Tafsir Sesat Mengaruskan Islam Moderat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Susi Sukaeni

Lingkar Studi Muslimah Bali (Lisma Bali)

 

Korban kekerasan seksual seringkali mengalami trauma mendalam yang sulit dihilangkan dalam waktu singkat. Keadaan ini menyebabkan korban sulit menjalani aktivitas normal seperti bekerja atau berbisnis. Hal ini berdampak terhadap perekonomian keluarga selama masa pemulihan. Sementara itu bantuan pemerintah atau pihak swasta dirasa tidak mencukupi kebutuhan. Prihatin dengan kondisi itu, muncul gagasan memanfaatkan dana zakat untuk membantu proses pemulihan para korban kekerasan seksual.

Pemikiran ini digagas oleh Yulianti Muthmainnah, Ketua PSIPP ITBAD Jakarta tertuang dalam sebuah buku berjudul “Zakat Untuk Korban Kekerasan Terhadap perempuan Dan Anak”.

Buku ini diluncurkan oleh PSIPP ITBAD Jakarta bekerjasama dengan Lazis Muhammadiyah (LazimMu). Acara ini dilanjutkan dengan bedah buku tersebut selama 16 minggu yang terinspirasi dari Acara dari 16 hari kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan anak. .

Dalam sambutannya, Yulianti Muthmainnah mengaharap dan mendorong berbagai lembaga keagamaan seperti Majlis tarjih Muhammadiah mengekuarkan fatwa supaya zakat bisa dialokasikan untuk diberikan kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Sebagaimana diketahui bahwa sistem kapitalis sekuler yang diterapkan negeri ini melandaskan segala kebijakan dan aturan tidak berdasarkan al-quran dan as-sunnah.

Pasalnya sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan telah menjadikan akal manusia menuntun segalanya. Agama hanya digunakan untuk mengatur ranah ibadah ritual sementara ranah sosial diatur dengan suara mayoritas.

Alhasil masyarakat bahkan Sebagian ulama juga dibiarkan menempuh jalan pintas dalam menafsirkan ayat Alquran menggunakan perspektif akal dan hawa nafsunya. Karena ini dipandang kebebasan berpendapat yang harus dijamin dalam sistem kapitalisme sekuler bahkan di bawah itu moderasi yang kini menjadi proyek barat untuk menancapkan nilai-nilai barat.

Pimpinan kaum muslimin di negeri muslim dituntut mengkritisi ajaran agamanya sendiri bahkan menaksir ayat-ayat berkaitan ibadah sesuai perspektif moderasi yang mengatasnamakan kemaslahatan manusia.

Penafsiran Alquran surah Attaubah ayat 60 yang menyatakan bahwa zakat bisa diperuntukkan bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah salah satu buktinya. Pengusung moderasi beragama memandang bahwa persoalan kekerasan seksual merupakan persoalan marjinalitas kaum perempuan oleh laki-laki karena ketidakberdayaan perempuan.

Perempuan dan anak selalu menjadi korban atas tindak kekerasan seksual dan selalu menjadi pihak yang dirugikan sehingga pengusung moderasi membuatkan fatwa dengan dalih agar korban kekerasan terhadap perempuan dan anak mendapatkan zakat karena dianggap orang yang teraniaya atau riqob.

Padahal dipahami bahwa perkara ibadah termasuk di dalamnya zakat adalah perkara tauqifi yang harus diambil apa adanya sesuai dengan yang tercantum dalam nash Alquran dan as-sunnah. Karena itu ayat-ayat berkaitan dengan ibadah tidak boleh dikaitkan dengan illat atau sebab disyariatkannya hukum sama sekali akan tetapi harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh ketundukan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

“Tetapi itu hanya untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakan hatinya yakni mualaf untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui dan Maha bijaksana”.

Ayat tersebut dengan sangat jelas mengatakan bahwa yang berhak menerima zakat hanya delapan ashnaf atau golongan. Para mufassir telah menjelaskan makna masing-masing golongan penerima zakat ini termasuk untuk lafadz Arriqab yaitu budak baik mukatab yang terikat akad dengan tuannya untuk menebus dirinya ataupun bukan mukatab. Tapi tidak ada satupun mufassir yang kredibel atau muktabar yang menyatakan bahwa Arriqab bisa dimaknai korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kesempurnaan Islam yang benar dan dijamin oleh Allah subhanahu wa ta’ala ini di utak-atik segelintir manusia hanya karena dorongan hawa nafsunya atas nama moderasi beragama. Karena itu moderasi dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran hanya mengantarkan pada pemahaman yang berbeda dan tidak sesuai nash yang sudah ditetapkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Hal ini tentu akan menyesatkan umat Islam padahal Islam telah menuntun umatnya dalam menafsirkan Al Quran yakni dibutuhkan Ilmu Tafsir atau metode penafsiran. Ilmu Tafsir merupakan tsaqofah Islam dan salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam yang bersumber dari Alquran dan hadist.

Penafsiran Alquran tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber itu. Seorang mufassir di dalam Islam dalam menafsirkan seluruh perkara harus tunduk kepada apa yang diturunkan oleh Allah yang berupa syariat bukan tunduk kepada akal hawa nafsu atau pendapat yang dijadikan sebagai acuan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengancam keras orang-orang yang menafsirkan Alquran berdasarkan akal dan hawa nafsu atau pendapat yang tidak disertai ilmu. Dari Ibnu Abbas radhiallahu Anhu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

“Barangsiapa yang berbicara tentang Alquran tanpa disertai ilmu maka hendaklah bersiap-siap mengambil tempat duduknya dari api neraka.”

Abu Musa berkata hadits ini hadits Hasan Shahih. Begitulah Islam mengatur semuanya agar menjadikan Alquran dan as-sunnah sebagai sumber untuk menjalani kehidupan secara keseluruhan dan sempurna. Menerapkan aturan Islam sesuai dengan nash-nash hanya mungkin terwujud dalam bingkai negara Khilafah bukan dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *