Oleh : Rina Tresna Sari, S.Pd.I (Generasi Khoiru Ummah dan Member AMK)
Gelombang pandemi yang belum mereda, menuai dampak disegala bidang. Menyasar semua lapisan profesi. Bukan hanya para pedagang harian, para buruh pabrik yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup akibat gelombang PHK masal. Kini keluhan pun dirasakan oleh para pegawai negeri sipil(PNS) pasalnya selama masa pamdemi Selain dihadapkan pada bengkaknya tagihan listrik dan naiknya iuran BPJS Kesehatan, mereka harus merelakan gajinya dipotong untuk Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).
Pemerintah telah menerbitkan PP tentang Penyelenggaraan Tapera yang baru diundangkan per 20 Mei 2020 lalu. Aturan tersebut, mengatur pemotongan gaji PNS, pegawai BUMN dan swasta sebesar 3 persen untuk iuran Tapera.
Komisioner Badan Penyelenggara Tapera, Adi Setianto mengatakan, “BP Tapera, kami diamanatkan undang-undang untuk menghimpun dana murah jangka panjang guna pembiayaan perumahan yang layak dan terjangkau, khususnya mewujudkan mimpi rumah pertama,” jelasnya. Deputi Bidang Pengarahan BP Tapera Ari Eko melanjutkan, dana Tapera akan dikumpulkan dari pekerja yang wajib dipotong gajinya (RMco.id, 8/06/2020).
Meskipun tujuannya agar pegawai bisa punya kesempatan memiliki rumah, kebijakan ini tetap menuai protes. Alasannya, di kondisi yang sedang susah dengan segala kenaikan iuran, potongan gaji untuk Tapera dianggap sangat memberatkan.
Sebagaimana yang diungkapkan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus. Ia berkata dengan adanya pungutan baru itu, pemerintah kembali menambah beban pada masyarakat dengan potongan iuran yang akan mengurangi pemasukan mereka. “Semua mengalami beban ekonomi berat karena menurunnya income dan daya beli. Pendapatan dari dunia usaha juga menurun. Iuran Tapera itu kan memberatkan,” ujarnya saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (Tirto.id,3/6/2020).
Perumahan adalah kebutuhan dasar, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan perumahan rakyat. Adanya Tapera yang mengambil iuran dari rakyat untuk pemenuhan kebutuhan perumahan, adalah merupakan bentuk lepas tangan negara. Pasalnya berdasarkan UUD 1945, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak tersebut seharusnya tidak diputar menjadi kewajiban ( Ketua umum KPBI Ilhamsyah, CNN Indonesia, 4/6/2020).
Negara tidak boleh lepas tangan atau mencari jalan lain untuk menghindari kewajiban ini. Negara harus menggunakan semua sumber daya yang dimilikinya, bukan saja untuk membuat rakyat memiliki hunian yang layak, pun demi meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup rakyat secara keseluruhan,
Namun sangatlah disayangkan hal ini kerap tak didapatkan dalam negara yang mengusung ideologi kapitalis. Negara kapitalis tidak memberikan jaminan apapun kepada rakyatnya. Karena tugas dan fungsi negara hanya sebagai wasit bagi rakyatnya. Negara baru bertindak, jika ada masalah. Karena masalah tersebut menimpa pihak yang lemah dan miskin, maka “jaminan” negara pun hanya diberikan kepada mereka, bukan untuk yang lain. Inilah filosofi jaminan dalam negara kapitalis saat ini. Jaminan diberikan sebagai bentuk tambal sulam dari kebobrokan sistem kapitalisme.
Hal seperti itu tidak akan kita temui didalam sistem Islam. Karena Islam sebagai agama yang sempurna, yang berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan telah memberikan solusi untuk setiap permasalahan kehidupan manusia berupa syariat Islam yang dibawa oleh Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang wajib diikuti oleh setiap insan.
Syariat Islam memiliki konsep yang berkaitan dengan jaminan tersedianya rumah/ hunian yang layak untuk masyarakat yang berlaku di setiap keadaan.
Secara syar’i, negara adalah pihak yang bertanggung jawab langsung dan menjamin pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat. Rumah harus layak (pantas dihuni oleh manusia), nyaman (memenuhi aspek kesehatan), harga terjangkau bahkan gratis, dan syar’i. Alasan apa pun tidak dibenarkan negara berperan sebagai regulator.
Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Al Bukhari). Negara juga tidak dibenarkan mengalihkan tanggung jawabnya kepada operator, baik kepada pengembang maupun bank-bank.
Adapun pembiayaan pembangunan perumahan berbasis baitulmal dan bersifat mutlak. Sumber-sumber pemasukan serta pintu-pintu pengeluarannya berdasarkan ketentuan syariah. Artinya tidak dibenarkan menggunakan konsep anggaran berbasis kinerja apa pun alasannya.
Negara juga tidak dibenarkan menerapkan konsep pembangunan dan pengadaan perumahan dengan konsep KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha). Karena, antara lain akan menghilangkan kewenangan negara yang begitu penting dalam fungsinya sebagai pelayan publik.
Rumah-rumah untuk masyarakat miskin juga bisa langsung dibangunkan oleh negara di atas lahan-lahan yang dimiliki negara. Bisa juga negara memberikan tanah miliknya secara gratis kepada masyarakat miskin untuk dibangun rumah.
Hal seperti ini dibenarkan syariat selama bertujuan untuk kemaslahatan kaum muslim. Di sisi lain, negara juga harus melarang penguasaan tanah oleh korporasi, karena hal itu akan menghalangi negara dalam proses penjaminan ketersediaan lahan untuk perumahan.
Negara juga harus secara langsung mengelola industri bahan bangunan yang bersumber dari bahan tambang berlimpah, untuk menghasilkan semen, besi, aluminium, tembaga, dan lain-lain menjadi bahan bangunan yang siap pakai. Dengan demikian masyarakat mudah mendapatkannya baik secara gratis maupun membeli dengan harga terjangkau (murah).
Hanya saja penting dicatat, penerapan konsep yang sahih ini hanya bisa terlaksana dalam sistem yang sahih, yaitu sistem Khilafah. Sehingga jelaslah penyelesaian persoalan perumahan saat ini. Hal tersebut merupakan perkara urgen yang harus disegerakan! Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara kafah, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 208)
Wallahu a’lam bishshowab.