Stop Impor dan Wujudkan Stabilitas Harga Pangan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Yuni Damayanti (Pengusaha Muslimah Konawe)

Belakangan ini ibu-ibu dibuat pusing dengan mahalnya harga bawang putih. Seperti halnya yang terjadi di pasar Batam, bawang putih dijual dengan harga sangat mahal. Meski dijual dengan harga tinggi, namun persediaan bawang putih di sejumlah pedagang masih tetap banyak. Saat ini bawang putih dijual dengan kisaran harga Rp 55.000 per kilogram (kg).

Tingginya harga bawang putih ini dikeluhkan sejumlah masyarakat. Linda misalnya, warga Batam center ini kesal mengetahui harga bawang putih cukup mahal. Ia menghitung satu siung bawang putih dibeli dengan harga Rp 5.000. Padahal biasanya, dengan harga segitu, Linda bisa mendapatkan 5-7 siung bawang putih, (Batampos.co.id, 17/02/2020).

Kenaikan harga bawang putih mendapat tanggapan dari Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo karena bawang putih adalah salah satu kebutuhan pangan terpenting bagi masyarakat Indonesia. Penyebab kenaikan harga bawang putih ini masih disebabkan oleh virus mematikan korona dan proses distribusi yang terhambat.

Ya, China adalah pengimpor utama bawang putih di Indonesia. Solusinya menurut Syahrul Yasin Limpo adalah mencari alternatif impor bawang putih selain Cina, agar nantinya tak akan ada lagi pembicaraan naiknya bawang putih karena terhentinya impor, (Okezone.com, 16/02/2020).

Keputusan instan kembali diambil oleh pemerintah, wacana mencari alternatif impor bawang selain Cina telah dilontarkan. Padahal, temuan satgas pangan menduga terjadi penimbunan. Seperti dikarawang, didapati 150 ton yang tidak didistribusikan sejak November 2019 (Kompas.com, 12/02/2020). Artinya stok bawang sengaja ditimbun menunggu sampai harganya melambung.

Kebijakan impor ini perlu dipertanyakan sebab sejak awal pemerintah menggembar-gemborkan target kedaulatan pangan, namun solusi untuk mencukupi kebutuhan pangan selalu berujung pada impor.
Seharusnya pemerintah dapat mengantisipasi persoalan kenaikan harga bahan pangan, terutama bawang putih agar tidak terulang setiap tahunnya.

Padahal Indonesia memiliki lima varietas lokal yang layak dikembangkan yaitu Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, Lumbu Putih, Tawangmangu Baru dan Sanga Sembalun (Gatra.com, 24/08/2019). Namun, hari ini jumlah produk dan luasan lahan yang menanamnya terus menyusut. Bahkan benih untuk varietas-varietas ini pun sulit ditemukan. Dengan potensi benih lokal yang unggul didukung kondisi agroklimat serta lahan subur yaaang sangat luas, harusnya tidak ada alasan untuk bergantung pada impor.

Bahkan impor yang berketerusan dengan volume yang sangat besar ( mencapai 95% dari total kebutuhan) wajib menjadi perhatian untuk mencari solusi tuntas, karena dampaknya sudah sangat jelas secara ekonomi maupun politik. Tentunya rakyatlah yang paling menderita karena kebijakan ini.

Selain itu pemerintah harus bisa menjaga stabilitas harga, dimana kondisi masyarakat memperoleh kebutuhan pokok dengan harga terjangkau. Karena kenaikan harga pangan sangat membebani masyarakat terutama dari kalangan menengah kebawah. Dampaknya dapat menambah jumlah kemiskinan dan masyarakat pun semakin sulit untuk memperoleh kesejahteraan.

Oleh karena itu, kenaikan harga pangan perlu mendapat perhatian dan fokus utama dalam agenda kerja pemerintah. Karena ini sangat berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dan sangat urgen bagi kelangsungan hidup rakyat kecil. Berulangnya kenaikan bahan pangan tiap tahunya membuktikan bahwa pemerintah dalam sistem demokrasi bukanlah periayah sejati.
Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan swasembada pangan dengan menjaga harga pangan tetap stabil.

Menjaga harga pangan tetap stabil itu dengan dua cara: Pertama, menghilangkan mekanisme pasar yang tidak sesuai dengan syariah seperti penimbunan, intervensi harga, dan sebagainya. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang penimbunan makanan,” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).

Jika pedagang, importir atau siapa pun yang menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai kebijakan pemerintah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan yang dilakukannya.

Kedua, Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslim untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak,” (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi).

Adanya importir, pedagang, dan lainya, jika menghasilkan kesepakatan harga, maka, itu termasuk intervensi dan dilarang. Jika terjadi ketidakseimbangan  (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain.

Inilah yang dilakukan oleh Umar Ibn al Khathab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar Ibn al Khathab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru Ibn al Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkan untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut,” Saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang kepalanya ada dihadapan Anda (Madinah) dan ekornya masih dihadapan saya (Mesir) dan Aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya ke laut.
Jika pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba,” (QS Al-Baqarah: 275). Ayat di atas bersifat umum, menyangkut perdagangan dalam dan luar negeri. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan tanpa harus dikungkung dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara).

Seperti itulah cara Islam menjamin ketersediaan bahan pokok tanpa merugikan pedagan dan tidak mendzalimi rakyatnya. Wallahu a’lam bisshowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *