Tanggungjawab Pemerintah dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Isna Yuli (Lingkar Studi Perempuan dan peradaban)

 

Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) RI menyampaikan bahwa pelaksanaan ibadah haji 1442 Hijriah/2021 Masehi dibatalkan. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring pada Kamis (3/6/2021).

“Menetapkan pembatalan keberangkatan jemaah haji pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 Hijriah atau 2021 Masehi bagi warga negara Indonesia yang menggunakan kuota haji Indonesia dan kuota haji lainnya,” kata Yaqut. Kompas.com (04/06).

Pemerintah beralasan bahwa faktor keselamatan jamaah di masa pandemi menjadi salah satu alasan kuat mengapa pemerintah membatalkan keberangkatan jamaah haji. Tahun ini merupakan pembatalan kedua karena pendemi. Tentunya pembatalan ini memiliki efek domino yang dirasakan oleh calon jamaah haji. Yang pertama terkait menejemen pengelolaan jamaah, karena dengan pembatalan kedua kalinya ini antrian dan daftar tunggu keberangkatan semakin panjang dan lama lagi. Yang kedua terkait dana haji, tentunya dana jamaah akan semakin menumpuk dari awal penyetoran dengan lamanya daftar tunggu jamaah berangkat.

Menanggapi hal ini, perlu kita fahami bersama bahwa permaslahan haji sudah seharusnya menjadi tanggungjawab penuh pemerintah. Pertama, regulasi penanganan haji harus mengedepankan kemudahan keberangkatan serta prinsip pelayanan sesuai syariah Islam. Negara harus memiliki satu departemen khusus yang mengurus haji dan umroh untuk mengurusi segala keperluan tentang haji dan umroh serta keberangkatannya.

Departemen ini menjalankan tanggung jawabnya dengan berkoordinasi bersama departemen kesehatan dan perhubungan.

Kedua, dalam hukum syariah Islam, ibadah haji hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup, dan itu hanya berlaku bagi yang mampu saja. Dengan demikian, pemerintah seharusnya memiliki database kependudukan yang detail. Hal ini penting dikarenakan pemerintah harus mendahulukan jamaah yang sudah mampu berangkat baik secara finansial maupun fisik dari yang sudah pernah berangkat ke tanah suci. Prosedur ini juga diberlakukan bagi jamaah umroh.

Ketiga, besarnya ongkos naik haji disesuaikan dengan jarak tempat tinggal calon jamaah dengan tanah haram, termasuk akomodasi selama melakukan perjalanan. Penetapan ongkos ini berdasarkan paradigma syariah Islam. Bukan berdasar bisnis dan bukan disusun dalam rangka investasi atau semacamnya. Artinya ongkos naik haji atau umroh semata-mata dihitung berdasarkan berapa kebutuhan yang dibutuhkan oleh jamaah. Agar tidak terjadi pengendapan dana haji, maka pemerintah perlu mengatur pendaftaran haji berdasarkan kuota yang diberikan Negara Saudi, hanya orang yang benar-benar siap, mampu dan belum pernah haji yang didahulukan, sedangkan penyetoran dana haji juga tidak membutuhkan jarak yang lama antara penyetoran dana dengan pemberangkatan. Jadi tidak terjadi antrian hingga puluhan tahun.

Dalam peradaban Islam ada banyak kemudahan yang dilakukan pemerintah bagi jamaah haji, yaitu dengan mengedepankan kemudahan keberangkatan. Dalam sejarahnya, Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1900 membangun jalur kereta api Hejaz untuk memudahkan bagi jemaah haji saat menuju Mekkah. Sebelumnya, mereka melakukan perjalanan selama berminggu-minggu, dan bahkan berbulan-bulan, dengan menunggangi unta. Jika dengan menunggangi unta, dari Damaskus menuju Madinah, dapat menghabiskan waktu hingga 40 hari, sehingga banyak peziarah di masa itu yang meninggal dunia dalam perjalanan di padang pasir yang kering. Sebaliknya, kehadiran jalur kereta api Hejaz itu dapat memperpendek perjalanan dari 40 hari menjadi lima hari.

Pemerintah saat ini seharusnya juga mampu memiliki transportasi khusus untuk jamaah haji, beserta penginapan selama perjalanannya, sehingga hal ini akan memperkecil biaya akomodasi dan perjalanan haji.

Dari polemik pembatalan haji tahun ini, maka perlu diingat bahwa kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, olehkarenanya diprioritaskan bagi yang belum pernah sama sekali. Peran negara dalam mendaftar siapa yang sudah atau belum pernah berangkat haji sangat dibutuhkan. Pemerintah sebagai penyelenggara haji yang diamanahi oleh rakyat untuk pemberangkatan dan pengelolaan dana haji, sudah seharusnya menjalankan amanahnya tanpa menyalahinya.

Wallahu a’lam bishowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *