Oleh : Tita Rahayu Sulaeman (Pengemban Dakwah)
Pemerintah Indonesia berencana mengembangkan kawasan Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi kawasan wisata premium. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menilai, kehadiran komodo menjadi nilai jual karena hanya satu-satunya di dunia. Meski mengakui proyek ini bersifat komersil, namun ia menampik anggapan bahwa proyek pengembangan kawasan wisata ini akan merusak habitat komodo. Menurutnya, komersialisasi dilakukan karena pemerintah mau merawat komodo dan kehidupannya tetap terpelihara (CNN Indonesia 27/11).
Pengembangan kawasan wisata Taman Nasional Komodo dilakukan demi mendatangkan devisa bagi negara. Selama ini sektor pariwisata hanya mengandalkan Bali sebagai sumber utama devisa. Danau Toba, Candi Borobudur, Labuan Bajo dan Mandalika serta kawasan Taman Nasional Komodo adalah empat kawasan wisata yang rencananya akan dikembangkan. Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada rapat DPR-MPR tahun 2018 lalu.
Masyarakat lokal beserta aktivis lingkungan sama-sama menentang pengembangan kawasan wisata Taman Nasional Komodo. Dalam sebuah wawancara, Aloysuis Suhartim Karya, Ketua Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp) menilai, pembangunan kawasan Taman Nasional Komodo hanya akan membuat komodo stres di habitatnya sendiri. Menurutnya, komodo sebagaimana hewan liar lainnya tidak menyukai keramaian (vice.com 28/10). Penentangan masyarakat lokal dan para aktivis lingkungan ternyata tak mengendurkan ambisi para penguasa negeri.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, individu atau perusahaan dibolehkan memiliki atau mengelola sumber kekayaan alam sebuah negara. Akibatnya, kekayaan alam sebuah negara terus dikeruk hanya untuk keuntungan pribadi maupun perusahaan. Sementara negara terus berusaha menambah pendapatan negara dari berbagai sektor. Padahal jika dikelola dengan baik, kekayaan alam indonesia sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan asasi rakyat Indonesia. Eksploitasi kawasan dilindungi tak perlu dilakukan.
Sangat berbeda dengan peraturan islam dalam mengelola kekayaan sumber daya alam. Dalam islam, individu atau kelompok tidak boleh memiliki sumber daya alam negara. Negara-lah yang mengelola kekayaan alam, untuk kemudian dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
Allah SWT melarang manusia melakukan eksploitasi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.
[al-A’râf/7:56]
Pemimpin yang menjadikan aqidah islam sebagai landasan dalam mengatur negara tentu tidak akan menyepelekan perintah dan larangan Allah SWT. Setiap keputusannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak. Pemimpin seperti ini tidak akan didapati dalam pemerintahan kapitalis sekuler.
Allah SWT telah menyediakan segala hal yang dibutuhkan manusia di bumi ini. Namun inilah yang terjadi ketika manusia hidup tanpa aturan dari Allah SWT sebagai pencipta. Kerusakan alam telah nampak di seluruh penjuru bumi. Tapi manusia semakin menunjukan ketamakannya. Segala yang dilakukan sah di mata hukum yang mereka buat sendiri untuk kepentingannya.
“Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS al-Baqarah:11-12)
Permasalahan di Taman Nasional Komodo adalah satu dari banyaknya permasalahan yang bersumber dari akar yang sama. Yakni telah dicampakannya hukum Allah SWT oleh manusia dalam kehidupannya. Sudah sepantasnya umat menyadari rusaknya sistem kapitalis sekuler dalam mengelola negara. Hanya dengan kembali pada hukum islam secara kaffah, kerusakan di muka bumi ini bisa dihentikan.
Wallahu’alam bishawab.