Terkapar Akibat Komersialisasi Tes Corona

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : F. Rohmah

Derita bertubi-tubi mendera anak negeri ini. Belum selesai satu, muncul lagi cobaan susulan seakan antrian yang mengular. Ada yang menimpa oleh sebab alam, ada yang datang dari negeri seberang nan jauh, ada yang muncul dari ketidakbecusan pemimpin.

Kompleks, rumit, ruwet, bikin mumet. Kehidupan anak negeri kian terhimpit semakin tercekik. Pemasukan berkurang bahkan hilang, pengeluaran justru bertambah. BPJS, tagihan listrik, naiknya harga-harga barang kebutuhan membuat rakyat hanya bisa menangis diam-diam, karena menjerit se melengking apapun tak kan dihiraukan, hanya makin menambah kering kerongkongan. Kepala pening, nelongso tak berkesudahan, belum terlihat ujungnya ada dimana.

Pandemi corona yang gagal diantisipasi sejak awal sudah 4 bulan terus menimbun masalah. Dana penanganannya sudah 4 kali naik. Dari semula Rp 405 T kini melonjak lebih 2 kali lipat. Seperti yang dilansir CNN Indonesia Jum’at (19/6/2020) Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksi dana penanganan penyebaran virus corona dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) melonjak hingga Rpp905,1 triliun.

Jumlahnya naik signifikan dari sebelumnya yang ditetapkan sebesar Rp 677 triliun. Hal ini diungkapkan Sri Mulyani dalam akun Instagram pribadinya pada Jumat (19/6) sore. Ia menyatakan kenaikan dana penanganan penyebaran virus corona dan pemulihan ekonomi nasional ini akan membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 semakin membengkak.

Entah dana itu tercurah kemana untuk apa yang dapat pihak mana kebagian berapa siapa saja, hal ini sulit terlacak oleh rakyat biasa. Karena bantuan yang mereka nanti pun hanya ada di awal saja. Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia yang juga Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat KH Cholil Nafis mengeluhkan besarnya biaya rapid test khususnya terhadap para santri yang akan pulang ke pondok pesantren (ponpes). Keluhan Kiai Cholil ini diungkapkan dalam Twitter pribadinya @cholilnafis. Dalam cuitannya, Kiai Cholil mempersoalkan alokasi anggaran negara yang terus naik hingga RP. 695,2 T untuk penanganan Covid-19. Namun, hanya untuk rapid test para santri saja, mereka tetap harus membayar Rp 400.000 di Bandara Halim Perdana Kusumah, Jakarta. (sindonews.com, 21/6/2020)

“Saya baru tahu bahwa rupanya harga tiket pesawat Jakarta-Lombok kemarin jauh lebih murah dari biaya pemeriksaan kesehatan akibat melintas 3 pulau Jawa-Lombok-Sumbawa. Industri test dadakan ini mengeruk keuntungan besar sekali melampaui industri perjalanan yang sedang jatuh,” tulis beliau juga.

Mahalnya tes corona telah menelan korban. Seorang bayi meninggal di kandungan ibunya yang tidak mampu membayar tes covid sebagai prasyarat operasi kehamilan. Seperti dilansir Kompas.com Jum’at (19/6/2020) uji tes Covid-19 baik melalui rapid maupun swab test dituding telah “dikomersialisasikan”. Seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp 2,4 juta. Padahal, kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan. Pengamat kebijakan publik mendorong pemerintah untuk menggratiskan biaya tes virus corona.

Berbagai pihak (YLKI, Asosiasi RS dll) menganggap komersialiasi terjadi karena pemerintah tidak segera menetapkan Harga standar (HET) atas tes yang dilakukan di luar RS rujukan.

Berdasarkan Surat Edaran Gugus Tugas (SEGT) Nomor 7 Tahun 2020, salah satu persyaratan calon penumpang transportasi umum, baik laut dan udara untuk perjalanan harus tes PCR dengan hasil negatif yang berlaku tujuh hari dan rapid test yang berlaku tiga hari pada saat keberangkatan. Misalnya, saat hendak naik kereta, diperlukan hasil rapid test, tes PCR, atau tes influenza sebagai syarat seseorang boleh naik kereta. Dilansir Kompas.com, Selasa (24/3/2020), di sebuah marketplace harga alat rapid test impor dari China Rp 295.000. Sementara itu akurasinya diklaim mencapai 95 persen hanya dalam waktu 15 menit.

Tapi ada juga yang menjual dengan harga Rp 900.000 per buahnya. Rata-rata harga alat rapid test di bawah Rp 1 juta. Sementara itu untuk tes PCR dan swab harganya lebih mahal, mencapai jutaan rupiah. Dilansir Kompas.com (1/6/2020), di RS Universitas Indonesia salah satunya, biaya pemeriksaan tes swab termasuk PCR adalah Rp 1.675.000 sudah termasuk biaya administrasi. Di Riau, harga tes swab per orang Rp 1,7 juta.

Harga tersebut merupakan tes swab mandiri di RSUD Arifin Achmad. Dilansir Kompas.com, (2/6/2020), harga tersebut menurut Juru Bicara Penanganan Covid-19 Riau dr Indra Yovi adalah yang termurah dibanding harga di daerah lain. Sementara itu di Makassar ada yang menjual tes swab seharga Rp 2,4 juta, yaitu di RS Stellamaris seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (17/6/2020).

Mahalnya biaya rapid tes ini elah terbukti menambah beban, bahkan telah jatuh korban. Banyak santri pondok pesantren yang lintas daerah bahkan hingga lintas pulau. Banyak juga rakyat negeri ini yang hidup merantau. Rakyat yang sehat pun akan panas, batuk-batuk bahkan bisa kejang mendadak jika disodori tagihan biaya tes yang melangit.

Bukankah tanggung jawab kesehatan rakyat sejatinya adalah tanggung jawab negara? Mestinya negara memberikan fasilitas untuk melakukan tes dan pelacakan agar memastikan individu terinfeksi tidak menularkan ke yang sehat. Juga merupakan kewajiban negara mencari jalan keluar jitu bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak pembatasan selama masa karantina, bukan malah sebaliknya.

Kelesuan ekonomi yang dialami pelaku ekonomi raksasa/kapitalis menjadi pendorong kuat pemerintah memberlakukan new normal dengan risiko mengorbankan keselamatan jiwa masyarakat luas. Telah nampak betapa sistem politik, ekonomi dan kesehatan yang berjalan di berbagai negara gagal segera mengatasi masalah.

Sesungguhnya jalan keluar terbaik adalah menyadari kebutuhan terhadap sistem alternative. Ada tawaran untuk kembali pada sistem ilahi, yaitu Sistem khilafah. Sistem ini kabarnya telah terbukti berhasil mengatasi masalah pandemi tanpa mencekik rakyat, tetap menjunjung tinggi nyawa manusia. Kenapa tidak melirik tawaran ini?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *