Tak Cukup Hanya Belajar Agama, Tanpa Bukti Nyata

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Mi’ratul Lailiyah, A. Md (Aktivis Dakwah)

 

Penghilangan frasa kata agama dalam peta jalan kurikulum pendidikan 2020 – 2035 dinyatakan hanya salah paham oleh Mendikbud Nadiem Makarim, saat rapat kerja dengan Komisi X DPR pada Rabu 10 Maret 2021 lalu. Pernyataan-pernyataan Nadiem, seputar kurikulum pendidikan nasional Indonesia yang diliput oleh kumparanNews.com  menjelaskan bahwa tak pernah ada rencana untuk menghilangkan pelajaran agama akibat penghilangan frasa kata agama itu, sehingga Kemendikbud akan menerima masukan masyarakat soal frasa agama yang harus masuk di peta jalan pendidikan.

“Dan kalau misalnya dari aspirasi masyarakat, bahwa kata agama itu yang penting dalam frasa itu, ya kita silakan masuk di dalam peta jalan, jadi enggak masalah” ucap Nadiem.

Selebihnya, Nadiem pun menyatakan bahwa agama dan Pancasila tidak mungkin akan dihilangkan sebagai hal esensial.

“Agama dan Pancasila itu bukan hanya penting, tapi esensial bagi pendidikan bangsa kita. Peta Jalan Pendidikan pun dirancang dengan ekosistem pendidikan yang menghasilkan anak-anak Indonesia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, ” tegas Nadiem.

Namun demikian, meski pendidikan agama masih tetap dimasukkan dalam peta jalur pendidikan, suara teriakan kritik koreksi masyarakat sepertinya tidak bisa untuk berhenti. Sebab ada unsur sekularisme berbahaya yang jelas akan ditambahkan dalam dunia pendidikan, sesuai dengan pernyataan-pernyataan Nadiem.

“Jadi enggak perlu panik, enggak perlu menciptakan polemik, kita terbuka dan enggak ada, kita kira beriman bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, malah itu satu level lebih tinggi lagi dari esensi keagamaan,” kata Nadiem ( kumparanNews. com 10/3/21)

Negara Sekuler

Suatu negara yang menganggap bahwa pernyataan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berlevel lebih tinggi dibandingkan faktor keagamaan lain yang harus benar-benar dijalankan merupakan unsur sekularisme munafik yang hanya mengakui keberadaan Tuhan tanpa mau untuk menaati penuh segala perintah keagamaan yang Dia ciptakan.

Itu sebabnya, ketika semua materi ilmu pendidikan agama sudah dipelajari mendalam bersama para guru ahli di bangku sekolah, justru dicampuri dengan materi pelajaran lain yang bertolak belakang. Seperti ilmu agama Islam yang berusaha membentuk karakter jujur dalam kehidupan ekonomi perdagangan dengan pembahasan dalil materi halal berjual beli, namun haram bertransaksi riba, pada faktanya diikuti dengan pembahasan materi pelajaran seputar ekonomi perbankan yang mengandung nilai bunga kredit pinjaman.

Lebih dari itu, ketika ilmu-ilmu agama Islam yang sudah dipelajari memerlukan area praktikum kerja nyata dalam kehidupan sehari-hari, ternyata justru dibatasi atau tidak mendapatkan dukungan penuh untuk diaplikasikan dari tiang negeri ini. Sebagaimana para wisudawan negara yang sudah mulai menginjak dunia kerja, kredit peminjaman berbunga lebih diizinkan oleh negeri ini untuk ditawarkan pada mereka sebagai modal usaha, bukan ilmu ekonomi Islam yang telah mereka pelajari untuk menciptakan dunia usaha yang jujur dan adil.

Karenanya, impian peta jalan pendidikan untuk menghasilkan anak-anak Indonesia yang beriman dan bertakwa serta kesejahteraan hidup rakyat dari rahmat Tuhan Yang Maha Esa, tidak akan pernah bisa tercapai selama ajaran keagamaan Tuhan tidak mendapatkan dukungan utama untuk diaplikasikan.

Segala Ada Dalam KendaliNya

Dunia ini ciptaanNya, yang Dia isi dan kendalikan sesuai kehendakNya. Siapa pun yang mengikuti ajaran petunjuk dariNya, tentu tidak akan jatuh dalam lubang kesesatan yang berbahaya. Namun justru akan terus mendapat aliran berkah kesejahteraan hidup dariNya.

Tidak heran, khilafah Islam yang awal berdirinya hanya suatu negeri kecil di ujung tanah Madinah, terbukti mampu mengalahkan berbagai serangan berbahaya kaum kafir Quraisy dan berkembang pesat, meluas ke atas 2/3 area dunia selama 14 abad, melahirkan para ilmuwan bertakwa yang mampu menghasilkan ilmu penelitian bermanfaat hingga saat ini.

Semuanya adalah wujud pengakuan keimanan negeri khilafah yang saat itu tidak hanya cukup dengan memberi pelajaran kepada para penduduknya mengenai ilmu keagamaan Allah swt, sang Pencipta alam semesta. Namun juga menunjukkan nilai kepercayaan iman itu dengan mendukung semua ajaran ilmu agama Islam untuk dijalankan, sehingga penduduk negeri khilafah dapat menjadi sosok berakhlak mulia

di dunia dan berpahala tinggi di hadapanNya.

Karena itu, kita tidak mungkin hanya cukup berteriak kritik meminta frasa agama dimasukkan dalam peta jalur pendidikan. Kemudian diam saat bahaya sekulerisme sudah jelas menyerang pemikiran para anak generasi kita, dan membuat mereka jauh melupakan ilmu agama sebagai jalur pertanggung jawaban segala amal perbuatan  dihadapan Tuhan. Sebab ketika para manusia menjalankan ilmu pengetahuan duniawinya pun, standar penilaian dari Tuhan tetap berlaku. Seperti apabila para pelajar diajarkan ilmu matematika dan menggunakannya sebagai bekal perhitungan keuangan riba, maka tentu dosa yang akan dia terima dan membuat perekonomian rakyat yang ditagihnya makin hancur sengsara. Berbeda saat ilmu matematika itu ia gunakan untuk menghitung jumlah dan penyebaran zakat, sedekah pada kaum dhu’afa, maka pasti pahala dari Allah swt yang akan diraihnya dan membuat ketidakmampuan masyarakat menjadi terangkat.

Maka sudah tentu kita harus segera bangkit menyingkirkan sekulerisme itu, untuk menyelamatkan anak generasi kita dari kesesatan akar pendidikan sekuler agar akal pemikiran mereka bersih, jernih, hanya diisi dengan ilmu kebenaran, baik kebenaran ilmu agama hasil susunan Tuhan Yang Maha Tahu segalanya, maupun ilmu pengetahuan umum lainnya yang tidak menyesatkan. Kemudian hasil semua ilmu kebenaran itu benar-benar dapat diwujudkan untuk mengubah kondisi kehidupan yang terpuruk menjadi lebih sejuk.

Wallahu’alam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *