Oleh: Neng Ranie SN (Aktivis Muslimah)
Melonjaknya tagihan listrik PLN yang tidak wajar di bulan ketiga wabah Covid-19 atau pada Mei, membuat perusahaan listrik milik negara itu dibanjiri keluhan. Kenaikan tagihan listrik tersebut bervariasi antara 50% sampai 200%. Hingga saat ini tercatat 65.786 pengaduan yang diterima PLN. Jumlah pengaduan paling banyak berasal dari tiga wilayah, yaitu DKI Jakarta, Bandung, dan Surabaya. (kumparan, 11/06/2020)
Hal ini, memunculkan dugaan bahwa PLN telah menaikkan tarif tenaga listrik (TTL) secara diam-diam atau memberi subsidi silang untuk pengguna daya 450 VA dan 900 VA. Sebab mereka merasa pemakaian listriknya masih sama seperti bulan sebelumnya, bahkan yang mengherankan ada rumah orang tua warga yang kosong juga mengalami kenaikan.
Merespons hal itu, PLN secara resmi angkat suara. PLN membantah telah menaikkan listrik selama masa pandemik. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Bob Saril mengatakan, bahwa kenaikan tagihan listrik Juni utamanya diakibatkan oleh dua hal, yakni kenaikan konsumsi listrik selama periode kerja dari rumah atau work from home (WFH) dan penghitungan tagihan listrik secara rata-rata. Ia juga membantah tuduhan adanya subsidi silang untuk pelanggan 450 VA maupun 900 VA. Sebab, terkait kebijakan stimulus Covid-19 dan menaikkan tarif adalah kewenangan Pemerintah bukan PLN atau BUMN. (kompas.com, 10/06/2020)
Di tengah berbagai kesulitan yang melanda rakyat akibat pandemi, lonjakan tagihan listrik turut menambah beban kesulitan rakyat. Kondisi ini semakin berat, di tengah impitan ekonomi yang semakin sulit. Namun mirisnya, respons pemerintah terkait aduan ini terkesan abai. Pemerintah menganggap kenaikan tagihan listrik adalah hal yang wajar, karena selama pandemi orang lebih banyak di rumah, sehingga penggunaan pun pasti meningkat dari biasanya. Lantas, jika pemerintah saja abai, ke mana lagi rakyat harus mengadu?
Jika diperhatikan, selama pandemi pemerintah kerap kali mengeluarkan kebijakan tak berpihak pada rakyat. Tak hanya membiarkan sendiri rakyatnya melawan Corona, pemerintah pun terus mencekik rakyat dengan berbagai iuran dan pajak. Menaikkan iuran BPJS, dan kini meroketnya tagihan listrik.
Hal ini, tidak terlepas dari buah penerapan sistem ekonomi kapitalisme-neoliberalisme yang mencengkeram negeri ini. Sistem tersebut menyebabkan liberalisasi pada tata kelola listrik, baik sumber energi primer maupun layanan listrik. Pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator saja, sementara pengelolaan diserahkan pada mekanisme bisnis.
Liberalisasi ini diperkuat dengan UU No. 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan. Dilakukan unbundling vertikal (pemecahan secara fungsi, yaitu fungsi pembangkit, transmisi dan distribusi). Dengan demikian pembangkit, transmisi dan distribusi hingga ritel/ penjualan ke konsumen dapat dilakukan sepenuhnya oleh swasta. Meski saat ini PLN berstatus perusahaan listrik negara, akibat unbundling semua fungsi dilakukan secara komersial.
Sistem Islam: Listrik Murah dan Berkualitas
Islam adalah solusi semua problematika umat. Islam memiliki aturan yang paripurna, karena mengadopsi sistem yang berasal dari Allah subhanahuwata’ala, pencipta manusia dan alam semesta. Konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam dibagi secara jelas: kepemilikan individu (Al-Milikiyyah Al-Fardiyyah), kepemilikan umum (al-Milikiyyah al-Ammah), kepemilikan Negara (Milikiyyah al-Dawlah).
Dalam pandangan Islam, listrik terkategori kepemilikan umum, dilihat dari dua aspek:
Pertama, listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori ’api (energi)’ yang merupakan milik umum. Termasuk di dalamnya berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya. Sebagaimana hadis Rasulullah saw.,
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi).” [HR Ahmad].
Kedua, sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PLN sebagian besar berasal dari barang tambang yang cadangannya besar seperti migas dan batu bara. Hal ini pernah dicontohkan Rasulullah saw.,
Abyadh bin Hammal ra. bercerita: “Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.” Kemudian Rasulullah menarik pemberiannya dari Abyadh bin Hammal.” [HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban].
Riwayat ini berkaitan dengan tambang garam, bukan garam itu sendiri. Awalnya Rasul saw. memberikan tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, ketika beliau diberi tahu bahwa tambang itu seperti “laksana air yang terus mengalir”, maka Rasulullah menariknya kembali dari Abyadh. “Laksana air yang terus mengalir” artinya adalah cadangannya besar sekali. Sehingga menjadi milik umum.
Oleh sebab itu, hukumnya haram apabila pengelolaan diserahkan pada pihak asing maupun swasta apa pun alasannya. Negara bertanggungjawab dan juga berupaya, agar setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya. Negara akan memberikan listrik yang berkualitas dengan harga murah, bahkan gratis (jika memungkinkan). Jumlah yang mencukupi kebutuhan dan juga pelayanan yang maksimal. Seluruh seluruh rakyat dapat memanfaatkannya, baik kaya atau miskin, muslim maupun non muslim.
Dengan prinsip-prinsip pengelolaan listrik inilah, liberalisasi energi akan dihapus. Mengembalikan peran negara selaku pengelola utama, sehingga polemik meroketnya kenaikan tagihan listrik tidak akan terjadi.
Wallâh alam bi ash-shawâb.