Oleh: Anggun Permatasari
Di tengah resesi dan carut-marut kondisi perekonomian global. Beberapa negara berkembang dikejutkan dengan “hadiah” kenaikan status mereka, dari negara berkembang menjadi negara maju.
Seperti dilansir dari laman cnbcinfonesia.com., “Amerika Serikat lewat US Trade Representative (USTR) merevisi daftar kategori negara berkembang mereka untuk urusan perdagangan internasional. Beberapa negara yang semula ada di daftar negara berkembang seperti China, Brazil, India kini naik kelas jadi negara maju. Termasuk juga Indonesia dan Afrika Selatan, sebagaimana pengumuman USTR yang dikutip dari The Star, Minggu (23/2/2020).”
Sebelumnya AS memang telah mengevaluasi rencana revisi tersebut. Ini disebabkan adanya keprihatinan bahwa Indonesia tidak memenuhi beberapa kriteria program GSP (Generalized System of Preference). Menurut AS, Indonesia telah menerapkan berbagai kendala investasi dan perdagangan yang menimbulkan efek negatif serius pada neraca perdagangan Amerika. (Okezone.com)
Pada 2019, neraca perdagangan Indonesia-AS surplus 9,583 miliar dolar AS. Nilai ini naik dari tahun 2018 yang hanya berkisar 8,560 miliar dolar AS. Namun bagi AS, posisi mereka adalah defisit.
Tentunya, hal ini sangat merugikan negara-negara yang dinyatakan naik status khususnya Indonesia. Sebab, dengan merevisi kategori negara berkembang dan memasukkannya sebagai negara maju. AS bisa leluasa melakukan investigasi dan mencari tahu apakah terdapat praktik ekspor yang tidak fair, seperti pemberian subsidi untuk komoditas tertentu.
Santer diberitakan di banyak media lokal bahwa Indonesia juga dirugikan karena GSP akan dicabut. Dengan status menjadi negara maju, beban tarif dan pajak untuk ekspor barang akan mengalami peningkatan. Karena, beban tarif produk ekspor asal negara maju tidak mendapatkan insentif.
Dikutip dari laman kumparan.com., “Saat ini total produk Indonesia yang memperoleh fasilitas GSP adalah 3.572. Termasuk produk unggulan seperti tekstil dan pakaian.
Realita tersebut menunjukan bahwa di balik masing-masing kategori negara berkembang dan maju ada muatan penjajahan politik dan ekonomi. AS seperti membuat legitimasi mengatur dan mengawasi arus ekspor-impor negara-negara jajahannya.
Masih segar diingatan kita di awal tahun 2019 lalu, AS secara tidak langsung turut mengawasi pelaksanaan KTT Asean di Thailand. KTT tersebut diadakan untuk membahas kerjasama perdagangan antarnegara di ASEAN.
Namun faktanya, hal itu tidak lepas dari konsep Indo Pasifiknya. Hal ini semakin menegaskan hegemoni AS atas perdagangan dunia. AS masih enggan melepas predikatnya sebagai poros ekonomi global.
Watak curang AS sangat kentara. Demi mencapai neraca perdagangan yang menjulang, Trump merusak sistem perjanjian dagang antarnegara yang berlaku saat ini. Menaikan status dari negara berkembang menjadi negara maju jelas merupakan akal bulus AS agar pengaruhnya semakin besar. Dan lebih dalam lagi menancapkan kuku-kukunya di negara jajahannya.
WTO (World Trade Center) sendiri adalah organisasi perdaganan yang katanya berfungsi memayungi dan mengatur perdagangan antarnegara agar lebih teratur. Faktanya, WTO bisa dengan mudah mengetahui segala potensi sumber daya alam yang ada di suatu negara. Ujung-ujungnya, demi kepentingan negara dengan kapital paling besar negara-negara anggotanya dijadikan sapi perah.
Fenomena ini tentunya akan berdampak sangat buruk terhadap iklim ekonomi dalam negeri. Tidak bisa dibayangkan seumpama status itu benar diberlakukan. Tentunya, kenaikan biaya ekspor, dapat menurunkan laba perusahaan.
Salah satu fungsi laba adalah membantu perusahaan melakukan perluasan dan diversifikasi usaha juga restrukturisasi usaha. Sehingga, sebuah perusahaan akan selalu up to date dalam kemajuan teknologi. Namun, dengan berkurangnya pendapatan laba, perusahaan harus memutar otak bagaimana menekan pengeluaran yang lain.
Selain itu, dikhawatirkan nantinya perusahaan akan menekan biaya produksi seperti gaji dan biaya lembur karyawan. Bahkan, pemutusan hubungan kerja massal akan terjadi.
Apalagi, saat ini pemerintah mengeluarkan Omnimbus Law Cika yang sangat merugikan karyawan. Sehingga, permainan curang yang dilakukan pengusaha tidak mudah diinterupsi pihak karyawan.
Kasus semacam ini sesungguhnya tidak akan tuntas dan mungkin malah akan terus bermunculan. Hal itu tentunya disebabkan karena saat ini Indonesia dan mayoritas negara-negara di dunia menganut sistem rusak demokrasi kapitalis.
Sistem ini akan melahirkan raja-raja kecil yang tamak dalam lingkaran setan aktivitas ekonomi. Siapa yang memiliki modal besar bisa membuat aturan sekaligus mengawasi perputaran bisnis secara penuh.
Tentunya dalam skala global negara-negara lemah akan didikte dan menjadi pemuja setia negara yang melabeli dirinya negara adidaya seperti AS. Oleh karena itu, sulit sekali memperoleh kedaulatan penuh bagi negara-negara di sistem demokrasi.
Hanya sistem Islam saja yang mampu membuat negara berdaulat. Dengan dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt. Daulah Islam tidak akan bergantung kepada negara manapun. Seluruh potensi sumber daya alam yang dimiliki akan dikelola secara optimal oleh negara. Tidak diserahkan kepada swasta atau individu apalagi asing.
Adanya Baitu Maal membuat daulah mampu memenuhi segala kebutuhan dasar rakyatnya. Kebijakan fiskal Baitul Maal akan membelanjakan anggarannya untuk investasi infrastruktur publik dan menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat mau berinvestasi untuk hal-hal yang produktif.
Daulah juga tidak akan bekerjasama dengan negara kafir harb fi’lan. Kerjasama luar negeri sebatas ijaroh bukan investasi. Daulah tidak akan bergabung dengan organisasi semacam WTO yang sesungguhnya hanya menjebak dan menjadikan anggotanya sapi perah. Sehingga dengan sendirinya akan tercipta kedaulatan dan disegani.
“Sungguh perkara agama ini akan sampai ke seluruh dunia sebagaimana sampainya malam dan siang. Allah tidak akan membiarkan satu rumah pun, baik di tengah penduduk kota atau di tengah penduduk kampung, kecuali Allah akan memasukkan agama ini ke dalamnya dengan kemuliaan yang dimuliakan dan kehinaan yang dihinakan; kemuliaan yang dengannya Allah memuliakan Islam dan kehinaan yang dengannya Allah menghinakan kekufuran.” (HR. Ahmad)