Tarif Dasar Listrik Naik, Rakyat Makin Tercekik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Dewi Istiharoh

 

Isu kenaikan tarif dasar listrik (TDL) di negeri ini kembali menjadi sorotan. Baru-baru ini Menteri Keuangan, Sri Mulyani memutuskan tarif listrik dan harga pertalite bersubsidi tidak naik pada 2022. Keputusan ini sudah mendapat lampu hijau dari Presiden Joko Widodo.

“Presiden dan kabinet sudah menyetujui untuk berbagi beban, kelompok rumah tangga yang mampu, yaitu mereka yang langganan listriknya di atas 3.000 VA, boleh ada kenaikan tarif listrik, hanya di segmen itu ke atas,” ujar Sri Mulyani dalam rapat bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI. (JPNN.com/22 Mei 2022)

Dengan demikian tarif listrik dan harga pertalite bersubsidi tetap seperti yang berjalan saat ini, alasannya karena pemerintah telah menambah anggaran subsidi energi sebesar Rp. 74,9 triliun dari semula Rp 134 triliun menjadi 208,9 triliun. Sebagaimana diketahui pemerintah memberikan sinyal rencana menaikkan tarif listrik dan harga pertalite sebagai imbas kenaikan harga komoditas energi di pasar global. Hanya saja kebijakan tersebut tidak berlaku bagi pelanggan listrik di atas 3000 VA. Hal ini dikarenakan karena penggunaan listrik di atas 3000 VA dimasukan dalam kelompok rumah tangga mampu dan jumlah penggunanya sedikit.

Masyarakat memberikan tanggapan beragam terhadap rencana pemerintah tersebut. Beberapa masyarakat tak setuju dengan wacana tersebut. Rina (warga Semarang) misalnya.
“Kalau saya kurang setuju karena di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit seperti saat ini hampir 2 tahun dilanda pandemi covid-19 banyak masyarakat atau keluarga yang mengalami kehilangan pekerjaan, sehingga kondisi keuangan keluarga terganggu,” ujar Rina kepada CNNIndonesia.com, Jumat (20/5).

Kebijakan menaikan listrik sepertinya sudah menjadi tabiat yang tidak bisa hilang. Padahal listrik pada golongan subsidi maupun non subsidi, semuanya membebani masyarakat. Sebab jika pelanggan non subsidi adalah industri hal ini akan berpengaruh pada kenaikan harga pada barang yang diproduksi. Jika tarif listrik naik biaya operasional produksi juga pasti ikut naik, yang pada akhirnya akan turut mempengaruhi harga produk yang masyarakat konsumsi.

Harus diakui bahwa tidak ada yang gratis dalam kehidupan yang diatur di bawah sistem kapitalisme. Untuk sekadar menikmati aliran listrik saja harus berbayar meski pemerintah menerapkan listrik bersubsidi, tetapi dari tahun ke tahun nilai subsidi berkurang. Padahal dengan pemangkasan subsidi, PLN harus menaikan tarif listrik untuk mengurangi biaya yang besar. Dengan kata lain negara tidak ubahnya pedagang yang sedang menjual dagangannya yakni listrik kepada rakyatnya sendiri.

Rakyat seperti pengemis subsidi dan pelayanan listrik. Tidak ada layanan listrik jika tidak ada bayaran. Begitulah watak penguasa kapitalis. Padahal listrik adalah salah satu sumber energi yang harus bisa dinikmati oleh rakyat dengan biaya yang murah bahkan gratis.

Negara masih berhitung dalam memberikan pelayanan kepada rakyat dan tidak mengutamakan pemenuhan kebutuhan rakyat. Sementara negeri ini diketahui memiliki batu bara yang berlimpah. Direktur jenderal mineral dan batubara kementrian energi dan sumber daya mineral, Ridwan Jamaludin pernah mengemukakan bahwa cadangan batubara saat ini mencapai 38,84 miliar ton dengan rata-rata produksi batu bara 600 juta ton per tahun, umur cadangan batu bara masih 65 tahun. (esdm.go.id/Selasa, 27 Juli 2021)

Dengan keberlimpahan ini, bahan bakar pembangkit listrik ini sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik setiap warga. Kecukupan ini akan terwujud manakala kekayaan alam yang menguasai hajat publik ini dikelola dengan pandangan syariat Islam, bukan dengan liberalisasi energi sebagaimana dalam kapitalisme.

Konsep liberalisme energi menghilangkan peran negara sebagai penanggung jawab utama dan membiarkan pihak swasta mengelola dan menguasai kekayaan alam milik rakyat. Rasulullah SAW bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara : padang rumput, air dan api.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Listrik menghasilkan energi panas yang dapat menyalakan barang elektronik. Dalam hal ini listrik termasuk kategori “api” yang disebutkan dalam hadits tersebut. Selain itu batu bara merupakan bahan pembangkit listrik termasuk dalam barang tambang yang jumlahnya sangat besar. Dengan demikian haram dikuasai oleh individu/swasta. Maka pengelolaan sumber pembangkit listrik yaitu batu bara serta layanan publik berada di tangan negara. Individu/swasta tidak boleh mengelolanya dengan alasan apapun.

Adapun untuk memenuhi kebutuhan listrik, Khilafah bisa menempuh beberapa kebijakan berikut :
1. Membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai
2. Melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri
3. Mendistribusikan pasokan listrik kepada rakyat dengan harga murah
4. Mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik atau lainnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang lainnya. Seperti : Pendidikan, Kesehatan, keamanan, sandang, pangan dan papan.
5. Seluruh pembiayaan pembangunan pembangkit listrik hingga distribusi aliran listrik menggunakan dana dari Baitul mall Khilafah pos kepemilikan umum.

Peradaban Islam pada masa Khilafah Bani Umayyah menjadi bukti terpenuhinya kebutuhan listrik masyarakat. Cordoba menjadi ibu kota Andalusia yang pada malam harinya diterangi dengan lampu-lampu sehingga pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Ada sebuah masjid dengan 4.700 buah lampu yang menerangi, setiap tahunnya menghabiskan 24.000 liter minyak. Dengan pengelolaan listrik berdasarkan syariat Islam, rakyat dapat memenuhi kebutuhan listrik dalam kehidupan sehari-harinya dengan biaya yang murah bahkan gratis.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *