Tes Covid-19 Harga Selangit

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Rahmawati Rahman (IRT Penggiat Literasi)

Seorang ibu di Makasar, Sulawesi Selatan dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungan setelah tidak mampu membayar biaya swab test sebesar 2,4 juta (BBCNews Indonesia, 18/06/2020). Padahal kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan.

Di tengah realisasi _new normal life_ yang menjadi keputusan pemerintah, lagi-lagi rakyat kembali dikecewakan dengan mahalnya biaya _rapid test_ mulai dari harga Rp. 200.000 hingga Rp.500.000. Sedangkan swab test dengan PCR antara 1,5 juta hingga 2,5 juta. Belum termasuk biaya-biaya lainnya. Parahnya, masa berlaku rapid tes hanya 3 hari dan swab tes 7 hari, setelah itu hasil tes tidak berlaku dan harus dicek ulang.

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan tingginya harga tes Covid-19 dikarenakan pemerintah belum menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Sehingga masing-masing instansi menentukan harganya sendiri. Tentu saja ini menjadi beban baru bagi masyarakat di saat ekonomi melemah saat pandemi. Mereka harus membayar secara mandiri tanpa bantuan pemerintah.

Sistem kesehatan berbasis asuransi yang selama ini dibangga-banggakan nyatanya tidak memberikan solusi. Rakyat yang membayar premi tinggi, tetapi saat membutuhkan layanan masih harus membayar karena birokrasi yang dibuat berbelit demi meraih keuntungan. Sebab diukur dengan takaran untung rugi.

Tampak jelas bahwa sistem yang tegak di atas paradigma rusak dan akidah sekularisme yang mendasari sistem hidup hari ini menjadikan standar kapitalis sangat dominan dalam menilai dan menempatkan negara sebagai regulator, bukan penanggung jawab _(raa’in)_.

Berbeda jauh dengan Islam, kebutuhan atas pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Rumah sakit, klinik, dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh kaum Muslim dalam terapi pengobatan dan berobat. Jadilah pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Kemaslahatan dan fasilitas publik _(al-mashâlih wa al-marâfiq)_ itu wajib disediakan oleh negara secara cuma-cuma sebagai bagian dari pengurusan negara atas rakyatnya.
Ini sesuai dengan sabda Rasul saw.:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

_”Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).”_

Maka dengan konsep jaminan kesehatan dalam Islam, negara akan menjamin akses tes. Baik _test swab_ maupun _rapid test_ secara massal dan gratis. Kepada seluruh masyarakat saat pandemi. Negara juga akan membangun pabrik dan memproduksi alat-alat kesehatan dan obat-obatan dengan tujuan pelayanan bukan keuntungan. Negara juga akan mendukung berbagai riset penemuan vaksin oleh tenaga ahli.
Semua layanan diberikan secara cuma-cuma karena kebijakan ekonomi dan Keuangan negara Islam memungkinkan bagi negara mendapatkan anggaran pendapatan yang melimpah ruah dari pemgelolaan kepemilikan umum seperti kekayaan alam maupun kepemilikan negara.

Sejatinya semua bisa terwujud dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh seperti yang telah di contohkan oleh Nabi Muhammad saw.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *