Thrifting, Akibat Industrialisasi Kapitalistik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Thrifting, Akibat Industrialisasi Kapitalistik

Siti Maryam 

Kontributor Suara Inqilabi

 

Pasar pakaian bekas impor sebetulnya sudah ramai sejak lama. Namun, kini tengah mencuat kabar tentang kontroversi penjualan pakaian bekas impor, atau thrifting. Kementrian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan penjualan baju bekas impor mengganggu utilisasi industri. Sehingga pemerintah melarang penjualan baju bekas impor. Apalagi, sebentar lagi menjelang hari lebaran. Otomatis, thrifting juga mengganggu penjualan baju lebaran di dalam negeri (republika.com, 17/3/2023).

Presiden Jokowi baru-baru ini menegaskan pelarangan aktivitas thrifting atau jual beli barang bekas impor, terutama pakaian. Hal demikian ditindaklanjuti oleh sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Perdagangan, juga pihak kepolisian dengan melakukan tindakan penyitaan dan pemusnahan barang dari para pedagang.

Kebijakan larangan thrifting ini diatur dalam Permendag terbaru No. 40/2022 tentang Perubahan atas Permendag No. 18/2021 tentang barang dilarang ekspor dan impor menyangkut pakaian dan barang bekas lainnya.

Thrifting, Akibat Industrialisasi Kapitalistik

Bisnis thrifting menjadi bisnis yang menjanjikan peluang besar. Karena permintaan yang luar biasa. Mayoritas masyarakat ingin tampil keren dan berbeda. Wajar saja, saat thrifting dijadikan solusi bagi sebagian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pakaian layak dan pantas. Karena harga yang ditawarkan, sangat terjangkau. Tak ayal, bisnis thrifting pun menjadi pesaing tangguh industri fashion. Bahkan Hippindo (Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia) mengungkapkan bisnis pakaian bekas impor mematikan toko yang menjual merek global (tempo.co, 19/3/2023).

Fakta yang dipertanyakan, mengapa baru sekarang thrifting dipermasalahkan? Padahal sudah merebak sejak lama. Apalagi seruan ini digemborkan saat industri tekstil dalam negeri, collapse. Fakta thrifting ini pun dihubungkan dapat mengganggu stabilitas UMKM dalam negeri. Padahal faktanya, UMKM hanya memperpanjang rantai produksi saja. Segala pernyataan yang diungkapkan para pemimpin negeri ini menggambarkan keberpihakan pada importir-importir tekstil yang hanya segelintir saja. Atau importir pakaian branded yang dengan jelas membayar mahalnya bea cukai. Sementara, yang menjadi persoalan adalah barang-barang impor ilegal, yang tak memasukkan cukai impor.

Kondisi ini pun memberikan gambaran bahwa pemerintah tak memberikan solusi sistemik pada masalah thrifting. Yang sebetulnya bersumber dari tingginya angka kemiskinan negeri ini. Justru kebijakan-kebijakan yang ditetapkan adalah kebijakan yang hanya berpihak pada para pemilik modal, alias para kapitalis. Jelaslah, segala usaha ini hanya sekedar pencitraan dan pembelaan penguasa terhadap pengusaha. Sehingga semua kepentingan rakyat pun otomatis terpinggirkan. Buruknya pengelolaan ala sistem kapitalisme. Menggadaikan kesejahteraan rakyat. Alhasil, kemiskinan menjadi masalah yang tak pernah bisa dituntaskan.

“Ini adalah persoalan di semua level, baik persoalan gaya hidup di level individu, gaya hidup generasi secara kolektif, pengaruh media sosial yang sangat tinggi, dan pengaruh sistem perdagangan internasional atau perdagangan bebas yang asimetris (menimbulkan kesenjangan). Akarnya adalah persoalan ideologis sehingga muncul masalah dilematis dalam poros kehidupan kapitalistik,”

Sungguh nestapa kehidupan umat saat ini. Pedagang kecil makin sulit, rakyat pun makin tidak terpenuhi kebutuhan sandangnya lantaran kemiskinan yang kian akut. Ditambah budaya hedonistik yang melekat dalam kehidupan masyarakat, terutama anak muda, menjadikan makna kebahagiaan hanya pada perolehan kepuasan materi belaka. Bukankah kehidupan seperti ini begitu memprihatinkan?

Oleh karena itu, jika akar persoalannya terletak pada absennya negara dalam mengurusi sandang umat dan melekatnya budaya hedonisme dari Barat, semua itu berpangkal dari kepemimpinan ideologi kapitalisme saat ini. Sistem kehidupan kapitalisme telah mengerdilkan fungsi negara sebatas regulator saja, yang tidak bertanggung jawab terhadap ketersediaan kebutuhan umat, termasuk sandang.

Sistem kapitalisme pun telah menjadikan manusia keluar dari fitrahnya. Gaya hidup hedonistik yang memunculkan fenomena shopaholic menjadikan manusia hanya diperbudak oleh materi, tidak mengerti makna hidup sesungguhnya dan makna kebahagiaan hakiki seorang manusia. Oleh karena itu, pangkal terjadinya fenomena thrifting sejatinya adalah kepemimpinan ideologi kapitalis.

Thrifting Dalam Pandangan Islam

Sebenarnya, membeli barang bekas bukan satu persoalan jika dilihat dari level individu karena ajaran Islam pun tidak melarangnya. Namun, menjadi satu persoalan jika dilihat dari level masyarakat dan negara. Ini karena fenomena thrifting tidak bisa dilepaskan dari budaya konsumtif yang bukan ciri khas masyarakat Islam.

“Islam dengan aturan ekonominya secara makro, secara bersamaan menyelesaikan pula persoalan pada aspek individu. Pada saat yang sama menjamin hak-hak hidup, dan memungkinkan adanya kemewahan karena menikmati kualitas. Namun, masyarakatnya dipastikan memiliki gaya hidup yang khas, bukan menjadikan materi itu segala-galanya,”

Rasulullah saw. mengajarkan umatnya untuk hidup sederhana. Muslim memandang berpakaian bukan untuk flexing (pamer), melainkan cara ia menjadikan pakaiannya sebagai wasilah untuk dirinya bertakwa. Derajat seseorang bukan dilihat dari OOTD-nya, melainkan dari ketakwaannya. Masyarakat Islam akan lebih gemar bersedekah daripada berbelanja barang mewah. Walaupun berbelanja untuk memuaskan diri, boleh-boleh saja.

Di sisi lain, negara menerapkan setiap kebijakan yang bermuara pada penjagaan umat seutuhnya. Menyediakan setiap kebutuhan umat yang terjangkau dan layak. Sekaligus menyediakan penghidupan yang mencukupi bagi seluruh rakyat. Termasuk kebutuhan sandang, pangan dan papan yang terbaik. Pengelolaan sumberdaya alam yang amanah dapat melahirkan berkah bagi kehidupan suatu tatanan negara. Ini pun menjadi point terpenting dalam mengelola kebutuhan umat.

Segala konsep ini hanya dapat terwujud dalam wadah ideologi yang benar dan khas, yaitu ideologi Islam. Satu-satunya ideologi yang mensejahterakan umat. Ideologi yang terstruktur dalam bingkai Khilafah minahj An Nubuwwah. Mengentaskan segala bentuk kemiskinan dari dalam tubuh umat, baik miskin materi maupun miskin edukasi.

 

Wallahu a’lam bisshowwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *