Oleh : Nisa Andini Putri (Mahasiswi Bengkulu)
Tahun 2020 menorehkan catatan pahit dalam buku utang Indonesia. Pemerintah menarik utang yang besar guna meredam anjloknya ekonomi akibat wabah COVID-19 yang merebak dari Wuhan China akhir 2019.
Pada masa pandemi, pemerintah harus menggelontorkan belanja negara yang lebih besar dari pendapatannya. Sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit di atas 3 persen, sesuai Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020.
Kementerian Keuangan memperkirakan defisit APBN 2020 akan melebar dari target yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 sebesar Rp1.039, 2 triliun atau 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). (Viva.co.id)
Indonesia menghadapi persoalan kenaikan utang luar negeri sejak krisis ekonomi 1998 dan era reformasi bergulir. Utang luar negeri yang tadinya berada pada level di bawah seribuan triliun rupiah, kini sudah nyaris menyentuh Rp6.000 triliun per Oktober 2020.
Tak heran jika belum lama ini Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar pada tahun lalu.
Data yang dipublikasikan Bank Dunia dalam laporan “Statistik Utang Internasional (IDS)” pada Senin (12/10) itu menunjukkan Indonesia berada pada peringkat keenam pengutang terbesar.
Dengan mengecualikan China, negara-negara yang memiliki utang luar negeri lebih banyak dari Indonesia adalah Brasil, India, Meksiko, Rusia, dan Turki.
Paparan Bank Dunia tampaknya relevan dengan kondisi utang Indonesia. Dari data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Oktober 2020 tercatat 413,4 miliar dolar AS atau setara Rp 5.877 triliun. (Republika.co.id)
Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini selain gagal melindungi rakyatnya dari penyebaran pandemi Covid akibat kebijakan yang buruk, pemerintah juga telah menjerumuskan negara ini ke dalam kubangan utang, dan membuat ekonomi negara dan rakyat porak poranda.
Dampak peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban yang tidak semestinya pada generasi mendatang. Secara logis pemerintah dengan kebijakan fisikalnya akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan peningkatan pajak.
Berbeda halnya dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam daulah Islam. Penerapan sistem ekonomi Islam akan mampu menghentikan resesi ekonomi yang sistematik serta memberikan jaminan kesejateraan bagi umat manusia, tidak hanya umat Islam tapi seluruh manusia. Salah satu prinsip paradigma ekonomi yang dilakukan dalam Islam adalah Menjalankan politik ekonomi Islam yang bertujuan untuk memberikan jaminan pemenuhan pokok setiap warga negara (muslim dan non muslim) sekaligus mendorong mereka agar dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier sesuai dengan kadar individu tersebut.
Didalam Daulah Islam, Baitul Mal merupakan institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi warga negara yang berhak menerimanya baik muslim maupun non muslim.
Berdasarkan prinsip tersebut Islam akan melaksanakan dan memantau perkemabangan pembangunan dan perekonomian dengan menggunakan indikator-indikator yang menyentuh tingkat kesejateraan masyarakat. Misalnaya, menentang ekspoloitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, melarang menumpuk kekayaan. Dan dalam menjalankan ekonomi Islam sangat mengharamkan kegiatan riba, yang dari segi bahasa berarti kelebihan (Qs. Albaqarah :275)
Dengan sistim ekonomi Islam, yang diterapkan oleh Khilafah resesi ekonomi tidak akan lagi mengancam kehidupan umat manusia, sebab aturan ini datang dari sang khalik pencipta manusia dan seluruh alam. Wallahu alam bishawab.