Oleh: Salma Banin (Pegiat Literasi, kontributor komunitas “Pena Langit”)
Belum genap 30 hari setelah disahkannya, Perpres nomor 10/2021 yang diteken Pak Jokowi mendakak dicabut lewat sebuah konferensi pers dan video yang massif disebar ditengah masyarakat. Alasan Presiden, keputusan tersebut diambil karena pemerintah concern terhadap masukan yang disampaikan baik oleh rakyat, ulama maupun ormas yang telah banyak bersuara. Sebelumnya, publik berisik disebabkan adanya muatan dalam perpres tersebut yang diduga kontroversial. Demi kemajuan ekonomi, pemerintah berkehendak melegalkan pembukaan investasi bagi industri baru komoditas minuman keras (miras). Bagi rakyat Indonesia yang mayoritas muslim, tentu ini sangat mencengangkan sekaligus mengherankan.
Tak ayal, banyak juga yang mempertanyakan kemanakah arah kebijakan selama ini, seolah tak henti-henti memancing gejolak respon di tengah-tengah umat. Dalihnya aturan ini hanya ditujukan bagi empat provinsi dikarenakan mayoritas penduduk disana diperbolehkan agamanya mengonsumsi miras sebagai bagian dari ritual keagamaan, budaya dan/atau kebutuhan. Namun ternyata tidak semua begitu, terkhusus di Papua ternyata sudah ada Perdasus Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di Provinsi Papua mengingat dampak yang ditimbulkan begitu mengerikan. Alhasil, warga net papua pun tak sedikit yang terjun ke sosmed untuk menyatakan dukungan pencabutan perpres tersebut. Ini semakin menggenapkan tekanan yang ditujukan pada rezim selama satu bulan belakangan.
Meski pemberitaan telah heboh dengan keputusan tersebut, publik sudah selayaknya bersikap lebih jeli. Pasalnya yang dinyatakan dicabut hanya lampiran III yang mengatur tentang pembukaan industri baru miras di wilayah yang disebutkan. Itu pun baru secara lisan di media. Seorang pengamat politik, Agung Wisnu Wardana berpendapat bahwa pencabutan tanpa dokumen tertulis masih berpotensi untuk dipulihkan, seandainya pengawasan masyarakat mengendur. Adapun menurut pakar hukum Profesor Suteki, pencabutan Perpres hanya bisa dilakukan dengan menerbitkan Perpres baru yang membatalkan atau merevisi Perpres yang sudah ada.
Keduanya bersepakat dalam dua webinar berbeda, bahwa pernyataan RI 1 tentang dicabutnya lampiran tersebut tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap peredaran miras di negeri kita. Sebab hukum yang memayungi industri lama miras masih diberlakukan. Adalah UU nomor 74 tahun 2013 yang disahkan pada masa pemerintahan SBY, menjadi landasan konkrit legalnya produksi dan distribusi miras. Padahal menurut Prof. Suteki, aktivitas mabuk-mabukan dilarang dalam seluruh ajaran agama yang diakui di Indonesia.
Hal ini, Islam memandang minuman keras (khamr) adalah ummul khabaits, keharaman yang layak mendapatkan laknat dari Allaah dan Rasul-Nya sekaligus. Jika sistem ekonomi kapitalisme –yang kita terapkan saat ini– menggolongkannya sebagai benda ekonomi, syariah Islam justru menutup segala pintu yang berkaitan dengan khamr ini.
“Rasulullah SAW melaknat tentang khamr sepuluh golongan: yang memerasnya, yang minta diperaskannya, yang meminumnya, yang mengantarkannya, yang minta diantarinya, yang menuangkannya, yang menjualnya, yang makan harganya, yang membelinya, dan yang minta dibelikannya”. [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 380, no. 1313]
Dalam Alquran pun diwahyukan, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan,” [TQS Al Baqarah ayat 219]
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” [TQS Al-Maidah : 90-91]
Bagi seorang muslim, tentu akan mencukupkan diri dengan yang halal saja. Namun, ayat dan hadits tersebut hari ini hanya mampu mencegah individu dan sekelompok umat dari bahaya keharaman miras. Dalam demokrasi, Islam cenderung diadopsi sebagai nilai-nilai saja, sedangkan asas atas diterapkannya aturan lebih banyak ditetapkan melalui kesepakatan. Walaupun haram, miras tidak bisa dilarang secara mutlak dinegara kita, karenanya butuh diatur. Tentu hal ini bertentangan dengan yang dicontohkan oleh Rasulullaah saw. dahulu. Dimana seluruh nash-nash syar’i diterapkan menjadi aturan yang mengatur kehidupan manusia tanpa terkecuali. Meski bagi non muslim sendiri, konsumsi khamr masih diperbolehkan di ranah privat mereka. Keteraturan yang adil ini belum bisa kita lihat pada hari ini, sebab sebagian syariah Islam masih kita abaikan.
Tentunya polemik tentang miras ini tidak akan cukup diselesaikan melalui pencabutan lampiran Perpres, butuh ada perubahan paradigma yang mendasar sehingga umat bisa terhindar dari keharaman yang sudah jelas-jelas memudharatkan. Wallaahu’alam bishawab.