Tapera: Penjarahan Berkedok Gotong Royong

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Reski Prastika (Aktivis Intelektual Muslimah)

Ditengah situasi perekonomian yang melemah dan dunia usaha yang berjuang keras agar tidak gulung tikar. Pemerintah seolah abai akan beban masyarakat. Tarif listrik naik sepihak tanpa pemberitahuan, harga BBM dunia turun tapi tak sekalipun pemerintah menurunkan harga, belum lagi iuran BPJS yang tarifnya semakin mencekik, serta biaya pendidikan online dimasa pandemi tetapi UKT tidak juga mendapat diskon, ditambah berbagai jenis pajak yang harus dibayar tepat waktu. Kini menyusul Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum) yang diubah menjadi Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dengan pergantian nama ini, peserta Taperum bakal mencakup semua pekerja bergaji, dengan pendapatan bulanan minimal setara UMK (upah minimum kota/kabupaten), termasuk para freelancer atau pekerja lepas.

Tapera bertujuan menjalankan amanat UUD 1945, salah satunya Pasal 28 H ayat 1, bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Secara tertulis tujuannya sangat mulia, untuk memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau bagi pesertanya, yakni semua orang bergaji itu tadi. Tapera menghimpun dana masyarakat untuk tolong-menolong beli rumah.

Tapera merupakan penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan setelah kepesertaan berakhir. Peserta Tapera adalah PNS, BUMN, BUMD, TNI dan Polri, perusahaan swasta, dan peserta mandiri pekerja, dimana dalam pembayaran simpanan peserta pekerja dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja. Adapun besaran Iuran Tapera sebesar 3 persen dari gaji, untuk karyawan swasta sebanyak 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan sisanya sebesar 2,5 persen ditanggung oleh pekerja ( potong gaji karyawan untuk iuran Tapera). Khusus untuk peserta mandiri, iuran dibayarkan sendiri. Akan tetapi, tidak semua peserta akan mendapat manfaat dari Tapera, terdapat beberapa syarat dan ketentuan.
Komisioner BP Tapera Adi Setianto menjelaskan, terdapat beberapa kriteria bagi peserta untuk bisa masuk kategori penerima manfaat dari Tapera. Kriteria pertama adalah pihak-pihak yang belum memiliki atau sedang ingin memiliki rumah pertama. Basis penerima manfaat adalah peserta yang memenuhi kriteria penerima manfaat atau priority list, yang diterjemahkan BP Tapera nanti berupa peraturan BP Tapera. Peserta hanya dapat mengambil dananya setelah pensiun bagi Pekerja; Telah mencapai usia 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pekerja Mandiri; Peserta meninggal dunia; Peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai Peserta selama 5 (lima) tahun berturut-turut. (Kompas.com/ Rabu, 03/06/20)

Singkat kata, setiap bulannya gaji terpotong untuk membiayai cicilan rumah orang lain. Dan naasnya tidak semua peserta akan mendapat peluang untuk mendapatkan rumah. Bahkan hingga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat disahkan pada 20 Mei 2020 lalu, belum jelas syaratnya dan ketentuan peserta yang berhak menerima manfaat Tapera. Dan seperti apa dan bagaimana peserta akan mendapat manfaat Tapera juga tidak jelas, masih belum tahu apakah pembiayaan itu artinya peserta diberi dana tunai untuk membangun rumah sendiri, atau terima jadi rumah yang dibangun kontraktor yang ditunjuk BP Tapera.

Jika memang pada akhinya kebijakannya adalah peserta akan menempati rumah yang dibangun oleh kontraktor yang ditunjuk oleh Tapera, maka jelas institusi ini dibentuk untuk kepentingan dan menyelamatkan para pengembang properti perumahan. Sebagaimana kita ketahui bisnis properti tidak luput dari kerugian selama masa pandemi.
Selanjutnya, apa yang dimaksud “golongan masyarakat berpenghasilan rendah itu” versi Tapera pun tidak jelas. Bagaimana mungkin masyarakat diminta membayar iuran setiap bulan padahal penghasilannya rendah.

Begitupun dengan pekerja yang wajib ikut kepesertaan Tapera adalah mereka yang berpenghasilan bulanan minimal setara UMK, tentu tidak bisa dijadikan standar. Karena kebutuhan dan beban setiap orang itu berbeda-beda. Tarulah si A dan si B bekerja di perusahaan yang sama dengan gaji yang sama sebesar 5 juta rupiah. Si A adalah kepala rumah tangga dengan 5 anggota keluarga dan si A adalah satu-satunya sumber keuangan. Sementara si B masih berstatus lajang tanpa tanggungan. Tentu ini adalah bentuk ketidakadilan dan kedzoliman kepada para pekerja yang gajinya harus dipotong 3% untuk membiyai cicilan rumah milik orang lain. Begitulah kebijakan yang bersumber dari akal manusia semata. Pasti akan tumpang tindih, karena berasal dari manusia yang sangat lemah, terbatas dan membutuhkan yang lain.

Dan yang lebih memprihatinkan, gaji sebesar 3% yang terpotong setiap bulan tidak bisa diklaim atau dicairkan. Bagi peserta yang tidak termasuk kriteria untuk mendapat manfaat dari Tapera hanya akan mendapatkan kembali dananya setelah pensiun. Dana akan dikembalikan beserta bunganya. Dana-dana yang terkumpul tersebut akan diterakumulasi di Tapera untuk ditanamkan di pasar modal, didepositokan di bank, dan/atau dibelikan surat utang negara, obligasi, maupun sukuk. Jadi secara tidak langsung, sadar atau tidak sadar para peserta Tapera tersebut akan terseret dalam transaksi ribawi. Ini namanya celaka12, sudah didunia diporoti, diakhirat pun tak lepas dari dosa riba. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqaroh:275 yang artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila….”

Tidak ada jaminan dana-dana yang dikelola dan yang diinvestasikan akan menghasilkan keuntungan. Berkaca dari BPJS, Jiwasraya, dan Asabri, pewajiban partisipasi masyarakat di Tapera jelas bikin waswas. Tidak tertutup kemungkinan, nantinya syarat peserta untuk mendapat pembiayaan rumah bisa saja dipersulit sehingga tidak semua pekerja bisa memiliki rumah. Bahkan mungkin lebih ruwet dari BPJS.
Seperti itulah jika negara diatur dengan perundang-undangan sekuler, aturan dan kebijakannya sarat akan kepentingan dan kekuasaan. Negara yang diatur berlandaskan pada ideologi kapitalisme menggantungkan pendapatan negara dari pajak bukan mengelola kekayaannya alam yang ada dalam negara. Oleh sebab itu dibuatlah berbagai jenis pajak dan iuran untuk menyedot dana masyarakat. Dalam negara kapitalis tugas rakyat adalah mensejahterakan pemerintah. Darah, keringat dan air mata rakyat diperas untuk kepentingan para kapital atau pemilik modal sehingga yang kaya makin kaya dan yang miskin semakin tersisih, bahkan hanya untuk bernapas pun sangat sulit.

Berbeda dengan islam, Islam bukan hanya sekedar agama tetapi sekaligus sebagai ideologi dimana dalam islam aturan hidupnya lengkap. Islam diturunkan dengan 3 dimesi aturan. Dimensi pertama berisi aturan hubungan mahluk dengan sang pencipta, hal ini terkait fikih ibadah. Dimensi kedua terkait aturan hubungan manusia dengan diri sendiri, hal ini terkait akhlak, aturan berpakaian, aturan makan, dan lain-lain. Terakhir, dimensi ketiga terkait aturan hubungan antar sesama manuasi, hal ini terkait masalah muamalah, hudud dan aturan bernegara. Syari’at islam yang masuk dimensi tiga ini meliputi: Sistem pemerintahan islam; Sistem ekonomi islam; Sistem sosial islam; Sistem pidana islam; Politik pendidikan islam; Politik luar negeri islam.

Islam adalah agama yang paripurna mengatur semua aspek kehidupan. seperti yang telah disebutkan diatas, salah satu aspek yang diatur dalam dimensi tiga yaitu terkait dengan sistem ekonomi islam. Islam sesungguhnya memiliki misi penataan ekonomi yang jauh berbeda dari wajah tata ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ekonomi islam, harta kekayaan yang ada dibumi ini tidaklah bebas untuk dimiliki oleh individu, sebagaimana yang ada dalam pemahaman sistem ekonomi kapitalisme. Kepemilikan atas harta terbagi atas 3 yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

Kepemilikan individu yaitu hukum syara’ yang berlaku bagi zat atau manfaat tertentu, yang memungkinkan bagi yang memperolehnya untuk memanfaatkannya secara langsung atau mengambil kompensasi dari barang tersebut; Kepemilikan umum adalah ijin Asy-syari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan suatu benda; Kepemilikan negara yaitu harta yang tidak termasuk kategori milik umum maupun milik individu, namun barang-barang tersebut terkait dengan hak kaum muslimin secara umum. Sebagaimana sabda Rasullulah “Manusia itu berserikat dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput, dan api (BBM, gas, listrik, dsb)”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Harta kepemilikan umum dan kepemilikan negara tersebut dikelola oleh negara dan didistribusikan secara menyeluruh kepada masyarakat. Sebagaimana firman Allah SWT QS. al-Hasyr:7 yang artinya “Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja di antara kamu”.

Itulah beberapa keunggulan khusus dari sistem ekonomi islam. Hanya saja, yang dituntut adalah pengamalan seluruh syari’at islam yang telah dirurunkan Allah SWT, maka seluruh cakupan hukum syariat islam wajib diterapkan secara menyeluruh sebagai hukum, bukan hanya sebagai etika atau norma. Insya Allah, islam sebagai rahmat bagi semesta alam akan benar-benar terwujud dalam kehidupan nyata.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *