Tak Ada Gawai Hingga Susah Sinyal, Belajar Daring Terancam Gagal

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Widarningsih Pamungkas (Mentor Komunitas Hijrah Klaten )

Salut ! Dimas Ibnu Elias, pelajar SMP asal Rembang, Jawa Tengah ini tetap semangat belajar di sekolah meski sendirian, padahal teman-temannya melakukan kegiatan belajar di rumah ( BDR ). Bukan tanpa sebab, Dimas tidak melakukan belajar daring karena ketiadaan gawai atau ponsel pintar sebagai syarat utama belajar daring (detik.com 23/7).

Pandemi Covid-19 menyebabkan kegiatan belajar mengajar yang biasanya dilakukan tatap muka menjadi kegiatan belajar dalam jaringan atau online. Hal ini pun menorehkan banyak cerita. Semangat Dimas hanyalah salah satu contoh.

Di daerah perbatasan pegunungan Sumowono, Semarang-Temanggung,Jawa Tengah, para pelajar bahkan harus berjalan kurang lebih 1 kilometer dari desa untuk mendapatkan sinyal, karena tempat tinggal mereka yang berada di balik pegunungan (Media Indonesia, 24/7).

Sementara kisah memilukan datang dari para pelajar yang tinggal di daerah terpencil. Salah satu nya adalah kampung Todang Ili Gai, desa Hokor, kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur yang terisolir dari kemajuan teknologi. Selama pandemi sekolah diliburkan, Pemkab Sikka mengeluarkan kebijakan belajar melalui radio bagi pelajar SD dan SMP. Sayangnya, kebijakan ini tidak berjalan karena keterbatasan ekonomi yang membuat para orang tua tidak mampu membeli radio ( Merdeka.com 26/7).

Belajar Daring Menemui Kendala

Sejak akhir Maret lalu, puluhan juta siswa di Indonesia melaksanakan kegiatan belajar mengajar secara daring. Gagasan ini cemerlang, namun bila melihat pemaparan fakta di atas bisa dikatakan bahwa proses belajar daring menemui banyak kendala.

Pertama, kepemilikan ponsel pintar sebagai syarat utama belajar daring. Faktanya tidak semua murid atau wali murid memiliki smartphone. Kalaupun memiliki, mereka mengeluhkan jebol nya biaya pembelian kuota internet yang tentu menambah beban ekonomi keluarga, apalagi bagi keluarga berpenghasilan pas-pasan.
Kedua, faktor geografis tempat tinggal siswa, seperti di balik perbukitan/pegunungan yang menyebabkan kawasan nya susah sinyal.

Ketiga, pembangunan sarana telekomunikasi yang belum merata. Sungguh, pandemi covid-19 telah menyingkap ketimpangan pembangunan di negeri ini. Semakin jauh suatu wilayah dari pulau Jawa sebagai pusat pembangunan, semakin sulit akses internet didapatkan. Dilansir dari asumsi.co pada 12 Mei 2020, di Jawa Timur, 40% responden menyatakan anak mereka dapat mengakses pembelajaran daring. Angka ini merosot di NTB, di mana pembelajaran daring kurang dari 10%, dan menurun lagi di NTT (hanya 5%).

Berbagai Kendala ini bila tidak segera ditangani, maka proses pendidikan bisa terancam gagal.

Ancaman kegagalan pembelajaran dengan sistem daring ini juga tidak lepas dari efek pembangunan yang bercorak liberal, dimana pihak swasta lebih banyak bermain, serta lebih diuntungkan sehingga membuat pembangunan di negeri ini kurang tepat sasaran. Pembangunan infrastruktur yang terkesan jor-joran, sebagai contoh yaitu pembangunan tol, tidak memberi daya dukung atau manfaat bagi pemenuhan kebutuhan mendasar rakyat, seperti Pendidikan. Pembangunan yang terjadi lebih dirasakan manfaatnya bagi para pengusaha atau pemilik modal. Dan kurang bermanfaat bagi rakyat kecil.

Padahal, saat ini pembelajaran via online menuntut sarana telekomunikasi yang mumpuni. Namun, karena pembangunan yang salah sasaran, sekarang kita melihat, hak belajar generasi penerus bangsa pun terampas.

Menggagas solusi demi kelancaran belajar daring

Pendidikan merupakan kunci sukses kemajuan sebuah bangsa. Maka dari itu, sedari sekarang Pemerintah harus menggagas solusi untuk problem belajar daring.

Adapun beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah saat ini, yaitu
Pertama, memberikan ponsel pintar secara gratis bagi para pelajar yang belum memiliki.

Kedua, memberikan subsidi kuota internet sehingga tidak menambah beban ekonomi keluarga.
Ketiga, pemerataan pembangunan sarana telekomunikasi sehingga tidak lagi ditemukan daerah terisolir dari kemajuan teknologi telekomunikasi, termasuk pula membangun jaringan internet hingga ke pelosok negeri. Sehingga mereka yang berada di pegunungan atau perbukitan, bisa mendapatkan sinyal dengan mudah.

Oleh karena itu pemerintah harus memangkas anggaran pembangunan infrastruktur ke proyek pendidikan daring ini. Bila kita lihat, sesungguhnya banyak proyek infrastruktur yang dibangun saat ini kurang tepat sasaran. Karena rakyat kecil kurang bisa merasakan manfaat nya secara langsung.

Negara Harus Bebenah!

Membangun sarana pendidikan sebagai upaya mendapatkan ilmu merupakan kewajiban bagi penguasa untuk menyediakan nya secara gratis dan berkualitas.

Di masa Khilafah Islamiyah yang menerapkan hukum Islam, para khalifah menjadikan dunia pendidikan sebagai fokus utama pembangunan. Karena mereka menyadari bahwa pendidikan menjadi salah satu kunci sukses kemajuan peradaban. Maka, berbagai lembaga pendidikan dibangun lengkap dengan sarana dan prasarananya. Semua disediakan gratis bagi umat. Sehingga tiada kesulitan bagi rakyat untuk menuntut ilmu.

Sementara, pembangunan pendidikan ala sistem kapitalis liberal tidak akan pernah berpihak pada rakyat. Kebutuhan rakyat adalah prioritas nomor sekian. Hal ini berbeda dengan sistem Islam, kebutuhan pokok rakyat seperti hal nya Pendidikan adalah prioritas utama penguasa. Karena prinsip sistem Islam adalah melayani kebutuhan umat.

Masa keemasan pendidikan itu bisa terulang kembali dengan mencampakan sistem kapitalis liberal yang saat ini mencengkeram bumi pertiwi bahkan dunia. Saat nya kembali pada sistem Islam yang dengan sempurna mengatur setiap lini kehidupan.

Wallahu’allam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *