THR Pekerja Dicicil Lagi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Andi Sarkia, S.Pd (Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)

 

Miris, karyawan dan buruh pabrik biasa yang memiliki gaji tak seberapa bahkan cenderung berpenghasilan rendah, masih saja harus merasakan jauhnya kata sejahtera dari kehidupan mereka, kondisi ini diperparah dengan THR yang hanya diterima sekali dalam setahun, itupun harus dicicil oleh perusahaan, tempat mereka menggantungkan hidup.

Para pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) masih tertekan pandemi COVID-19. Berdasarkan riset Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pengusaha di sektor tersebut minta pembayaran tunjangan hari raya (THR) dicicil. Hal tersebut sama seperti tahun 2020.

Pada Januari 2021, Apindo melakukan riset terhadap 600 anggotanya. Hasilnya sekitar 200 pengusaha atau sepertinya tercatat sudah tidak bisa mempertahankan bisnisnya. Lalu 60% sulit membayar cicilan utang perbankan, dan 44% omzetnya turun lebih dari 50%.

Keinginan para pengusaha TPT nasional juga disampaikan langsung oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani saat webinar Indonesia Macroeconomic Update 2021. Dalam acara tersebut ada Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.
Karena mereka ini termasuk sektor yang kemarin waktu kami konfirmasi mereka meminta untuk pembayaran THR dicicil seperti tahun lalu,” kata Hariyadi dalam webinar Indonesia Macroeconomic Update 2021, Kamis (8/4/2021).
(detikFinance, 09/04/2021).

Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari setahun ini memberikan dampak yang luar biasa bagi perekonomian. Menurutqq data Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan, perusahaan yang mengaku sangat merugi akibat pandemi sebanyak 40,6%.

Akibat pandemi Covid-19. Telah terjadi peningkatan angka pengangguran sebanyak 1,5 juta orang kehilangan mata pencaharian mereka (Kemnaker, April 2020). Jika dibandingkan antara pengusaha dan pekerja, siapa yang lebih terdampak dalam kondisi ini.

Penyebab “konflik” antar buruh dan pengusaha

Dalam sistem kapitalisme, buruh ibarat tulang punggung sektor produksi. Kapitalisme menganggap buruh adalah pekerja dan pengusaha adalah orang yang mempekerjakannya.

Status di antara keduanya secara otomatis menimbulkan adanya tingkatan kelas secara ke atas dan ke bawah, atau yang biasa disebut dengan stratifikasi sosial.

Dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh.

Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka.

Konsekuensinya, terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Masalah buruh dengan pengusaha akan selalu ada selama persoalan terkait akad ijarah dan hak buruh memperoleh kesejahteraan belum tuntas.

Kalau kita melihat secara jeli, sebenarnya siapa yang terdampak dalam kondisi ini? Tentu saja para pekerja (buruh). Disebabkan mereka bekerja untuk menyambung hidup, sementara gaji yang mereka dapatkan hanya sesuai standar upah minimum.

Inilah ironi keberadaan sistem kapitalisme, telah menempatkan para buruh pada posisi tulang punggung sektor produksi. Kapitalisme menempatkan posisi buruh sebagai pekerja sedangkan pengusaha sebagai orang yang mempekerjakan mereka.

Secara tidak langsung, kondisi ini telah melahirkan tingkatan kelas dengan posisi bagian atas dan bagian bawah, ringkasnya telah terjadi staratifikasi sosial dalam hal ini.

Sebenarnya konflik buruh dan pengusaha selama ini kadang terjadi karena kesalahan tolak ukur yang dipakai dalam menentukan kelayakan gaji seorang buruh.

Sehingga kondisi ini menyebabkan para buruh pada dasarnya tidak mendapatkan hak/gaji yang seharusnya mereka miliki, sebab mereka hanya mendapatkan sesuatu yang sangat minim dari hasil jerih payah mereka, itupun sekedar untuk mempertahankan hidup tanpa merasakan kehidupan yang layak serta jauh dari kata sejahtera, sehingga menjadikan pihak buruh sebagai pihak yang tereksploitasi oleh para pemilik perusahaan.

Permasalahan mengenai buruh dengan pengusaha tidak akan berakhir selama akad ijarah dan hak buruh tidak diperoleh sebagaimana mestinya, terutama kesejahteraan yang seharusnya mereka dapatkan.

Tidak heran jika kaum pekerja mempertanyakan hal ini kepada pihak pihak yang berwenang, mengapa Negara melonggarkan perusahaan yang ada untuk beroperasi secara normal sementara pembayaran THR bagi para buruh dengan cara dicicil, bukankah hal ini melahirkan ketidakadilan bagi kaum buruh.

Kenyataan ini telah menggambarkan bahwa sistem kapitalisme memberi perhatian yang istimewa kepada kalangan pengusaha/kapitalisme, disisi lain mengorbankan hak para buruh dalam hal ini hak rakyat umum.

Dalam menangani masalah THR, sudah seharusnya pihak penguasa memberikan rasa keadilan antara pengusaha dan pekerja, hal ini merupakan salah satu peran dan tanggung jawab penguasa untuk tidak memberikan peluang kelonggaran bagi pengusaha yang akan merugikan pekerja, bagaimana solusinya?

Pertama, seharusnya pihak penguasa mampu memetakan perusahaan mana saja yang memiliki kemampuan memberikan THR secara penuh, serta perusahaan mana saja yang belum mampu, pemetaan ini dilakukan dalam rangka agar pengusaha dan pekerja bisa saling menerima secara ikhlas akan THR mereka yang dibayar secara penuh atau terpaksa harus dicicil oleh pihak perusahaan. Dari sini salah satu opsi yang bisa dilakukan adalah audit keuangan perusahaan dua atau tiga tahun berturut-turut, apakah dalam kondisi ini perusahaan mengalami keuntungan atau kerugian.

Kedua, dalam menentukan regulasi, negara haruslah berpihak kepada kepentingan rakyat, sebab jika paradigma kapitalisme yang menjadi standar, maka pihak yang dirugikan dalam pengambilan kebijakan tidak bisa terelakkan keberadaannya, terutama para buruh dalam hal ini, pemerintah seharusnya bisa memberikan sanksi tegas bagi perusahaan “nakal” yang enggan membayar THR para pekerjanya, pandemi seharusnya tidak “dimanfaatkan”.

Apabila pemerintah serius dalam mengatasi persoalan ini, dipastikan akan menempuh langkah yang memberikan rasa keadilan bagi kedua belah pihak, namun dalam sistem kapitalisme, negara jarang terlibat penuh terhadap polemik pengusaha dan pekerja, negara hanya memberi imbauan namun tidak memberikan solusi bagi kepastian nasib para pekerjanya

Solusi permasalahan buruh dalam islam

Persoalan mendasar para buruh saat ini terletak pada kesejahteraan mereka, tentu saja Islam sebagai agama yang sempurna mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi para pengusaha dan pekerja.

Akad ijarah antara mereka diatur dalam Syariat Islam, yakni ketetapan terkait upah kerja, jenis pekerjaan, waktu kerja, adalah akad yang harus disepakati berlandaskan keridhoan kedua belah pihak.

Jika akad ijarah telah disepakati untuk suatu pekerjaan, maka pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, apabila terdapat kesepakan mengenai THR atau tunjangan berbentuk lain, maka pengusaha diharuskan memberikan hal tersebut kepada para pekerjanya sesuai kontrak kerja.

Apabila terdapat sengketa antara pekerja dan pemberi upah (majikan) maka peran penting para pakar (khubara’) yang akan menentukan upah sepadan bagi para pekerja yang dipilih oleh kedua belah pihak, apabila sengketa masih terjadi maka Negara berperan memilki pakar dan memaksa keduanya mengikuti keputusannya .

Islam menetapkan standar gaji pekerja berdasarkan manfaat tenaga yang dikeluarkan oleh pekerja, bukan living cost terendah, sehingga tidak terjadi eksploitasi pekerja atas majikannya.

Dalam hal ini upah pekerja dan pegawai negeri memiliki standar yang sama yakni ketentuan upah sepadan yang diberlakukan ditengah masyarakat.

Sistem ekonomi didalam Islam akan menerapkan aturan yang berkeadilan berkaitan dengan kepemilikan harta serta distribusinya kepada masyarakat, sehingga tidak dikenal kebebasan kepemilikan. Kepemilikan harta distandarkan pada halal dan haram, bentuknya ada tiga aspek yaitu, kepemilikan bagi individu, umum dan negara.

Standar kesejahteraan dalam Islam tidak dihitung dalam pendapatan perkapita sebab tidak menggambarkan secara nyata taraf hidup masyarakat secara umum.

Distribusi kekayaan dipastikan merata secara adil keseluruh individu masyarakat, baik kaya maupun miskin, kalangan buruh ataupun pengusaha, tatacara ini hanya akan dapat diberlakukan jika penerapan Syariat Islam secara Kaffah diformalisasikan dalam bingkai sebuah negara yang berasaskan Islam semata, bukan dengan yang lainnya.

Wallahu A’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *