Oleh : Ratna Sari (Mahasiswi Bengkulu)
Setelah isu terkait jilbab di SMKN 2 Padang, Sumatra Barat sempat viral, rupanya beberapa menteri turut berkomentar. Bahkan setelah kasus tersebut viral muncullah Surat Keputusan Bersama (SKB). yang ditandatangani oleh Mendigbud Nadiem Makarim bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Dikutip dari CNN Indonesia (03/02/2021), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memberikan ultimatum kepada seluruh pemerintah daerah dan sekolah negeri agar mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
Melalui SKB tersebut ketiganya melarang semua sekolah negeri di penjuru daerah, kecuali Provinsi Aceh, membuat aturan yang melarang atau mewajibkan siswa dan guru memakai seragam dengan kekhususan agama.
Padahal banyak sekali masalah yang lebih penting yang semestinya menjadi titik pusat perhatian pemerintah, dari pada mengurusi perihal seragam. Dari kasus PJJ disaat pandemi, bullying, tauran antar pelajar, hamil diluar nikah, bahkan banyak angka anak yang putus sekolah, serta banyaknya anak yang tidak merasakan dunia pendidikan sama sekali.
Dikutip dari kpai.go.id, KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat.
Belum lagi kasus anak yang putus sekolah dikutip dari Tempo.co, total jumlah anak putus sekolah di 34 provinsi negara ini masih berada di kisaran 4,5 juta anak. Dari data yang dimiliki Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada di angka 1.228.792 anak. Untuk karegori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2,420,866 anak yang tidak bersekolah.
Sehingga secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332.
Di plosok kampung di perdalaman sana masih banyak anak yang putus sekolah, banyak anak sekolah yang tidak memiliki sepatu, seragam yang tidak mampu dibeli, sekolahan yang sangat minim pasilitas, bahkan di plosok sana banyak sekolahan yang seharusnya di renopasi agar layak untuk digunakan. Namun SKB untuk perbaikan itu semua tidak didapatkan sama sekali.
Miris, bukankah hal ini yang seharusnya menjadi titik perhatian pemerintah, bukan perkara remeh temeh yang justru di besar-besarkan. Hal ini bukanya menunjukan adanya Islamophobia dibalut dengan seragam? Dengan dikeluarkannya surat SKB oleh 3 menteri tersebut dimana pemerintah daerah dan sekolah negeri agar mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama, maka apakah sama halnya dengan mencabut aturan yang mewajibkan para pelajar muslimah untuk menggunakan hijab atau kerudung?
Dengan demikian berarti setiap pelajar diberi kebebas untuk menggunkan hijab ataukah tidaknya. Ya lagi-lagi kebebasan yang lebih dominan, karena pada dasarnya kebebasana paling di agung-agungkan oleh negara yang menerapkan Sistem Demokrasi-Sekuler-Liberal.
Menutup aurat yang seharusnya menjadi kewajiban bagi Muslimah yang sudah baligh, justru diberikan pilihan mau menggunakan hijab ataukah tidaknya. Padahal menutup aurat adalah perkara kewajiban kita sebagai seorang Muslimah, bukan suatu pilihan.
Menutup aurat (penggunaan jilbab atau krudung) semata-mata untuk melindungi atau menjaga kehormatan seorang perempuan. Hal tersebut bentuk penghormatan dan kemuliaan yang diberikan Islam terhadap Perempuan. Negaralah yang seharusnya memberikan aturan untuk mewajibkan para perempuan yang sudah baligh untuk menutup aurat secara sempurna. Bukan justru memberikan pilihan mau menggunakan hijab ataukah tidaknya.
Hal tersebut tentu tidak akan terwujud dalam sistem saat ini. Justru penerapan tersebut tidak akan dapat terwujud dan terkasana sama sekali. Terkait kasus ini saja pemerintah selalu menyudutkan syariat Islam, mana mungkin pemerintah dengan sukarela mau mengambil dan menerapkan syariat Islam baik terkait menutup aurat ataupun yang lainnya.
Pemerintah hanya akan mengambil Syariat Islam apa bila hal tersebut menguntungkan mereka. Misalnya dana haji, zakat dan wakaf.
Berbeda sekali dengan sistem Islam yaitu Khilafah. Dimana khalifah akan mewajibakan setiap warganya untuk menutup aurat, baik muslim, muslimah dan juga non muslim. Adapun tentang fakta sejarah, maka sepanjang masa Khilafah, para wanita baik Muslimah maupun non Muslimah, mereka mengenakan jilbab, yakni pakaian yang luas di atas pakaian dalam dan mereka menutupi kepala mereka.
Rasulullah SAW bersabda : “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Sementara dalam Islam, pemimpin memiliki dua fungsi utama, sebagai raa’in dan junnah bagi umat.
Dalam hadis tersebut jelas bahwa para Khalifah, sebagai para pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak.
Dalam hal pemenuhan kebutuhan dan penyediaan pendidikan serta pasilitasnya, maka khilafah akan memberikannya secara gratis tanpa adanya biaya. Khalifah juga akan memastikan setiap warganya agar mendapatkan pendikan tersebut hingga kejenjang berikutnya.
Dalam ranah pendidikan, sistem yang digunakan berbasis Aqidah Islam sehingga sejak dini para pelajar akan diberikan pemahaman-pemahaman Islam. Karna tujuan dari pendidikan tersebut untuk mencetak generasi Islam untuk melanjutkan peradaban Islam.
Sehingga apa bila Aqidah Islam sudah ditancapkan dari usia dini, serta dibantu juga oleh orangtua dan negara, maka tidak ada celah kejahatan untuk masuk didalamnya.
Maka dengan demikian dibutuhkan penerapan Islam secara Kaffah, demi tegaknya syariat Islam dalam bingkai Khilafah. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.