Tambang Dikeruk, Rakyat Dapat Apa?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tambang Dikeruk, Rakyat Dapat Apa?

 Eva Izzatul Jannah
Pegiat Literasi

 

Bumi Anoa merupakan salah satu provinsi yang melimpah sumber daya alamnya. Banyak perusahaan tambang yang mengeksplorasi dan mengeksploitasinya. Namun, pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan untuk mengambil alih seluruh perizinan pertambangan. Alhasil, daerah lokasi tambang tidak mendapatkan apa-apa. Itulah realita yang terjadi di Sultra sebagai daerah penghasil tambang nikel. Hal itu pun membuat Gubernur Sultra menjadi resah. Kehadiran sejumlah perusahaan tambang di wilayah pemerintahannya, baik daerah maupun masyarakat tidak mendapatkan royalti dan kontribusi positif. (beritakotakendari.fajar.co.id, 7\3\2023)

Sementara itu, perusahaan tambang tersebut meraup keuntungan yang banyak. Namun, hal tersebut belum berbanding lurus dengan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal, semua kegiatan dan hasil pertambangan dikatakan akan selalu memperhatikan dan diberlakukan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, daerah, dan negara.

Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk mengatur penguasaan negara atas kekayaan alam yang dimiliki, maka terdapat UU Nomor 11 Tahun 1967 yang diamandemen oleh UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Salah satu inti pokok UU Minerba adalah dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah. Sehingga, ada peran pemerintah daerah selaku pemilik wilayah di samping pemerintah pusat yang akan melakukan pengelolaan pertambangan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan desentralisasi.

Swastanisasi Tambang, Rakyat Dapat Apa!

Menyikapi hal tersebut, Ali Mazi mengaku akan mengundang Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Sultra untuk membahas masalah pertambangan tersebut. Pasalnya, tambang adalah potensi sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Sultra. Semestinya dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, nyatanya kekayaan alam di sektor pertambangan hanya dinikmati oleh para investor swasta, asing maupun aseng. Sungguh pengelolaan dan kebijakan yang tidak berpihak pada hajat hidup orang banyak.

Meskipun negeri ini memiliki kekayaan tambang yang melimpah, ternyata tidak berbanding lurus dengan taraf kesejahteraan masyarakatnya. Mayoritas rakyat masih kesulitan memenuhi kebutuhan mereka. Kehidupan pun makin terasa sulit tatkala harga kebutuhan pokok naik, banyak PHK, hingga pelayanan publik yang belum diberkan secara maksimal.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian masih mengungguli sektor pertambangan dalam penyumbang Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Padahal, Tambang seringkali diklaim mampu menyejahterakan masyarakat. Sebab, dapat menambah pendapatan sektor pajak dan mengurangi pengangguran.

Faktanya, hanya menguntungkan korporasi dan tidak mampu memperbaiki keadaan perekonomian masyarakat di Sultra. Selain itu, masyarakat akan menanggung kerusakan alam, hasil panen pertanian tidak maksimal bahkan gagal, pencemaran air sungai dan laut, penggundulan hutan, ditambah lagi bahaya aspek sosial budaya asing yang masuk. Selain itu, udara tidak bisa bersih akibat efek dari bahan bakar yang terus mengepul, tanah berdebu yang terlewati truk-truk besar. Sungguh, kompleks nestapa yang diperoleh rakyat dari kegiatan penambangan itu.

Kapitalisme Biangnya

Salah satu prinsip pengelolaan kekayaan alam ala kapitalisme berupa swastanisasi. Sistem ini yang mengagungkan kebebasan kepemilikan. Sehingga, mampu menggeser peran negara untuk mengelola SDA. Membolehkan seseorang memiliki usaha apa pun, termasuk tambang. Negara hanya sebagai regulator dan fasilitator.

Kebebasan kepemilikan ini tidak dibatasi oleh apa pun. Tatkala pengusaha mampu mengelola tambang tersebut, negara akan memberi akses “karpet merah” dan memberikan sambutan dengan tangan terbuka. Demi keuntungan royalti belasan persen, mereka membiarkan rakyat terzalimi.

Hal ini terjadi karena kapitalisme berorientasi pada materi. Demi materi/kekayaan, mereka akan melakukan apa saja, termasuk mengeruk sumber daya alam daerah. Begitulah kesalahan pengelolaan tambang pada sistem kapitalis-sekuler. Memposisikan para korporasi menguasai kekayaan alam dengan sangat leluasa.

Pengelolaan Tambang dalam Islam

Islam merupakan sistem aturan yang paripurna. Tidak hanya mengatur masalah ibadah, pakaian, makanan dan akhlak, Islam juga mengatur pengelolaan tambang sebagai sumber daya alam negara. Rasulullah saw. bersabda,

“Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah)

Ada pula riwayat lain yang menyebutkan, Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut menceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk mengelola sebuah tambang garam. Kemudian Rasul saw. membolehkannya. Namun, Beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Kemudian Rasul saw. bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR At-Tirmidzi)

Berdasarkan riwayat ini, kita mengetahui bahwa segala bentuk tambang yang jumlahnya banyak dan menyangkut kebutuhan rakyat tidak boleh diambil alih individu ataupun swasta. Barang tambang ini meliputi garam, batu bara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas, dan sebagainya.

Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, yang dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72—73), mengatakan,

“Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”

Oleh karena itu, sektor pertambangan yang jumlahnya melimpah termasuk kepemilikan umum yang haram hukumnya dikuasai individu, swasta apalagi asing dan aseng. Negara wajib menguasai dan mengelola SDA untuk kesejahteraan masyarakat . Sumber pendapatan dari SDA akan digunakan negara untuk membiayai kebutuhan rakyat seperti infrastruktur jalan, kesehatan, pendidikan, transportasi, telekominiasi, dll. Sehingga, kesejahteraan rakyat terwujud dengan pengusaan negara terhadap sumber daya alam dimilikinya.

Wallahualam bissawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *