Oleh : Ummu Cinthya (Penggiat Literasi Bandung)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan pembukaan sekolah atau kegiatan tatap muka di sekolah dan di seluruh zona dan resiko virus corona, mulai januari 2021. Nadiem mengungkapkan peta zonasi resiko covid-19 tidak lagi menentukan pemberian izin pembelajaran tatap muka, tapi Pemda yang menentukan sehingga bisa memilih daerah-daerah dengan cara yang lebih detail.” (CNN Indonesia, 20/10).
Sudah lebih dari delapan bulan pandemi, sekolah daring lama-lama juga membuat para siswa dan orang tua darting (darah tinggi). Siswa mulai bosan dan jenuh, orang tua pun sudah pusing kepala dibuatnya, sementara guru hampir putus asa mencari cara agar pembelajaran jarak jauh tetap efektif dan memberi pemahaman kepada siswa.
Kebijakan membuka kembali sekolah pada Januari 2021 menyisakan sejumlah tanya yang belum selesai, sejauh mana tingkat kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan? Bagaimana persiapan sekolah menerapkan protokol kesehatan secara ketat kepada guru dan siswa. Bagaimana pula peran negara sebagai pengurus utama jaminan kesehatan dan pendidikan.
Negara semestinya berfikir mendalam tentang strategi dan kebijakan yang diambil agar semua pihak, baik kepala daerah, pemangku kebijakan pendidikan, guru, siswa dan orang tua merasakan kenyamanan dan keamanan. Sayangnya, paradigma sistem kapitalisme yang egois menjadikan pemerintah mau enak nya saja dan tidak mau bersusah- susah mengurusi rakyatnya. Pandemi tidak akan ber larut-larut kalau kebijakan pemerintah tidak karut marut.
Lain halnya dengan negara yang bersistem syariat Islam, yang tidak akan membiarkan tiap daerah mengalami kesulitan selama belajar daring. Fasilitas pendidikan akan diberikan secara merata ke semua daerah. Negara akan mengeluarkan kebijakan yaitu, pertama, selesaikan wabahnya, baru buka sekolah nya. Negara khilafah akan melakukan pemetaan terhadap kasus positif yang tersebar di setiap daerah, tujuannya untuk memudahkan pemisahan antara yang sakit dan yang sehat.
Kedua, melakukan edukasi melalui kesadaran spritual, emotional, dan intelektual. Rakyat harus memahami bahwa pandemi bagian dari ujian Allah Swt. Ketiga, memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Tak di pungkiri pandemi covid-19 memukul perekonomian masyarakat oleh karena itu, negara harus memberi intensif yang sesuai dengan kebutuhan masing- masing keluarga agar perekonomian tidak lesu. Selain itu negara juga harus menyediakan kebutuhan guru dan peserta didik dalam mendukung belajar daring. Seperti fasilitas internet, kuota dan sarana penunjang lainnya yang mendukung pembelajaran jarak jauh.
Keempat, paradigma dan tujuan pendidikan. Negara khilafah yang berlandaskan Islam dengan asas ini arah dan tujuan pendidikan jelas berbeda jauh dengan asas pendidikan sekuler. Pendidikan dalam Islam adalah bertujuan untuk membentuk manusia saleh, cerdas serta berahlak mulia. Begitu pula dengan kurikulum yang disusun, kurikulumnya harus lah merujuk pada tujuan yang sahih. Negara harus menyusun kurikulum yang lengkap dan sesuai jenjang usia.
Kelima, dukungan negara terkait anggaran pendidikan dan kesehatan. Negara harus memastikan setiap hak individu terjamin dalam mendapatkan layanan pendidikan disetiap kegiatan belajarnya. Apalagi dimasa pandemi, biaya dan tenaga yang di keluarkan akan jauh lebih besar semua anggaran akan di biayai oleh baitul mal. Demikianlah Negara khilafah menjalankan fungsinya sebagai raa’in (pengurus rakyat).
Pendidikan di masa pandemi membutuhkan keseriusan dan perhatian yang besar dari negara, karena setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan pendidikan dan kesehatan yang memadai dan men cukupi. Semua itu akan terwujud jika negara menerapkan syari’at Islam secara kaffah.
Wallahu’alam bishawab.