SKB Tiga Menteri, Peran Ibu Menanti

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Endah Husna

 

Kebijakan – kebijakan kontroversi terus lahir ditengah pandemi. Salah.satunya kami kutip dari  laman CNN Indonesia pada tanggal 03/02/2021, tentang SKB Tiga Menteri, Pemerintah daerah dan sekolah negeri dilarang mengatur seragam maupun atribut siswa yang berkaitan dengan kekhususan agama. Aturan ini tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang diumumkan, Rabu (3/2).

Nadiem menegaskan surat tersebut bertujuan agar murid maupun tenaga pendidikan di sekolah bebas memilih seragam dengan atau tanpa kekhususan agama. “Kuncinya hak dalam sekolah negeri untuk pakai atribut kekhususan agama itu adanya di individu guru, murid, orang tua, bukan keputusan sekolah di sekolah negeri,” kata Nadiem. Dalam surat tersebut terdapat enam ketentuan yang diatur soal seragam, antara lain:

Pertama, SKB tersebut menyasar sekolah negeri yang diselenggarakan pemerintah.

Kedua, peserta didik, pendidik, maupun tenaga kependidikan memiliki hak memilih memakai seragam dan atribut tanpa kekhususan keagamaan atau seragam dan atribut dengan kekhususan keagamaan.

Ketiga, pemerintah daerah dan sekolah tidak diperbolehkan mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

Keempat, peraturan ini mewajibkan kepala daerah dan kepala sekolah mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari sejak keputusan bersama tersebut ditetapkan.

Kelima, jika terjadi pelanggaran terhadap SKB ini, maka akan diberikan sanksi. Adapun sanksi akan dilakukan secara hierarkis.

Menurut SKB ini, pemerintah daerah memiliki wewenang memberikan sanksi kepada kepala sekolah, pendidik, dan atau tenaga pendidik. Gubernur memberikan sanksi kepada bupati atau wali kota. Selanjutnya, Kemendagri, bisa memberikan sanksi kepada gubernur.

Sementara, Kemendikbud dapat memberikan sanksi kepada sekolah dengan menunda pemberian biaya operasional sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya. Selain itu, tindak lanjut terhadap pelaku pelanggaran akan dilakukan sesuai dengan mekanisme perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, Kemenag juga akan melakukan pendampingan praktik agama yang moderat dan pertimbangan pemberian atau penghentian sanksi.

Keenam, aturan ini mengecualikan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh, sesuai dengan kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Dua hari kemudian muncul tanggapan dari Ketua MUI, yang kami ambil dari REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, 05/02/202, bahwasanya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis meminta kepada pemerintah untuk mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Penggunaan Seragam Sekolah yang telah diterbitkan. Karena, menurut dia, jika lembaga pendidikan tak boleh melarang dan mewajibkan soal pakaian atribut keagamaan, maka tidak lagi mencerminkan pendidikan.

“Memang usia sekolah itu dipaksa melakukan yang baik dari perintah agama karena untuk pembiasaan pelajar. Jadi SKB Tiga Menteri itu ditinjau kembali atau dicabut,” ujar Kiai Cholil kepada Republika Jumat (5/2).

Sungguh kebijakan yang aneh di tengah pandemi, dimana para pelajar mayoritas sedang belajar daring dari rumah, yang tidak darurat membutuhkan kebijakan tentang seragam, tapi darurat membutuhkan bagaimana bisa lancar sekolah daring, terkait sinyal di pelosok, beban pulsa yang makin mencekik, pelajar yang semakin bosan dengan tugas-tugas daring, dan seabrek permasalahan mendasar dari sekolah daring di tengah pandemi.

SKB ini juga bertentangan dengan Pasal 29 Ayat 1 dan 2 UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 29 UUD 1945 adalah ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Ini mengandung makna bahwa kehendak bangsa ini menjadi bangsa yang religius, bukan bangsa yang sekuler.

Sekularisme adalah memisahkan urusan kehidupan sehari-hari dengan agama. Pun dengan SKB ini, bukan mendukung adanya penerapan atas ajaran masing-masing agama, tapi malah melarang untuk taat menjalankan perintah agama, utamanya adalah siswi muslim.

Sebagai Muslimah, wajib atasnya mengenakan jilbab dan kerudung jika berada di luar rumah, termasuk saat dia keluar untuk sekolah. Hal ini seharusnya menjadi pembelajaran yang dipaksa di sekolah karena perintah dari Allah SWT dan pembiasaan yang baik bagi siswi muslim, bagi nonmuslim pakaian tertutup sebenarnya adalah untuk menjaga dirinya sendiri dari hal-hal yang tidak baik.

Maka sejatinya SKB ini adalah salah satu bentuk pengokohan asas sekularisme dalam aspek pendidikan, ini dampaknya akan sangat luar biasa buruk. Pelajar akan semakin bebas menentukan pakaian yang hendak dipakai ke sekolah, sesuka hati, bahkan mungkin akan jauh dari etika berpakaian di negeri mayoritas muslim ini. Kalau melihat di luar sana, berbagai model pakaian generasi muda sudah banyak berkiblat ke Barat, dimana cara berpakaian mereka bebas tanpa batas.

Jika hari ini  negara sebagai pilar tertinggi dalam melindungi generasi telah berlaku demikian, ibu, ibu, ibu peranmu jangan pernah berhenti. Meski beban yang kau pikul kian berat, namun karena ketakwaanmu kepada Allah SWT, membuatmu kuat demi generasi yang selamat hingga bertemu Allah nanti. Peran dalam keluarga kau sibukkan dengan mendidik anak-anak untuk Taat kepada Allah SWT, terikat dengan seluruh aturan Allah SWT, hingga lahirlah anak-anak yang memeluk Islam secara menyeluruh. Dan, ibu kau juga berperan diluar rumah, yakni mengajak teman-temanmu untuk mendidik anak-anak mereka berdasarkan Islam.

Ibu teruslah berjuang, demi generasi yang membawa kebaikan bagi negeri, keluarga dan agama Islam.

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *