Stunting, Mungkinkah Efek Lepasnya Tanggung Jawab Negara
Siti Aisah, S.Pd
Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang
Pencegahan dan penanggulangan stunting merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan mulai dari janin yaitu pada ibu hamil dan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) adalah periode sensitif yang menentukan kualitas hidup di masa yang akan datang. Hal ini dapat mengakibatkan sesuatu yang bersifat permanen terhadap bayi pada masa depannya dan hal ini belum ada solusi tepat untuk mengobatinya. Tanda anak mengalami stunting, Ia sering mengeluh sakit, akibat dari imunitas yang turun.
Dalam rangka mempercepat penurunan resiko stunting di Kabupaten Subang, Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Subang, menggelar pelatihan bagi tim percepatan penurunan stunting tingkat Kecamatan, yang dilaksanakan di Gedung Dekranasda Kabupaten Subang. Pelatihan tersebut yang diikuti oleh tim percepatan penurunan stunting tingkat kecamatan seluruh Kabupaten Subang, yaitu seluruh Camat, para Kepala Puskesmas, dan para kepala UPT DP2KBP3A se-Kabupaten Subang. Dan pelatihan ini, menurut Kepala DP2KBP3A Kabupaten Subang H. Yayat Sudrajat, bekerjasama dengan BKKBN Provinsi Jawa Barat, atau TPPS Provinsi Jawa Barat. “Percepatan penurunan resiko stunting di Kabupaten Subang ini, terus menerus dilakukan, sesuai dengan agenda yang sudah ditentukan,” ujar H. Yayat Sudrajat kepada RRI di Subang, (rri.co.id, 10/9/2024).
Masa tumbuh kembang buah hati adalah prioritas utama bagi seorang ibu. Laju perkembangan fisik baik itu yang bersifat motorik kasar atau halus merupakan dasar dari peningkatan pertumbuhan sang anak. Namun apa daya ketika HPK seorang bayi harus berakhir dalam asupan Susu Formula (Sufor). Padahal pemberian susu sangatlah penting bagi bayi. Susu yang paling utama adalah ASI. Begitu pentingnya ASI dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama untuk imunitas alami anak. Proses pemberian ASI lengkap selama 6 bulan yang selalu digaungkan pemerintah, lewat pos pelayanan terpadu (Posyandu) yang selama ini menjadi andalan masyarakat untuk konsultasi kesehatan. Namun sangat disayangkan, hal ini tidak membuat kesadaran masyarakat tentang pencegahan dan penanggulangan stunting meningkat. Upaya masyarakat yang membawa ibu hamil dan anak balita (bayi di bawah lima tahun) sebulan sekali untuk memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan, nyatanya belum mampu menghasilkan perubahan yang signifikan.
Dalam Islam, ASI yang dianjurkan diberikan kepada bayi sekurang-kurangnya tidak hanya sampai 6 bulan saja. Namun, dilanjutkan sampai umur anak memasuki usia 2 tahun. Pendampingan ASI melalui pemberian MPASI (makanan pendamping ASI) kepada anak akan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan, tinggi badan, bahkan perkembangan kognitif anak. Gagal tumbuh kembang anak adalah awal dari itu sendiri. Vonis ini tidak bisa diberikan kepada anak yang gagal tumbuh saja, tetapi harus disertai gagal kembang. Perlu dipahami kondisi tubuh anak yang pendek acapkali di masyarakat sering dikatakan sebagai faktor keturunan (genetik) dari kedua orang tuanya. Namun, persoalan ini tidak mempengaruhi masyarakat pada umumnya, mereka sekedar menerima tanpa bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Padahal seperti yang dapat dipahami pula bahwa faktor genetika merupakan faktor determinan (turunan) yang resikonya paling kecil pada kesehatan. Adapun selain faktor genetika adalah faktor perilaku, lingkungan (sosial, ekonomi, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, permasalahan stunting sebenarnya bisa dicegah dan ditanggulangi oleh negara.
Hal ini menjadi urgen karena dapat menentukan kualitas generasi di masa depan. Sehingga semua faktor penyebabnya harus bisa ditanggulangi oleh negara. Hal ini agar stunting dapat diberantas dengan tuntas dan tak menyisakan persoalan baru. Seperti wacana tuntutan ekonomi yang mengharuskan ibu keluar rumah. Sehingga yang terjadi adanya peralihan pemberian Asi ke Sufor. Dilanjut lagi pengentasan kemiskinan yang belum terselesaikan. Dalam hal ini upaya negara, baru terbatas hingga wacana perbaikan sanitasi, tapi belum menjangkau lapisan masyarakat. Selanjutnya ada program pemberdayaan perempuan yang lebih kepada opini kebebasan untuk bertingkah laku. Sehingga dipahamkan bahwa seorang ibu, seolah tidak diwajibkan untuk memberi Asi.
Pemberian nutrisi yang baik kepada anak bukan hanya tanggung jawab keluarga saja tapi merupakan tanggung jawab bersama antar semua komponen masyarakat, termasuk pemerintah. Dimana pemerintah berkewajiban untuk memberikan kebutuhan dasar setiap warga termasuk anak. Di ranah keluarga, Penanggulangan terhadap anak yang mengalami stunting bukan hanya sebatas memperhatikan pola makan saja, tetapi juga dengan memberikan cinta kasih dan pola asuh keluarga yang baik. Anak dengan kasus ini bukan hanya akan mengalami gagal pertumbuhan saja, tetapi disertai gagal perkembangan sehingga perlu tindakan menstimulasi motorik kasar dan halusnya secara intensif. Namun, apakah mungkin terjadi ketika ibu sebagai madrasah pertama anak sibuk dengan kegiatan di luar rumah.
Pada faktanya stunting ini adalah buah dari abainya pemerintah dalam mengatasi pemenuhan pangan untuk warganya. Ini merupakan tanggung jawab pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Dalam Islam ketika seorang kepala keluarga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dikarenakan sesuatu yang bersifat syar’i, maka tanggung jawabnya beralih kepada walinya. Namun, jika hal itu masih tidak memungkinkan, maka tanggung jawabnya beralih kepada negara lewat baitul mall. Selain pemenuhan kebutuhan pokok, kasus stunting erat kaitannya dengan penyediaan layanan kesehatan. Baik berupa penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran, sarana dan prasaran untuk tersedianya pelayanan kesehatan yang prima.
Demikianlah pandangan Islam terhadap pemberian nutrisi lengkap bagi ibu hamil dan tumbuh kembang anak merupakan awal pembentukan generasi masa depan. Permasalahan stunting adalah seperti snow effect yang menggelinding dimana semakin lama semakin besar. Karena sejatinya pelayanan kesehatan Islam adalah bagian integral dari totalitas sistem kehidupan Islam. Sistem ini dapat diterapkan pada institusi politik yang telah Allah Swt ciptakan yakni Khilafah. Pelayanan kesehatan dalam Islam yang diterapkan oleh Daulah Khilafah Islam seharusnya menjadi standar pelayanan kesehatan. Lantas, apakah sistem saat ini yang telah nyata kebobrokannya masih tetap mau dipertahankan atau ada upaya dari umat islam sendiri untuk menerapkan Islam secara kafah dan sempurna dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bish-shawwab