasuk Indonesia (peringkat 85), Cina (peringkat 80), dan Iran (peringkat 146),” ucapnya.

Menurut Erasmus, selama ini hukuman mati di Indonesia lebih cenderung digunakan sebagai narasi populis, seolah-olah negara telah bekerja efektif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk korupsi. Padahal faktanya tidak ada permasalahan kejahatan yang dapat diselesaikan dengan menjatuhkan pidana mati.

“Contoh paling konkrit misalnya dari praktik kebijakan narkotika dengan mengusung slogan perang terhadap narkotika sejak 2015 yang secara agresif menerapkan hukuman mati, terbukti sama sekali tidak berimbas pada penurunan angka peredaran gelap narkotika sampai saat ini,” ujarnya.

Begitu pula dengan kebijakan pemberantasan korupsi, ICJR sangat menentang keras rencana pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai solusi pemberantasan korupsi terlebih pada masa pandemi ini.

ICJR merekomendasikan langkah yang lebih tepat diambil oleh Pemerintah yaitu fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya.

Pembenahan sistem pengawasan di pemerintahan untuk mencegah korupsi belum berjalan dengan baik. Hal ini terbukti dengan terus bermunculannya kasus-kasus korupsi khususnya yang ada di lingkungan Kementerian Sosial.

Menteri Sosial periode sebelumnya yakni Idrus Marham baru pada 2019 lalu terjerat kasus korupsi pembangunan PLTU Riau. Kemudian jauh sebelumnya pada 2011, Menteri Sosial periode 2001-2009, Bachtiar Chamsyah, juga sempat tersandung kasus korupsi pengadaan sarung, sapi, dan mesin jahit. Fokusnya harus pada pembaruan sistem, tidak hanya berfokus pada hukuman.

Narasi pidana mati menandakan bahwa pemerintah berpikir pendek atas penanganan korupsi di Indonesia. Pemberlakuan pidana mati untuk tindak pidana korupsi juga akan mempersulit kerja-kerja pemerintah dalam penanganan korupsi, sebab banyak negara yang jelas akan menolak kerja sama investigasi korupsi jika Indonesia memberlakukan pidana mati .

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Firli Bajuri menyatakan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara bisa diancam dengan hukumna mati jika terbukti melanggar Pasal 2 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .

Miris !!! Penguasa atas nama rakyat yang seharusnya berperilaku baik, serta berperikemanusiaan dengan berakhlak mulia nyatanya tidak ada pada negeri yang selalu membanggakan diri sebagai Pancasilais ini. Sampai hati dana bansos hak penuh seluruh rakyat dikorupsi habis-habisan dengan nilai yang fantastis. Penguasa yang seharusnya sebagai pengurus, pelindung dan  pengayom rakyat tak di dapati dalam negeri penganut sistem demokrasi ini . Hukuman mati yang dilontarkan hanya pemanis di bibir saja nyatanya korupsi tetap lah korupsi , dasi panjang ber jas mewah itu pencuri uang rakyat. Bukan menambah memberikan bantuan secara individu , atau memikirkan bagaimana supaya kondisi pandemi seperti ini ekonomi rakyat tetap stabil ini justru menambah daftar buku hitam KPK dan mengiris hati rakyat. Lantas mau sampai kapan negeri pengusung demokrasi ini di jauhkan dari akhlak buruk korupsi ?

Rasulullah SAW memberikan contoh teladan kepada para Khalifah setelahnya, dari kekhalifahan Umar bin Khattab sampai kekhalifahan selanjutnya. Menulis dan mencatat seluruh  harta kekayaan di awal menjabat dan menginspeksi harta sesering mungkin untuk membersihkan harta di luar harta gaji . Dan menyetorkannya ke Baitul mall untuk kepentingan rakyat. Kemudian Khalifah juga memberikan pendidikan keimanan, aqidah dan akhlakul karimah kepada para penguasa. Memberikan pengajaran tentang haramnya menerima hadiah dalam bentuk apapun (selagi menjabat) terlebih lagi hadiah dalam bentuk suap. Lalu memberikan gaji yang cukup dan fasilitas yang mencukupi . Ketika ternyata korupsi tetap dijalankan maka Khalifah memberikan hukuman yang setimpal seganjar dengan apa yang di perbuat.

Korupsi dalam syariat Islam disebut khianat. Orang nya dinamakan Kha’in. Khai’in ini berbeda dengan  pencuri . Kha’in menggelapkan harta yang diamanatkan kepadanya . Sanksi atau Uqubat bukanlah potong tangan seperti pencuri melainkan sanksi ta’zir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Dan sanksi terberat sampai dengan hukuman mati .

“Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan koruptor orang yang merampas harta orang lain dan penjambret (HR. Abu Dawud) “.

Inilah ketika sistem Islam diterapkan segala bentuk kejahatan akan segera diselesaikan karena pelakunya pun takut akan dosa besar serta selalu merasa diawasi oleh Allah SWT . Khilafah Islamiyyah dibawah naungan Daulah    harus terus diperjuangkan karena ini adalah solusi kedzaliman para penguasa di muka bumi ini .

Wallahu’alam bissowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *