Tiga Kali Bupati Berganti, Hidup Bersama Banjir Tanpa Solusi
Oleh Erna Purwaningsih
(Aktivis Muslimah)
Banjir menjadi momok yang tak pernah lepas dari kehidupan warga Komplek CPI. Ona Rohana (56), yang telah tinggal di sana sejak 1997, mengungkapkan kelelahan menghadapi bencana tahunan ini. “Sering di sini mah, ini saja sudah minggu ketiga kebanjiran,” kata Ona ketika ditemui di tempat kejadian pada Selasa (12/11/2024).
Banjir yang disebabkan oleh luapan sungai Cikambuy dan Cipananggulan ini sudah menjadi bagian dari keseharian mereka selama hampir tiga dekade. Bagi Ona, kata “bosan” sudah tak lagi bermakna. Banjir yang awalnya hanya merendam jalan-jalan kini semakin parah, dengan ketinggian air bisa mencapai lebih dari satu meter.”Paling gede mah tahun 2012, tuh sampai seatap. Terus banjir lagi Desember 2023 kemarin. Hampir satu tahun lalu, sekarang banjir lagi,” ujarnya mengenang kejadian-kejadian banjir besar yang kerap melanda.Meskipun banjir di Komplek CPI terhitung cepat surut jika hujan berhenti, dampak dari banjir sangat mengganggu aktivitas warga. Bahkan, saat hujan deras, ketinggian air bisa mencapai dada orang dewasa. “Pernah sampai pinggang atau dada orang dewasa, kemarin hujan dari siang , beberapa jam udah datang banjirnya,” tambah Ona.
Tak hanya Ona, seluruh warga merasa dampaknya. Aktivitas sehari-hari mereka terganggu, dan mereka harus sigap menyelamatkan barang-barang berharga ke tempat yang lebih tinggi. “Warga kalau musim hujan sudah siap-siap barang di evakuasi ke lantai dua kalau ada lantai dua. Ini juga saya alhamdulillah tadi barang-barang terselamatkan” katanya, sembari menunjukkan barang-barang yang sudah disiapkan. Ona yang merupakan salah satu warga terlama di Komplek CPI mengungkapkan bahwa masalah banjir ini sudah terjadi sejak era kepemimpinan Bupati Obar Sobarna, dan hingga kini, di masa Bupati Dadang Supriatna, situasi yang sama masih berulang. “Tiga bupati masih aja gini. Bosan lah. Mau pindah kemana cuma punya (rumah) satu-satunya,” keluhnya.
Ketua RW 13, Dadang Cahyana (48), yang turut merasakan kesulitan warga, mengatakan bahwa banjir di CPI telah berlangsung sejak tahun 1997. “Tahun 2023 kemarin, kami sudah audiensi dengan Pemda Kabupaten Bandung,” ujar Dadang. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah daerah meminta warga untuk menyiapkan lahan guna pembangunan kolam retensi sebagai solusi penanganan banjir. “Dari Pemda Kabupaten Bandung untuk solusi banjir pada tahun 2023 tahun lalu, sudah diinisiasi oleh Ketua DPRD Kabupaten Bandung untuk mencari lahan,” jelas Dadang. Namun, meskipun sudah ada perkembangan, warga CPI masih harus menunggu. Proses pembangunan kolam retensi baru sampai pada tahap Detail Engineering Design (DED) dan belum ada target pasti terkait waktu pelaksanaannya. “Warga sangat menunggu proses itu agar segera dilanjutkan ,kalau bisa dipercepat, karena banjir sudah minggu yang ketiga kita mengalami,” harap Dadang.
Namun, dengan pengalaman yang telah berlangsung selama hampir tiga dekade, harapan Dadang, Ona dan warga lainnya tetap bergantung pada janji pemerintah untuk segera merealisasikan solusi banjir yang lebih permanen.
Persoalan banjir seakan tak menemukan jalan keluar, setiap tahunnya pasti terus berulang. Curah hujan yang tinggi diklaim menjadi faktor penyebab terjadinya banjir. Padahal, hujan adalah rahmat yang Allah turunkan bagi manusia untuk kehidupan, bukan sebagai musibah atau bencana.
Tata kelola kota dan alih fungsi lahan menjadi faktor utama terjadinya banjir. Daerah yang seharusnya menjadi kawasan resapan air, dialihfungsikan menjadi bangunan dan gedung. Ini akibat tata kelola dan pengembangan wilayah yang kapitalistik sehingga tidak memperhatikan kepada dampak lingkungan yang diakibatkannya. Riayah buruk dari pemerintahlah yang menjadikan banjir terus berulang.
Pembangunan kapitalistik bukanlah spirit pembangunan dalam Islam. Negara tidak akan melakukan alih fungsi lahan dan memenuhi kepentingan segelintir orang demi meraih pertumbuhan ekonomi. Dalam membangun, negara harus mempertimbangkan prinsip-prinsip pengelolaan lahan yang bersifat universal. Dan mempertimbangkan kondisi keseimbangan alam.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam dalam menangani permasalahan banjir. Dalam sistem Islam, negara adalah periayahan (kepala eksekutif). Negara menjaga warganya dengan kebijakan yang canggih, efisien, akurat dan cepat. Untuk mengatasi masalah banjir, rezim Islam melakukan tindakan pencegahan sebelum terjadi bencana, sebagai berikut:
Pertama, memetakan wilayah yang memiliki rendah dan rawan banjir akibat banjir dan berkurangnya daya serap tanah. Selain itu, sistem Islam melarang orang untuk menetap di daerah tersebut. Jika rakyat sudah mempunyai tempat tinggal tetap, akan dipindahkan ke lokasi yang lebih aman, nyaman, dan lebih mampu memenuhi kebutuhan rakyat.
Kedua, memetakan hutan sebagai buffer zone untuk menghindari konversi lahan berlebihan yang dapat merusak lingkungan. Selain itu, pembuatan daerah resapan air dilakukan dengan membangun bendungan dan kanal untuk menampung air hujan.
Ketiga, menetapkan rencana induk pembangunan dan kebijakan pembukaan pembangunan bahwa bangunan harus mencakup variabel drainase, penyediaan permukaan resapan, dan penggunaan lahan berdasarkan karakteristik tanah dan topografi.
Keempat, melakukan pemeliharaan sungai dengan cara mengeruk lumpur pada sungai atau daerah aliran sungai untuk mencegah terjadinya pendangkalan.
Kelima, memberikan pendidikan pencegahan bencana agar masyarakat dapat tanggap dan bersiap ketika terjadi bencana.
Itulah sedikit penjelasan dalam pencegahan banjir dalam kacamata Islam. Maka, hanya negara khilafah sajalah yang akan mampu menyelesaikan segala permasalahan umat, apalagi yang mencakup keselamatan.
Wallahu a’lam bishawab