Oleh: Mesi Tri Jayanti
Pemerintah saat ini sedang berusaha memperbaiki kondisi ekonomi yang terdampak pandemi. Dilansir dari tirto.id (09/08/2020), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2020 sebesar minus 5,32 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, alias terburuk sejak tahun 1999.
Upaya mengatasi hal ini, pemerintah melakukan proses finalisasi pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 600.000/bulan selama empat bulan sejak bulan September mendatang kepada sekitar 13,8 juta pekerja.
Adapun kriteria pekerja yang akan mendapatkan BLT ini yaitu pekerja non PNS dan BUMN yang aktif terdaftar di BPJS Ketanagakerjaan dengan gaji di bawah Rp5 juta per bulan. Tidak tanggung, total anggaran yang dikerahkan pemerintah untuk program ini mencapai Rp31,2 triliun.
Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Erick Thohir mengatakan bantuan ini bertujuan untuk mendorong konsumsi masyarakat. Senada dengan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengatakan bahwa bantuan ini diberikan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III (Q3) 2020 bisa positif dan dengan harapan dapat menghindari terjadinya resesi teknikal.
Tanggapan dari berbagai kalangan pun muncul, pengamat Ketenagakerjaan UGM Tadjuddin Nur Effendi menyebut kebijakan sarat diskriminasi ini tidak tepat sasaran. Pasalnya, penopang perekonomian RI pada dasarnya adalah para pekerja bergaji menengah dan pekerja informal yang tidak terdata. (CNN Indonesia, 07/08/2020)
Pemilihan data BPJS Ketenagakerjaan sebagai basis BLT juga dinilai bermasalah. Sebab, tidak dipungkiri bahwa yang lebih membutuhkan bantuan konsumsi harian adalah korban PHK dan para pekerja harian. Jelas ada ketidakadilan jika ini diterapkan, kenapa hanya peserta BPJS yang dijadikan dasar kategori penerima BLT.
Lantas, bagaimana nasib mereka yang ekonominya kesulitan tapi tak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan akibat terkena PHK, dirumahkan, dan habis kontrak. Apalagi kebanyakan para pekerja disektor informal seperti pedagang kaki lima, petani, dan pekerja lainnya tak terdata oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Akankah mereka hanya diam mendengar kabar bahwa mereka tidak berhak mendapatkan bantuan?
Disamping itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad juga menilai BLT untuk pekerja berupah di bawah Rp5 juta ini akan sia-sia dan tidak sesuai tujuan. Sebab alih-alih untuk konsumsi, BLT malah hanya akan dijadikan sebagai uang simpanan, karena pada dasarnya kemampuan finansial mereka dengan batas gaji Rp5 juta yang notabene bukan penghasilan orang miskin dan masih memadai. Detik.com (06/08/2020)
Memang pemerintah telah menyediakan beberapa paket bansos seperti program keluarga harapan (PKH) dan bantuan pangan non-tunai atau sembako yang diklaim bisa mengcover mereka yang tergolong keluarga miskin termasuk korban PHK.
Namun faktanya, Lembaga pengawas pelayanan publik Ombudsman Republik Indonesia sejak membuka Posko Pengaduan Daring bagi masyarakat terdampak Covid-19 pada 29 April lalu, penyaluran Bantuan Sosial menjadi substansi yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat, yakni sudah terdata 1.330 laporan atau sebanyak 83 persen. (Omnibudsman.go.id, 01/07/2020)
Dari keseluruhan pengaduan bansos, 22,28 % di antaranya terkait penyaluran bantuan yang tidak merata dalam hal waktu atau wilayah sasaran. Kemudian 21,38% tentang prosedur dan persyaratan untuk menerima bantuan tidak jelas dan 20,89% masyarakat yang kondisinya lebih darurat lapar namun tidak terdaftar.
Belum lagi BLT sebesar Rp600 ribu per bulan per keluarga yang diberikan oleh pemerintah pun sebenarnya belum cukup untuk memenuhi keseluruhan biaya hidup masyarakat yang terdampak.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), total biaya kebutuhan hidup masyarakat Indonesia per kapita atau per kepala rata-rata Rp1,3 jutaan per bulan. Rinciannya, Rp620 ribuanuntuk kebutuhan makanan dan sisanya, Rp729 ribuan untuk kebutuhan non-makanan.
Bahkan, angka yang diberikan belum melebihi kebutuhan biaya makan per-individu setiap bulannya. Apalagi jika anggota keluarga lebih dari 1 orang, tentunya biaya yang dibutuhkan lebih besar lagi.
Mengamati ralitas kondisi ini, publik menilai bahwa pemerintah tidak serius mencari jalan keluar atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di tengah pandemi ini. Kebijakan yang setengah hati dan penuh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan rakyat, sikap seperti ini semakin menegaskan bahwa jati diri rezim saat ini adalah rezim kapitalis.
Berbeda dengan sudut pandang Islam. Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah kewajiban negara untuk menjaminnya. Mekanisme bantuan langsung diberikan pada kelompok masyarakat yang faktanya kesulitan mendapatkan bahan pangan, karena tidak ada penghasilan, atau tidak cukup dana (fakir miskin), atau karena tidak stabilnya harga akibat kurangnya pasokan pangan.
Semua lini masyarakat diperlakukan sebagai warga negara yang berhak mendapatkan haknya dari negara. Tanpa diberatkan dan disengsarakan dengan mekanisme yang berbelit.
Khalifah akan mencari tahu apakah masih ada masyarakat yang berhak yang tidak terdata atau ada yang tidak ingin menunjukkan kekurangannya. Sebab, membiarkan ada yang miskin dan tidak mendapatkan bantuan karena mereka tidak mengajukan diri, adalah bagian dari kelalaiankelalaian dari penguasa.
Sebagaimana Khalifah Umar ra. ketika kondisi wabah. Saat itu terdata ada 70 ribu orang yang membutuhkan makanan dan 30 ribu orang warga sakit. Khalifah Umar ra. langsung memerintahkan untuk membuat posko-posko bantuan, agar rakyat yang membutuhkan makanan, langsung dipenuhi. Bahkan yang tidak dapat mendatangi khalifah, bahan makanan diantar ke rumahnyrumahnya, beberapa bulan sepanjang masa musibah.
Adapun dana untuk mengatasi bencana seperti wabah saat ini, dapat diambil dari bagian Belanja Negara Baitulmal masuk dalam dua seksi. Pertama, Seksi Mashalih ad Daulah, khususnya Biro Mashalih ad Daulah. Kedua, Seksi Urusan Darurat/Bencana Alam (Ath Thawari). Seksi ini memberikan bantuan kepada kaum muslim atas setiap kondisi darurat/bencana mendadak yang menimpa mereka.
Inilah yang akan dilakukan oleh pemimpin dalam sistem Islam (khilafah) ketika menjamin kebutuhan rakyatnya selama pandemi. Tidak ada perhitungan dalam memberikan pelayanan pada rakyat, sebab hal ini terkait tugasnya sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Wallahua’lam bish-shawwab[]