Oleh : Lia Aliana (Aktivis Muslimah)
Dunia pendidikan tengah mendapat sorotan, pasalnya salah satu SMKN 2 Padang diduga telah mewajibkan seragam sekolah berhijab bagi seluruh siswinya termasuk nonmuslim. Hal tersebut menuai reaksi dari berbagai kalangan. Termasuk diantaranya para pejabat, tiga menteri telah menyepakati Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang seragam keagamaan.
Adapun poin yang tertulis dalam SKB 3 Menteri mengatur tentang kebebasan memilih seragam dan atribut dengan kekhususan atau tanpa kekhususan agama bagi warga sekolah. Baik itu peserta didik, pendidik serta tenaga kependidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Jika terjadi pelanggaran, maka akan diberikan sanksi. (Kompas.com, 5/2/2021)
Bukan tanpa alasan, diterbitkannya SKB 3 Menteri ini merupakan bagian dari upaya penjagaan terhadap ideologi negara serta menanamkan nilai toleransi di sekolah. Sehingga isu diskriminasi dan intoleransi tak lagi mencoreng dunia pendidikan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh menteri dalam negeri.
Dikutip dari detiknews, Tito Karnavian menyampaikan, “Pengaturan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga pendidikan sebagai salah satu komponen pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, haruslah mencerminkan moderasi keagamaan dan toleransi atas keragaman agama.” (3/2/2021)
Di lain pihak, Rusmadi Kepala SMKN 2 Padang menampik adanya pemaksaan menggunakan seragam jilbab bagi siswa nonmuslim. Menurutnya, setiap sekolah memiliki aturan dan mereka hanya menyarankan, artinya itu adalah pilihan bukan paksaan. (Kompas.tv, 23/1/2021)
Pernyataan Rusmadi diperkuat dengan pengakuan salah satu siswa nonmuslim di SMKN 2 Padang yang tidak merasa keberatan ataupun dirugikan dengan aturan seragam jilbab bagi siswa muslim. “Tidak ada unsur paksaan. Dan saya juga sudah dari SMP memakai jilbab, tak ada tekanan batin walau pakai jilbab.” (Republika.co.id, 25/1/2021)
Terlalu berlebihan kiranya jika dianggap intoleran, seperti yang dihembuskan oleh sejumlah pihak. Sebab tidak sesuai dengan fakta bahkan sangat bertolak belakang. Justru tampak jelas ada upaya untuk menyudutkan Islam dengan narasi toleransi. Harusnya ini menjadi masalah internal yang bisa diselesaikan dalam ranah pribadi sekolah, tanpa harus dibesar-besarkan hingga melibatkan tiga pejabat negara bahkan membuahkan satu kesepakatan bersama.
Sikap berbeda justru ditampakkan pada kasus serupa menimpa siswi muslimah. Bungkam seribu bahasa saat terjadi pelarangan memakai kerudung di Bali yang merupakan wilayah mayoritas Hindu pada 2014 lalu. Setelah ditelusuri diskriminasi tersebut bukan hanya terjadi di Denpasar melainkan hampir seluruh kabupaten di Bali.
Di tengah berbagai persoalan dunia pendidikan, hak asasi manusia yang digaungkan dan merupakan latar belakang munculnya SKB 3 Menteri, justru bertentangan dengan tujuan pembelajaran yaitu menciptakan insan bertakwa. Alih-alih mendidik menaati agama, aturan ini malah mendorong kebebasan berperilaku.
Seperti komentat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat Gusrizal Gazahar, “Mereka minta cabut seluruh aturan yang mewajibkan. Ini sekulerisasi pendidikan. Mereka ingin memasukkan fitnah ke tengah anak-anak gadis muslim agar jangan menjadikan pakaian khas keagamaan, khususnya jilbab, sebagai suatu kewajiban.” (Sumbarfokus.com, 4/2/2021)
Senada dengan Anwar Abbas Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), beliau dengan tegas menolak SKB tersebut. Menurutnya Indonesia dibangun atas asas keagamaan sesuai dengan 29 ayat 1 yaitu ketuhanan bukan sekuler. (Jurnalis.com, 18/2/2021)
Jika ditelaah, SKB 3 Menteri ini membahas tentang kebebasan berpakaian, sekolah tidak boleh ikut terlibat. Dengan kata lain, siswa bebas memilih seragam sesuka hati. Hal ini jelas merupakan upaya sekularisasi dalam ranah pendidikan.
Sebab dalam Islam, bagi seorang muslimah yang telah baligh (dewasa) segala perbuatannya disandarkan pada hukum syara, halal atau haram. Maka tidak ada pilihan lain, selain memakai pakaian yang menutup aurat dengan jilbab dan kerudung. Hal tersebut termaktub dalam alquran maupun hadits.
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu dan Allah maha pengampun lagi penyayang.” (al-Ahzab:59)
“Wahai Asma, sesungguhnya wanita jika sudah baligh maka tidak boleh nampak dari anggota badannya kecuali ini dan ini (yaitu muka dan telapak tangan).” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi)
Dalil ini merupakan perintah bagi setiap muslimah untuk menutup auratnya. Maka sungguh, terbitnya SKB 3 Menteri sejatinya semakin menjauhkan nilai-nilai Islam, memisahkan kehidupan dunia dengan akhirat, menjadikan agama sebatas agama ritual.
Lebih dari itu, muslimah di daerah minoritas justru terus akan dirugikan. Karena SKB ini tidak mungkin menghapus regulasi daerah yang melarang memakai identitas agama. Jadi, harapan adanya kebebasan berjilbab bagi siswi beragama Islam tidak terwujud melalui SKB.
Maka sungguh semakin menegaskan bahwa, sistem saat ini yang berasaskan sekulerisme sangat anti Islam juga phobia terhadap syariah. Hijab dianggap intoleran dan membahayakan, pemuda bergamis serta berjanggut disebutnya teroris bahkan toleransi dimaknai dengan moderasi.
Inilah kenyataan pahit yang harus dihadapi kaum muslim saat ini, maka sudah saatnya kita bergegas untuk meninggalkan hukum jahiliyah buatan manusia penyebab segala kerusakan dan kezaliman, kembali pada aturan ilahi. Dengannya umat mulia dan bermartabat kesejahteraan juga keberkahan mudah didapat.
Sebagaimana pesan Allah SWT, “Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. An-nahl : 97)
Wallahu a’lam bish shawab