Oleh: Lulu Nugroho, (Muslimah Penulis dari Cirebon)
Ini bukan ‘Terlalu’ ala bang Haji Rhoma Irama. Tapi 4 faktor ‘Terlalu’, yang dianggap menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu melahirkan di Indramayu, yaitu terlalu muda ketika melahirkan atau usia di bawah 21 tahun, terlalu tua saat melahirkan atau usia di atas 35 tahun, terlalu dekat jarak waktu masa melahirkan dan terlalu banyak melahirkan.
Tampaknya semua yang serba ‘Terlalu’ berujung persoalan bagi ibu juga stunting pada anak. Akibat hal-hal tersebut, maka berbagai upaya dilakukan untuk mengatasinya, di antaranya adalah dengan memberi pelayanan Keluarga Berencana (KB).
Yang pertama adalah pelayanan bagi pasangan usia subur di setiap Puskesmas dan Bidan Praktik Mandiri. Kemudian pelayanan KB serentak ‘Sejuta Akseptor’ dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional ke-27 pada tanggal 29 Juni 2020 nanti, dilakukan oleh Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kabupaten Indramayu bekerjasama dengan Ikatan Bidan Indonesia (IBI), TP PKK dan TNI.
“Layanan KB yang dilakukan DPPKB secara masif selama ini diharapkan tidak terjadi kehamilan di masa pandemi Covid-19, tetapi ternyata data dari Provinsi Jawa Barat tercatat di Indramayu terdapat sekitar 1.215 ibu hamil pada pasangan subur,” ujar Kepala DPPKB Kabupaten Indramayu, Tri Nani Rochaeningsih. (Kabarcirebon, 21/6/2020)
Dia menilai, meski permasalahan kehamilan adalah hak setiap warga negara tetapi kehamilan di masa pandemi Covid-19 cukup mengkhawatirkan, baik untuk kesehatan ibunya maupun janin yang di dalam kandungannya. Mengingat pada masa pandemi orang sangat sulit mencari makanan, penghasilan kepala keluarga berkurang bahkan ada yang tidak berpenghasilan akibat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Lebih jauh ia mengatakan, “Salah satu tujuan gencarnya DPPKB melakukan pelayanan KB, selain sebagai bentuk upaya meminimalisir jumlah ibu hamil di masa pandemi Covid-19 juga untuk mengurangi angka stunting.”
Kehamilan di tengah pandemi
Pandemi Covid-19 tak pelak telah merubah pola hidup masyarakat, yang semula banyak beraktivitas di luar rumah, kini seluruh anggota keluarga melakukan kegiatannya dari dalam rumah melalui daring. Maka bisa jadi, karena intensitas pertemuan suami isteri yang besar, menjadikan jumlah wanita hamil bertambah.
Hal ini tentu menjadi masalah di dalam pemerintahan ala sekularisme, sebab negara tidak memiliki kemampuan mengurusi umat. Karena itu semakin banyak kelahiran, akan menambah persoalan pemerintah. Sebab semakin banyak warganya, semakin besar pula kebutuhan yang harus dipenuhi oleh pemerintah baik itu pangan, sandang, dan papan.
Padahal, dengan kekayaan alam yang banyak, maka akan tercukupi semua kebutuhan pokok masyarakat. Namun akibat salah kelola serta para pemimpin yang tidak amanah, maka harta milik umat pun tidak tepat peruntukannya. Akibatnya rakyat lapar di lumbung padi, miskin di negeri bertahtakan perhiasan zamrut khatulistiwa.
Tidak hanya itu, banyaknya kasus PHK, mengakibatkan masyarakat terdampak Covid-19 pun bertambah dari waktu ke waktu. Perekonomian nyaris lumpuh. Negara kehilangan daya untuk mengatasi wabah penyakit, juga tidak mampu memutar roda perekonomian. Alhasil solusi pintas yang dilakukan adalah memberi pelayanan KB, selain sebagai bentuk usaha meminimalisir jumlah ibu hamil di masa pandemi Covid-19, juga dianggap sebagai pencegahan terjadinya stunting.
Padahal kasus stunting telah ada beberapa waktu lalu, jauh sebelum pandemi. Masih menjadi pekerjaan rumah (PR), sebab belum ada solusi tuntas. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak, terutama pada pertumbuhan tubuh dan otak akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Umumnya disebabkan asupan makan yang kurang gizi atau malnutrisi.
Dari situ saja tampak, bahwa solusi stunting mudah, yaitu dengan memberi anak-anak itu makanan yang bergizi. Jika saat ini mereka tidak terpenuhi kebutuhan makannya dengan baik, sebab keluarga memang tidak mampu menyediakannya. Kemiskinan yang mendera kehidupan umat, membuat mereka sulit memenuhi berbagai kebutuhan yang sangat mendasar.
Hal ini tentu perlu dicarikan solusi yang tepat. Sebab tugas pemerintah adalah memberi jaminan terhadap seluruh kebutuhan pokok masyarakat, serta memberinya kemudahan untuk mendapat akses kesehatan dan pendidikan. Apalagi akibat pandemi, jumlah masyarakat terdampak bertambah banyak, maka adalah wajar jika kemudian pemerintah mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat.
Hanya saja perkara yang demikian tidak ada dalam sekularisme. Fungsi pemerintah hanya sebagai legislator, untuk memuluskan jalan para kapital. Bukan sebagai raain (pengurus) atau junnah (perisai) bagi umat. Maka tidak heran jika negara gagap mengurusi persoalan umat. Solusi yang diambil pun bukan solusi mengakar.
Padahal jumlah kaum muslim yang besar adalah aset bagi negara. Merekalah yang akan menjadi sumber daya manusia (SDM) melengkapi kekayaan alam (SDA) yang ada di bumi pertiwi. Hanya saja dalam sekularisme, keutamaan-keutaman itu tidak akan terwujud. Maka tidak heran jika 4 faktor ‘Terlalu’ tadi, menjadi masalah yang berarti.
Berbeda dengan kepemimpinan dalam Islam, negara akan menjaga generasi dengan bentuk penjagaan berkualitas prima sejak dalam kandungan hingga tumbuh dewasa. Suasana keimanan dalam kehidupan bernegara akan menghasilkan generasi perubahan yang tangguh dan mampu memikul tugas-tugas peradaban. Merekalah yang kelak yang menjadi mutiara-mutiara umat, pembela Islam yang kelak mengguncang dunia.