Swasembada Pangan hanya dengan Islam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rina Yulistina

Virus Corona yang menyerang China menyebabkan pasokan impor pertanian dari China tersedat ke Indonesia, selama ini kebutuhan bawang putih, bawang bombai dan buah-buahan berasal dari negeri Tiongkok tersebut. Pemerintah pun berkeinginan untuk menggenjot hasil pertanian dalam negeri untuk menutupi kran impor (rmol.id). Keinginan untuk menggenjot hasil pertanian pun juga pernah di janjikan oleh pemerintah beberapa tahun yang lalu supaya swasembada pangan. Namun nyatanya hingga detik ini swasembada pangan terasa masih jauh untuk digapai, produk impor dari berbagai negara menghiasi seluruh pasar di Indonesia.

Permasalahan pertanian di dalam negeri terus terjadi secara berulang dari tahun ke tahun. Menurut seketaris jenderal HKTI Bambang Budi Waluyo pada (kompas.com) menyatakan bahwa “Masalah pertama pada permodalan, kedua lahan makin sulit, ketiga teknologi pertanian modern, keempat persoalan pupuk, dan yang terakhir soal pemasarannya”. Kehidupan petani terus menjadi masyarakat kelas dua, data BPS tahun 2019 penduduk miskin di Indonesia di dominasi oleh petani terutama petani tadah hujan. Mereka hidup bergantung pada hasil pertanian. Modal yang dikeluarkan pun seringnya tak seimbang dengan hasil panen seringnya merugi, hasil panen mereka dibeli dengan harga murah, apalagi saat panen raya pemerintah dengan teganya mengimpor sehingga dipasaran dipenuhi produk impor bukan lokal. Belum lagi dengan teganya tahun 2020 subsidi pupuk dikurangi hanya 7,9 ton saja, sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Padahal pertanian salah satu bidang strategis sebagai ketahanan negara, namun sayang hal ini sangat sering disepelekan oleh negara. Sangat banyak para intelektual yang mengabdikan dirinya untuk melakukan inovasi dibidang pertanian supaya pertanian Indonesia maju dan tak bergantung pada impor. Ketika subsidi pupuk dikurangi, para mahasiswa KKN dari UNS membantu para petani untuk membuat pupuk organik hal ini terjadi di Desa Banjarejo, Kecamatan Panekan, Magetan (magetantoday.com). Belum lagi para intelektual dengan keilmuannya membuat berbagai macam teknologi untuk memajukan pertanian. Segala upaya inovasi yang dilakukan patut kita acungi jempol namun sayang semangat mereka untuk memajukan pertanian Indonesia supaya berdikari tidak selalu disambut dengan senyum mengembang oleh pemerintah, hal ini pernah terjadi kepada Kepala Desa, Munawir asal Aceh yang mengembangkan bibit padi jenis IF8, ia di bui karena menjual bibit hasil inovasinya tanpa sertifikat. Sungguh miris bukan?

Para intelektual berusaha untuk memecahkan masalah, berkontribusi bagi masyarakat dengan tulus ikhlas namun sayang niat baiknya sering kali membuat terlena dan membuat kabur bahwa permasalahan modal, pengurangan subsidi pupuk dan bibit, lambatnya teknologi, minimnya hasil panen petani yang diserap merupakan bentuk kezaliman penguasa terhadap para petani? Jika pemerintah memang serius untuk mewujudkan swasembada pangan seharusnya pemerintah fokus untuk menyelesaikan permasalah pertanian yang sudah menahun ini.
Namun sekali lagi hal itu tidak akan bisa dilakukan karena Indonesia dan seluruh dunia telah terikat dengan berbagai perjanjian bilateral, multilateral yang membuat Indonesia mau tidak mau harus impor. Meskipun di dalam negeri pasokan produk dari petani lokal melimpah tetap saja pemerintah akan melakukan impor hingga beras di Bulog harus dimusnahkan. Bahkan Indonesia pernah didenda oleh AS karena tidak patuh dengan aturan WTO untuk mengimpor produk pertanian Indonesia. Sehingga neraca perdagangan sangat dikontrol oleh WTO.

Belum lagi perjanjian hutang Indonesia ke pihak IMF ataupun Bank Dunia yang mengakibatkan sederet konsekuensi yang harus diterima oleh Indonesia, salah satunya kebijakan moneter Indonesia harus sesuai arahan IMF dan Bank Dunia yaitu harus mencabut subsidi. Karena subsidi dinilai tidak selaras dengan kebijakan kapitalisme global. Dengan adanya subsidi menyebabkan produk impor yang berasal dari debitur IMF dan Bank Dunia dirugikan karena tidak leluasa masuk dan membanjiri pasar lokal.

Sehingga jelas penyebab gagalnya Indonesia sebagai negara berdikari di sektor pertanian merupakan agenda global yang terus dikokohkan oleh penguasa pengekor kapitalisme. Sehingga jika Indonesia ingin berdaulat harus lepas dari berbagai perjanjian internasional.

Untuk bisa keluar dari perjanjian internasional memang tak mudah Indonesia harus memiliki kebijakan politik, ekonomi yang tidak mengekor pada sistem kapitalis namun harus mengambil jalan baru yaitu Islam. Di dalam Islam sangat jelas dilarang melakukan perjanjian dalam bentuk apapun dengan negara kafir harbi fi’lan karena hal itu pasti akan merugikan Indonesia.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *