Oleh: Agustin Pratiwi S.Pd
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjadikan Rasullulah Muhammad SAW sebagai suritauladan dalam menapaki jalan kehidupan, sebagaimana Allah telah berfirman dalam surat Al- ahzab ayat 21, yang artinya “Sesungguhnya dalam diri RAsulullah ada teladan yang baik bagmu, yaitu orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah”. Maka jelaslah, apa-apa yang dibawa oleh Rasul patut kita ikuti.
Barang siapa yang meneladani Rasulullah SAW pasti akan menjadi teladan, sebagaimana hari ini tak ada orang yang tak mengenal Abu Bakar ash Shidiq yang meupakan Kholifah pertama. Begitu juga sosok orang terbaik setelah Abu Bakar dari umat Muhammad, Umar bin Khaththab. Rasul pernah berpesan kepada kaum muslim untuk berpegang teguh pada ajaran beliau dan Khulafaur Rasyidin.
Berkenaan dengan penguasa, ada teladan yang seharusnya kita ambil dari salah satu kisah Khulafaur Rasyidin. Dalam sebuah pidato Kholifah Abu Bakar ash-Shidiq sebagaimana yang dituturkan oleh Anas bin Malik, setelah pembaiatan umum, Kholifah Abu Bakar ash-Shidiq ra. Berpidato. Pertama-tama, beliau melantunkan pujian kepada Allah SWT, lalu berkata: “Aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian, sementara aku bukanlah orang terbaik dari kalian. Jika aku berbuat baik maka tolonglah aku. Jika aku berbuat buruk maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sedangkan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah ditengah kalian adalah kuat disisiku sampai aku mengembalikan haknya, insya’a Allah.. Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-NYA. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban taat bagi kalian kepadaku. Berdirilah kalian unutuk sholat. Semoga Allah merahmati kalian.” (Imam ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari)
Dalam pidato Kholifah Abu Bakar ash Shidiq terlihat ketawadhuan beliau walaupun tak ada orang yang meragukan keutamaan dan meistimewaan beliau disisi Rasulullah, beliau mengatakan ‘Padahal aku bukanlah orang terbaik dari kalian’. Sikap ini sudah semestinya dimiliki seorang penguasa. Meskipun secara nyata beliau adalah sosok terbaik, namun menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang manusia biasa yang berpotensi melakukan kesalahan. Terlebih amanah kekuasaan adalah godaan yang besar bagi manusia, amanah ini memungkinkan manusia berlaku dzolim bahkan diktator.
Penguasa yang memiliki sikap tawadhu dan memiliki kesadaran sebagaimana dikatakan dalam riwayat Abu Nu’aim bahwa pemimpin ialah seorang pelayan masyarakat, mustahil akan memposisikan diri sebagai junjungan rakyatnya. Pemimpin ini pun tak akan beranggapan bahwa dirinya selalu benar. Ia akan mendorong pendukunya untuk bersikap kritis pada dirinya.
Seorang penguasa akan bisa membuka diri terhadap nasihat, kritik dan koreksi yang dilontarkan sebab pemerintahannya. Karna ia menyadari bahwa kritikan itu akan membawa kebaikan baik di dunia dan di akhirat kelak. Maka ia akan bergembira saat ada rakyat yang mau menyampaikan muhasabah kepadanya dan merasa sedih dengan kondisi sebaliknya. Itulah sikap Kholifah Umar bin al-Khaththab ra.
Nasihat pada penguasa sejatinya ialah kepentingan akhirat karna merupakan kewajiban seorang muslim untuk nahi mungkar, agar penguasa tak menyalahi syariat Allah. Nasihat ini juga akan menyelamatkan masyarakat dari kedzoliman penguasa dan membawa kebaikan didunia.
Seorang pemimpin yang memiliki sikap ini hanya akan hadir jika ia memiliki ketaqwaan dan menerapkan seluruh syariat islam dalam menjalankan keberlangsungan hidup bernegaranya.