Tapera: Wajah Kolonial Baru di Tengah Sengkarut Wabah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh:  Alfiyah Kharomah

Member Revowriter Jawa Tengah
Lagi, pemerintah menggarami luka rakyat di tengah babak belurnya mereka menghadapi wabah corona. Tanpa tedeng aling-aling, pemerintah menampakan taring untuk mendapatkan dana segar dari rakyat. Pengesahan regulasi Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat telah menyempurnakan kedzaliman penguasa. Bagai haus darah, penguasa tak puas menghisap rakyat dengan seabrek iuran dan pajak. Sebelumnya telah menaikan iuran BPJS Kesehatan, potongan BPJS Kesehatan, potongan BPJS Ketenagakerjaan, menaikan tarif dasar listrik hingga pemalakan berbagai macam pajak.

Beberapa waktu yang lalu, presiden Jokowi telah menyetujui usulan pemotongan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai swasta sebesar 2,5 persen untuk membayar iuran Tapera. Sementara 0,5 persen iuran tersebut akan dibebankan kepada pemberi kerja. Peraturan baru ini direncanakan akan segera berlaku mulai Januari 2021. Program Tapera ini wajib diikuti oleh para pekerja formal maupun informal. Baik telah memiliki rumah, sedang menyicil rumah, maupun yang belum memiliki rumah.

Sungguh mati nurani, di tengah pandemi banyak rakyat yang tak punya pekerjaan lagi. Kalaupun masih bekerja, gaji tak utuh lagi, belum harus tetap membayar sekolah anak, tagihan-tagihan banyak yang harus dilunasi, iuran kesehatan hingga cicilan, ditambah keperluan sehari-hari dan sembako yang melambung tinggi. Rakyat masih dibebani dengan iuran Tapera yang banyak tokoh masih mempertanyakan urgensitasnya.

Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang menuturkan keberatan atas program baru ini. Tapera justru dianggap semakin membebani pengusaha dan pekerja. Apalagi bisnis saat ini sedang terpuruk. Bahkan pengusaha di DKI mengusulkan PP ini untuk dicabut.

Sarman menambahkan untuk membayar tanggungan BPJS karyawan saja susah. Apalagi jika ditambah Tapera, mereka mengibarkan bendera putih. Ia meminta harusnya pemerintah memberikan dukungan agar para pengusaha bisa segera bangkit. Bukan malah memberikan beban.

Mirip BPJS, Tapera dengan sistem gotong royong bertujuan untuk menghimpun dan menyediakan dana jangka panjang dan berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan bagi rakyat terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Iuran Tapera ini bersifat wajib.

Meskipun seluruh pekerja wajib ikut dan membayar iuran, ternyata tidak semua pekerja dapat mengajukan kredit perumahan rakyat Tapera. Menurut Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR, manfaat pembiayaan Tapera hanya dapat digunakan oleh pekerja yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Sementara peserta yang tidak masuk kategori MBR nantinya akan berhak menerima kembali simpanan, hasil pemupukan iuran, dan insentif lain dari BP Tapera saat masa kepesertaannya berakhir.

Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan besar. Setelah fakta BPJS yang berkali-kali defisit, dana BPJS yang sulit diklaim, sengkarut pengelolaan dana oleh pemerintah, sengkarut dana haji, serta fakta bahwa Indonesia adalah negara urutan ke-4 terkorup se-Asia Tenggara. Apakah ada jaminan dana Tapera akan baik-baik saja? Apakah pemerintah akan amanah?

Selain itu, PP Tapera membuktikan bahwa pemerintah melemparkan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan papan kepada rakyat dengan dalih gotong royong. Padahal, papan adalah kebutuhan pokok rakyat harus dipenuhi oleh negara.

Program ini sarat akan kepentingan bernafas kapitalis. Alasan pemenuhan kebutuhan papan hanyalah pemanis semata. Hal ini tak ubahnya cara pengumpulan dana segar dari pos baru yang akan diinvestasikan di pasar modal maupun pasar uang dengan pola kontrak investasi. Peserta tak bisa mengklaim dana tersebut sebelum pensiun.

Segala kebijakan bernafas kapitalistik mulai pajak, iuran BPJS hingga iuran Tapera mengkonfirmasi bahwa negara telah merubah dirinya sebagai penjajah berwajah pribumi. Negara telah mengakomodasi para oligark untuk menyedot dana rakyat hingga ke saripati. Negara yang harusnya menjadi pelayan dan penjaga rakyat, berubah menjadi pemalak rakyat. Tak berlebihan jika pemerintah berubah wajah menjadi para penjajah dengan gaya barunya.

Sampai kapanpun, jika negara masih menggunakan sistem sekulerisme kapitalisme, atas nama demokrasi, atas nama rakyat mereka akan terus mencari cara agar bisa tetap menjajah. Karena sistem kapitalisme sejatinya adalah sistem yang rusak dan merusak yang berambisi untuk memiliki keuntungan sebesar-besarnya dalam ekonomi pasar. Dimana industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik modal. Mereka akan mencari cara sebanyak-banyaknya, sebusuk-busuknya agar tercapai segala kemanfaatan di dalam hidup para pemiliki modal.

Sehingga, kedzaliman demi kedzaliman terus menerus akan menimpa rakyat akibat penerapan sistem ini. Cukup sudah kesempitan hidup yang telah dirasakan rakyat Indonesia bahkan sejak pendudukan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di negara ini, dilanjutkan penjajahan di jaman Jepang sampai saat ini harus segera dihapuskan.
Umat membutuhkan pemimpin yang hadir untuk melayani pemenuhan tak hanya papan, tetapi juga pangan dan sandang. Islam melalui sistem ekonomi yang komprehensif akan memenuhi kebutuhan papan rakyat melalui mekanisme yang khas dan sesuai tuntunan syariat. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW:

“Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dam ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatmya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun sumber dana yang dapat dipakai untuk pemenuhan kebutuhan pokok papan adalah tak bisa dilepaskan dari filosofi bahwa negara berkewajiban mengelola aset-aset umum yang digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Negara tidak boleh mengalihkan kepemilikan dan pengelolaan aset-aset umum (kepemilikan umum) kepada individu maupun sekelompok individu. Di sisi yang lain, negara tidak boleh memaksa individu mengeluarkan biaya, selain apa yang telah digariskan oleh syariat. Oleh karena itu, negara wajib memungut zakat, jizyah, kharaj dan lain-lain dari individu rakyat yang berkewajiban mengeluarkannya. Selain apa yang diwajibkan oleh syariat, negara tidak boleh memaksa rakyat untuk mengeluarkan biaya apapun.

Atas dasar itu, negara tidak boleh memungut pajak dari rakyatnya, termasuk juga iuran-iuran untuk membiayai kebutuhan dasarnya seperti iuran kesehatan atau Tapera. Sebab, menurut Islam pungutan apapun selain yang ditetapkan oleh syari’at adalah bentuk kedzaliman. Tentu saja adalah sebuah keharaman. Pajak hanya boleh dipungut ketika kas negara kosong, atau negara dalam keadaan darurat yang mengharuskan dirinya memobilisasi harta dari rakyat dengan cara menarik pajak.

Sumber pemasukan negara Khilafah terdiri dari pengelolaan negara atas aset-aset milik umum, harta milik negara dan perusahaan negara, ghanimah, kharaj, fai’, jizyah, zakat dan pendapatan insidentil. Dalam pembiayaan Negara Islam dengan Baitul Malnya bertugas mengatur, mengelola dan mendistribusikan pendapatan-pendapatan negara.

Inilah prinsip-prinsip Islam dalam melihat hubungan negara dengan kegiatan ekonomi rakyat. Dari prinsip-prinsip di atas jelaslah, bahwa peran negara dalam menggerakan perekonomian rakyat sangatlah besar, terutama dalam hal pengelolaan aset-aset kepemilikan umum. Dengan prinsip ekonomi inilah negara akan menjamin kebutuhan papan umat. Sehingga tak ada individu yang menjadi tuna wisma dan terlantar di jalanan.

Maka, hanya dengan penerapan Islamlah yang mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan perumahan rakyat dalam lindungan Daulah Khilafah. Tak hanya muslim, tapi juga bagi non muslim yang memiliki identitas kewarganegaraan Khilafah. Wallahu’alam Bisshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *