Oleh : Nita Savitri,drg (Praktisi kesehatan, Pemerhati sosial)
Sudah tiga bulan negeri ini menghadapi pandemi Covid-19. Tak lepas media menyorot kasus per kasus yang membahas keberadaannya. Setiap hari terjadi penambahan kasus yang semakin melonjak. Terhitung per 31 Mei terdapat pasien positif bertambah 700 orang, total mencapai 26.473 pasien. Dalam sehari, jumlah pasien meninggal bertambah 40 menjadi 1.613 jiwa. Sedangkan, pasien COVID-19 yang sembuh bertambah 293 menjadi 7.308 orang (Kumparan.com,31/5/20).
Termasuk kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi. New Normal merupakan salah satunya. Konsep yang digagas dengan pernyataan hidup berdamai dengan virus selama belum diketemulan vaksin memang menuai pro dan kontra. Tetapi wacana ini akan diupayakan mendapat dukungan dari berbagai pihak. Seiring dengan peninjauan kesiapan new normal di Mal Summarecon, Bekasi, Selasa (26/5/2020), oleh Presiden Jokowi. Beliau menyatakan keinginannya agar Indonesia bisa segera memasuki fase normal baru.
Seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Rabu (20/5/2020), Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmita mengatakan, new normal adalah perubahan perilaku masyarakat untuk kembali menjalankan aktivitas normal. Namun, perubahan ini ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Penjagaan jarak, penggunaan masker ketika keluar rumah dan tetap menjaga higienis dengan rajin mencuci tangan sebelum menyentuh muka dan setelah keluar rumah.
Belajar dari Korea Selatan
Korea yang sebelumnya sudah mengalami penurunan penularan Covid-19, dan menerapkan new normal beberapa waktu yang lalu. Kini haris menelan pil pahit, dengan timbulnya dua kluster baru yang muncul di ibu kota negara Seoul. Per Sabtu (30/5/2020), Korsel mencatat 39 kasus baru, termasuk 27 transmisi lokal yang membuat jumlah kasus kini menjadi 11.441.( CNBC, 31/5/20). Meski perhitungan harian kemarin turun dari level tertinggi pada Kamis di mana ada 79 pasien baru, Korsel kini benar-benar waspada.
Apalagi, kluster muncul di kota terpadat penduduknya, di mana lebih dari 50 juta populasi ada di sana.lonjakan kasus baru dalam sebanyak 79 kasus yang menjadi angka harian tertinggi dalam dua bulan. Maka Korsel yang sebelumnya sudah optimis dengan membuka 200 lebih sekolah, perkantoran, taman, dan are publik lainnya hanya berselang sehari habis dibuka kini diputuskan ditutup kembali oleh Menteri Kesehatan Korsel Park Neung-hoo selama dua minggu, sampai 24 Juni.
Kebijakan Dipaksakan
Walau masih berupa wacana, namun kebijakan ini telah menuai kritikan dari berbagai tokoh. Salah satunya Fadli Zon yang menyatakan kebijakan pemerintah yang inkonsistensi terhadap masalah pandemi akan menimbulkan new disaster (bencana baru) bukan new normal. Bukan tanpa sebab jika pemerintah menggaungkan kebijakan new normal. Setelah bertarung selama kurang lebih tiga bulan menghadapi Covid-19, dengan penerapan PSBB yang berdampak memukul telak semua sektor, terutama perekonomian.
Maka new normal diharapkan bisa mengembalikan keterpurukan perekonomian. Walau dengan syarat memenuhi protokol kesehatan, dan gambling keadaan virus dan masyarakat yang belum memenuhi syarat.
Setidaknya ada tiga indikator yang menjadikan syarat suatu wilayah bisa diterapkan new normal. Indikator tersebut adalah tingkat penularan corona di suatu wilayah atau reproductive number (RO), jumlah test atau surveillance, dan kesiapan sistem kesehatan. Mengutip pendapat ahli dari Bonza yang menyatakan sampai hari ini belum ada wilayah yang bisa mencapai tingkat penularan di bawah 1 secara stabil, masih naik-turun. Juga adanya pelaksanaan jumlah test yang tidak sama per wilayah karena terbatasnya alat. Sementara untuk kesiapan sistem kesehatan , hanya DKI Jakarta yang bisa mewakili.
Maka sangat disayangkan jika penerapannya sudah dijadwalkan segera. Menurut Menteri Perdagangan awal Juni sudah mulai dibuka sektor perekonomian secara bertahap. Jikalau alasan penyelamatan ekonomi yang dikejar dan adanya trend global yang sedang menggencarkan program ini, setelah tiga bulan lumpuh karena Covid-19. Maka sudah nampak nyata, kepentingan mana yang lebih diutamakan yaitu kapitalis dengan mengikuti segala kebijakan yang diterapkan oleh negara adidaya. Para pemegang kebijakan negeri ini merasa harus meniru kebijakan tersebut setelah merasa kelimpungan ketika roda ekonomi yang mayoritas dipegang pengusaha swasta mengalami mati suri. Produksi turun drastis dan terjadinya PHK besar-besaran karena ketidaksanggupan membayar gaji pegawai yang dirumahkan walau hanya setingkat UMR. Pandemi covid-19 memang luar biasa. Hampir semua negara di dunia kewalahan menghadapinya, sehingga secara global, dunia mengalami hal serupa.
Sehingga apabila ekonomi sudah mulai berjalan kembali, dengan rentannya penularan Covid-19, maka negara memperoleh dua keuntungan yaitu bergeraknya kembali perekonomian, dan masyarakat diharapkan lebih mampu menghidupi dirinya, sehingga mengurangi beban negara dalam memberi jaminan sosial dibanding kebijakan pembatasan yang menyuruh mereka diam di rumah. Walau tantangan penularan Covid-19 masih merajalela. Negara hanya melindungi dari sepaket aturan yang dibuat berupa protokol kesehatan dengan bantuan aparat keamanan yang mengawasi dan memberi sanksi.
Bagaimana Solusi Islam?
Berbeda dengan sistem Islam yang mandiri, tidak bisa didikte oleh negara lain. Negara menerapkan seluruh sistem kehidupan, baik dari ekonomi, pendidikan, sosial, politik berdasarkan syariat Islam. Tidak hanya berfungsi penerap aturan tapi negara juga berfungsi sebagai pengurus (Raa’in) dan pelindung/perisai bagi rakyat. Melindungi ibarat ibu terhadap anaknya, tanpa ada perhitungan untung-rugi.
Islam sebagai sistem/aturan yang sempurna telah memberi contoh dalam penanganan wabah. Kebijakan karantina wilayah sebagai solusi tuntas penanganan wabah dengan menutup rapat wilayah yang menjadi episentrum/pusat wabah, mengisolasi orang yang sakit dari keramaian/interaksi dengan orang sehat dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat selama pandemi. Kebutuhan pokok seluruh rakyat dipenuhi dari sumber dana baitul mal. Lembaga kas negara yang mengelola pendapatan dan pengeluaran negara. Pendapatan yang melimpah yang salah satu sumbernya berasal dari harta milik umum yang dikelola secara mandiri ( kekayaan tambang, air, mineral), bukan milik swasta bahkan negara asing. Hal ini telah dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam ketika menjadi pemimpin negara Madinah. Beliau bersabda :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِح
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Ketika orang yang sakit telah diisolasi dari yang sehat, maka hal ini tidak mengganggu aktifitas orang yang sehat. Tidak ada kekhawatiran tertular.
Teladan dari sahabat Umar bin Khattab juga didapatkan ketika terjadi wabah kekeringan di Madinah, beliau memasok kebutuhan pangan rakyat tanpa terkecuali. Meminta para gubernur untuk memberi bantuan pangan ke Madinah. Dalam sistem Islam, adanya penjagaan satu nyawa sangatlah diutamakan dari dunia dan isinya seperti tertuang dalam QS.Al-Maidah : 32
مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَیۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادࣲ فِی ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِیعࣰا وَمَنۡ أَحۡیَاهَا فَكَأَنَّمَاۤ أَحۡیَا ٱلنَّاسَ جَمِیعࣰاۚ
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Maka wajar negara akan melindungi nyawa setiap warganya dari bahaya yang mengancam seperti pandemi dengan menetapkan kebijakan yang mengutamakan keselamatan jiwa warganya. Demikianlah Islam memberikan aturan untuk menjadikan rahmat bagi seluruh manusia, tidak terkecuali muslim-non muslim, miskin dan kaya semua diperhatikan dengan keadilan yang sempurna.
Wallahu’alaam bishawwab